|
Harian Ha'aretz dan Jerusalem Post Israel kemarin menyatakan dengan menyitir perkataan seorang pejabat Israel bahwa Israel sedang berencana mengirim utusan khusus ke beberapa negara Arab untuk memberitahukan secara rinci rencana "aksi sepihak" Perdana Menteri Sharon dalam rangka memperbaiki hubungan dengan negara-negara Arab. Tanda-tanda menunjukkan bahwa hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab sudah berada pada saat perubahan yang pelik.
Sejak didirikan pada tahun 1948, Israel selalu berada dalam keadaan perang atau permusuhan dengan negara-negara Arab. Antara Arab dan Israel pernah terjadi empat kali perang Timur Tengah secara besar-besaran, dan kedua pihak telah membayar mahal untuk itu. Kemudian, Mesir dan Yordania lebih dulu mengubah pendiriannya dengan menandatangani perjanjian perdamaian dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Tindakan kedua negara itu diikuti oleh sejumlah negara Arab lain yang berpendirian moderat dengan mengadakan kontak dengan Israel dan saling membuka perwakilan resmi. Namun hubungan antara Arab dan Israel kembali memburuk sejak meletusnya bentrokan Palestina-Israel September tahun 2000. Mesir dan Yordania berturut-turut menarik duta besarnya dari Israel, Maroko dan negara-negara lain juga menutup perwakilannya di Israel.
Tiga tahun lebih telah berlalu, kini Israel secara inisiatif mengupayakan perbaikan hubungan dengan negara-negara Arab, terutama didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, situasi Timur Tengah telah mengalami perubahan sangat besar setealh perang Irak. Lingkungan regional yang dihadapi Israel mengalami banyak perbaikan. Bagi Israel, terbuka kemungkinan untuk memposisikan kembali hubungannya dengan negara-negara Arab. Irak pernah menjadi wakil kekuatan berhaluan paling keras di kawasan Timur Tengah, dengan tegas menentang keberadaan Israel dan tegas mendukung golongan radikal Palestina. Namun perang Irak telah mengubah semua itu. Dengan tumbangnya Saddam Hussein, organisasi radikal Palestina kehilangan sumber dana yang utama dan negara-negara Arab lain yang berhaluan keras juga terpaksa harus mempertimbangkan untuk menyesuaikan kembali kebijakannya dalam masalah hubungan antara Arab dan Israel. Misalnya Libia mulai mengadakan kontak rahasia dengan Israel dan Suriah juga menyatakan kesediaan untuk memulihkan perundingan perdamaian dengan Israel.
Kedua, pendirian pemerintah Amerika sekarang ini yang lebih memihak Israel menyebabkan negara-negara Arab yang berhaluan moderat hanya bisa mengikuti pendirian Amerika, dan ini adalah kesempatan yang dapat dimanfaatkan Israel untuk memperbaiki hubungan dengan negara-negara Arab. Abaru-baru ini, Mesir menyatakan kesediaan untuk membantu Sharon melaksanakan rencana sepihaknya dan terus menerus memberikan tekanan kepada pihak Palestina. Sikap Mesir yang jelas mendekati Israel dan menjauhi Palestina itu menunjukkan bahwa Mesir sedang menyesuaikan kembali politik Timur Tengahnya berdasarkan kebutuhan situasi baru.
Ketiga, mengupayakan dukungan negara-negara Arab kepada rencana aksi sepihak teramat penting bagi Israel. Rencana aksi sepihak telah diluluskan oleh kabinet Israel dan mendapat dukungan Amerika, PBB dan Uni Eropa. Namun untuk melaksanakan rencana itu secara efektif, perlu mendapat dukungan negara-negara Arab sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam bentrokan Arab-Israel.
Sebenarnya, perasaan mendesak Israel untuk memperbaiki hubungannya dengan negara-negara Arab itu mudah dipahami. Selama lebih 50 tahun sejak berdirinya, Israel senantiasa berjuang untuk mendapatkan pengakuan negara-negara Arab. Namun sementara itu perlu dilihat bahwa inti bentrokan Arab-Israel kalau dianalisa sampai ke akar-akarnya adalah masalah antara Palestina dan Israel. Maka, tanpa penyelesaian masalah itu secara tuntas, hubungan Arab-Israel akan sulit diperbaiki dalam arti kata sesungguhnya.
|