|
Sudah lama saya mendengar bahwa di daerah Zuojiang Guangxi Tiongkok barat-daya dihasilkan semacam arak yang disebut "arak monyet". Arak itu cukup terkenal. Dari bahan apa arak itu dibuat dan bagaimana rasanya? Ini selalu menjadi pertanyaan dalam hatiku. Belum lama berselang, kami mendapat kesempatan mengunjungi Kota Nanning di Guangxi untuk suatu tugas peliputan. Selesai tugas ternyata masih ada sisa waktu bagi kami untuk melanjutkan kunjungan ke Desa Longjia di Kabupaten Tianyang yang merupakan daerah penghasil "arak monyet" yang terkenal itu. Desa itu terbilang tidak terlalu jauh dari Kota Nanning. Sampai di Desa Longjia kami diatur untuk menginap di rumah kepala desa. Bapak kepala desa adalah seorang yang sangat terbuka dan jujur. Ia dengan ramah menyuguhi kami setiap orang secawan penuh "arak monyet" yang sudah lama menjadi idaman kami. Tapi sesaat benar-benar menghadapinya, rasa takut membuat kami sangat ragu untuk mereguknya. Entah arak dalam cawan itu terbuat dari bagian mana dari tubuh monyet? Warga desa yang mengantar kami terus mendesak agar kami mencicipi arak itu. Bapak kepala desa juga menatap kami dengan senyum penuh harapan. Mereka selalu menghindar pertanyaan kami tentang bahan pembuat arak tersebut. Bapak kepala desa hanya mengatakan bahwa besok kami akan mendapatkan sendiri jawabannya . Terakhir kami memberanikan diri untuk menghabiskan secawan arak itu dengan sekali regukan. Wah, ternyata bukan main nikmatnya, manis, harum dan sedikit asam, pokoknya semacam citra rasa yang sangat unik, lain dari pada yang lain, tidak "mengerikan" seperti apa yang kami bayangkan semula.
Sore keesokan harinya, kami bertiga berangkat menuju gunung di belakang desa itu dengan masing-masing mengenakan sepatu yang terbuat dari rumput dan topi yang terbuat dari ranting pohon sebagai kamuflase. Kira-kira satu jam kami mendaki gunung itu, Bapak kepala desa memberi isyarat agar kami sekali lagi meringankan langkah masing-masing. Setelah melewati satu belokan, Bapak kepala desa mulai menyimak semak belukar di depannya, tiba-tiba terbentang di hadapan kami sebuah mulut gua berdiameter sekitar satu meter. Kami bertiga dengan diam-diam merangkak masuk ke dalam gua yang gelap gulita itu. Setelah berbelok-belok sebanyak 3 kali, terciumlah bau harum sedap buah-buahan. Dan sesaat itulah Bapak Kepala Desa tiba-tiba menyalakan lampu senternya, wah, kami sangat terperajat oleh apa yang terbentang di hadapan mata, beronggok-onggok buah-buahan tertumpuk penuh di sekitar kami, plum, apricot, haw dan persik, semuanya merupakan hasil hutan. Semua buah yang terdapat di dalam gua itu benar-benar matang di pohon sehingga menghamburkan bau harum yang menggiurkan. Sampai saat itulah Bapak Kepala Desa baru menjelaskan kepada kami bahwa buah-buahan liar itu adalah ragi untuk membuat "arak monyet". Kemudian dari tutur Bapak Kepala Desa kami mengetahui bahwa di gunung itu terdapat banyak monyet, siang hari monyet-monyet itu berbondong-bondong meninggalkan gua yang menjadi sarangnya dan pergi mencari buah-buahan liar. Sampai senja hari mereka memboyong pulang buah-buahan hasil petikannya ke dalam gua, tapi buah-buah itu sering tak termakan habis, lalu ditumpuk di dalam gua, lama ke lamaan karena peranan suhu dalam gua, buah-buahan itu dengan sendirinya meragi dan menjadi semacam ragi arak alami. Warga desa pada umumnya mencuri-curi masuk ke dalam gua untuk mengambil ragi alami itu pada saat monyet-monyet meninggalkan gua mencari makanan sekitar pukul 8 sampai 9 pagi . Dengan ragi buah alami itu mereka membuat arak yang disebut "arak monyet". Warga desa umumnya tidak menjual arak itu, melainkan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Tapi menurut keterangan kepala desa, sangat tidak mudah untuk mendapatkan ragi arak monyet yang unggul, karena monyet-monyet di gunung itu sangat licik, sekali mereka menemukan simpanannya dalam gua dicuri manusia atau mencium adanya gejala yang mencurigakan, mereka akan segera saling memberi tahun, dan kemudian secara bergotong-royong cepat-cepat memindahkan buah-buah itu ke gua lain, atau lebih lincik lagi dengan mencampurkan ke dalam onggokan buah-buahan yang tersisa itu semacam tumbuhan rumput-rumputan yang sangat beracun, untuk mencelakakan manusia. Ya, untungnya manusia selalu lebih pandai daripada binatang.
Ketika kami meninggalkan gua dengan masing-masing mendukung sebakul penuh buah-buahan liar dipunggung, Bapak Kepala Desa yang memimpin dengan berjalan di depan kami tetap saja membungkukkan badan dan menutup kepalanya dengan ranting-ranting pohon, sehingga terlihat aneh dan lucu, tapi kami harus menirunya. Setelah meninggalkan daerah "rawan" dan tiba di tempat yang dianggap amam, Bapak Kepala Desa lalu menceritakan kepada kami kejadian beberapa hari yang lalu. Beberapa hari sebelum kami datang, dua orang wisatawan Jepang berhasil "mencuri" buah-buahan itu dari dalam gua, saking gembiranya mereka lupa daratan dan menanggalkan semua kamuflase, akhirnya dipergoki oleh beberapa ekor monyet yang tengah "berpiket" di atas sebuah pohon yang berjarak cukup jauh dari tempat itu. Monyet-monyet itu segera meloncat dari pohon ke pohon sampai sebuah pohon di mana kedua orang Jepang itu sedang berlalu . Suatu "musibah" terjadilah. Astaga, monyet-monyet itu mengencingi kedua wisatawan Jepang dari atas pohon sebagai hukuman! Sialan benar kedua orang Jepang itu.
Kami kembali ke Beijing dengan membawa beberapa botol "arak monyet" sebagai oleh-oleh untuk dibagi-bagikan kepada rekan-rekan sekantor dan menceritakan kepada mereka kisah-kisah menarik tentang "arak monyet" dan petualangan kami.
Demikian tadi telah kami ceritakan "arak monyet" dan kisah-kisah menarik tentang "arak monyet" sebagai pengisi Ruangan Serba Serbi untuk edisi ini. Terima kasih atas perhatian saudara.
|