Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2004-04-21 16:49:05    
Empat Novel Klasik Terkenal Tiongkok

cri

Sastra Tiongkok sebelum abad ke-14 mengutamakan penciptaan karya syair, esei dan cerita pendek. Sejak paro kedua abad ke-14, Tiongkok mulai memasuki masa puncak penciptaan novel. Pada masa itu di Tiongkok berturut-turut muncul banyak novel. Di antara novel-novel itu ada empat novel paling terkenal, yaitu Kisah Tiga Kerajaan atau Sam Kok karya Luo Guanzhong, Shuihu Zhuan atau Tepi Air karya Shi Nai'an, Xi Youji atau Ziarah Ke Barat karya Wu Cheng'en dan Hongloumeng atau Impian Wisma Merah karya Cao Xueqin. Selama seratus tahun lebih ini, keempat novel klasik itu selalu menjadi karya sastra yang paling populer di kalangan para pembaca dari berbagai lapisan Tiongkok.

Terlebih dulu kami perkenalkan novel Sam Kok atau Kisah Tiga Kerajaan. Novel ini adalah novel gaya bab yang pertama dalam sejarah Tiongkok, sekaligus novel tradisional representatif. Yang diartikan novel gaya bab adalah suatu tipe novel yang dibagi-bagi menjadi banyak bab yang masing-masing diawali dengan kuplet dan sajak yang mengikhtisarkan ceritanya. Novel Sam Kok ditulis oleh Luo Guanzhong yang hidup antara tahun 1330 dan 1400 Masehi, yaitu zaman Dinasti Ming Tiongkok. Riwayat Luo Guanzhong sampai sekarang masih sangat sedikit diketahui.

Kisah Tiga Kerajaan atau Sam Kok mengambil kejadian sejarah antara tahun 184 dan 280 Masehi sebagai isi ceritanya. Yang disebut Sam Kok ialah tiga negara di Tiongkok pada zaman itu, yaitu Negara Wei, Negara Shu dan Negara Wu. Novel Sam Kok menceritakan perjuangan politik dan militer antara ke-tiga negara tersebut untuk menyatukan Tiongkok. Sebagai novel yang memfokus pada pertarungan militer, yang paling menarik pembaca dalam novel Sam Kok adalah kearifan militer yang tercantum di dalamnya. Novel Sam Kok dengan sukses melukiskan banyak tokoh yang terkenal, antara lain, Raja Cao Cao dari Negara Wei, Raja Sun Quan dari Negara Wu dan ahli militer Zhu Geliang dari Negara Shu. Khususnya Zhu Geliang dilukiskan sebagai tokoh yang penuh kearifan. Zhu Geliang yang mahir dalam pengetahuan astronomi dan geografi itu hampir-hampir tak pernah dikalahkan karena dapat meramalkan sesuatu tanpa kesalahan seperti layaknya seorang nabi atau dewa. Taktik militer yang digunakannya seperti Caochuan Jiejian atau "menghimpun anak panah musuh dengan perahu jerami" dan Kongchengji atau "Kota Kosong" telah diabstraksi menjadi taktik yang dijunjung tinggi dewasa ini oleh pedagang dalam kegiatan bisnis dan prinsip untuk menangani urusan dalam kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya kami perkenalkan novel Shuihu Zhuan atau Tepi Air yang ditulis pada akhir abad ke-14. Dalam novel itu dilukiskan 108 panglima pasukan pemberontak petani dengan Song Jiang sebagai panglima besarnya. Mereka baik karena sebab politik dan ekonomi maupun hanya karena persaudaraan saja berkumpul di Liangshan Provinsi Shandong Tiongkok Timur, di mana mereka membunuh orang yang beruang tapi tak berbudi dan melancarkan pemberontakan melawan pemerintahan yang lalim. Pasukan pemberontak dijuluki "Pahlawan Liangshan" atau "Liangshan Haohan" dalam bahasa Tionghoa. Sebelum novel Tepi Air dikarang, cerita tentang pasukan pemberontak Liangshan sudah tersebar luas di kalangan rakyat. Opera dengan isi yang sama juga tidak sedikit. Novel Tepi Air justru dikarang oleh Shi Nai'an berdasarkan cerita dan opera yang tersebar di kalangan rakyat. Novel ini mencerminkan keadaan politik, sosial, kebudayaan dan adat istiadat zaman Dinasti Song antara abad ke-10 dan abad ke-13.

Novel "Xiyouji" atau "Ziarah Ke Barat" karya Wu Cheng'en, sebagai salah satu dari empat novel klasik terkenal Tiongkok mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah kesusastraan Tiongkok. Novel ini dikarang dengan mengambil cerita ziarah Biksu Tang Xuanzang Tiongkok ke India pada abad ke-9 yang tersebar di kalangan rakyat. Ziarah Ke Barat adalah novel mitos panjang pertama Tiongkok. Melalui cerita tentang 81 kesulitan atau malapetaka yang dialami oleh Biksu Tang Xuanzang dan muridnya dalam perjalanan berziarah ke India untuk mengambil kitab suci agama Buddha, novel ini berhasil memanifestasikan keadaan nyata yang terdapat di dunia sejati. Dalam novel itu dilukiskan tokoh-tokoh manusia, dewa dan siluman binatang. Tokoh utama dalam novel itu antara lain Sun Wukong, si kera yang serba bisa dan maha berani serta Zhu Bajie yang gemuk dan lucu. Pengarang berhasil memadukan agama Budha dan agama Dao Tiongkok dalam jalur cerita sehingga sangat berciri khas Tiongkok.

Adapun novel Hongloumeng atau Impian Wisma Merah adalah karya yang paling tinggi nilai seninya dan dianggap sebagai karya Tiongkok yang paling besar. Berbeda dengan ketiga novel klasik tersebut, novel Impian Wisma Merah adalah karya orisinal dengan Cao Xueqin (tahun 1715-1763) sebagai pengarangnya. Novel ini pertama-tama populer di antara para pembaca dengan bentuk naskah tulisan. Novel ini baru diterbitkan secara resmi pada waktu kemudian hari karena isinya dianggap banyak menyangkut politik dan pemerintahan zaman Dinasti Qing, dinasti terakhir. Pengarang Cao Xueqin dilahirkan di keluarga pejabat tinggi yang mulai bobrok. Kakek dan ayahnya adalah pejabat tinggi pemerintah Dinasti Qing dan berhubungan erat dengan keluarga Kaisar, namun sampai Cao Xueqin dilahirkan, keluarganya sudah sangat merosot dan tidak berkuasa lagi, bahkan hidupan pun sangat sulit. Pendapat umum menganggap bahwa Cao Xuqin yang miskin mengarang Impian Wisma Merah berdasarkan pengalamannya sendiri, tapi meninggal sebelum novel itu selesai ditulis. Kemudian, seorang novelis bernama Gao E sempat membaca naskah novel itu dan berhasil menulis kesudahan novel yang berisi 120 episode.

Dari jaya dan merosotnya keluarga Jia, Shi, Wang dan Xue, empat keluarga besar feodal, khususnya keluarga Jia, novel Impian Wisma Merah mencerminkan jaya dan merosotnya seluruh masyarakat waktu itu. Novel ini mempunyai 400 lebih tokoh yang masing-masing mempunyai nama. Mereka masing-masing memiliki watak yang jelas dan berbeda. Pelukisan tokoh-tokoh itu mencerminkan teknik sastra tinggi pengarang dalam menciptakan novel tersebut. Adapun pelukisannya yang teliti dan berkali-kali tentang kehidupan sehari-hari dianggap paling dapat mencerminkan adat istiadat Beijing kuno pada abad ke-18. Maka novel Impian Wisma Merah diakui umum sebagai mahakarya sastra klasik Tiongkok.