Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2004-08-11 16:20:55    
Shuhe

cri

Kota kuno Lijiang di Provinsi Yunnan adalah sebuah kota yang tercantum dalam Daftar Warisan Budaya Dunia. Lijiang terkenal tidak saja pemandangan alam dan kotanya yang bersejarah lama, tapi juga pesona etnis Naxi dan budayanya. Kelompok bangunan kuno di Shuhe yang merupakan bagian dari kota kuno Lijiang memiliki ciri khas yang asli.

Shuhe merupakan salah satu tempat permukiman yang paling awal bagi nenek moyang etnis Naxi di dataran Lijiang, dan adalah salah satu kota kuno penting yang terpelihara paling utuh di Jalan Chama, juga sebuah spesimen hidup peralihan etnis Naxi dari peradaban pertanian ke peradaban dagang. Pengarang etnis Naxi, Fuba dalam buku karangannya mengatakan, Shuhe adalah sebuah pos tempat kurir menukar kuda atau istirahat pada zaman dulu. Sejumlah cukup banyak penduduk singgah di sini karena perdagangan kafilah berkuda. Tukang kulit dan tukang besi di sini berkembang karena langsung melayani kafilah berkuda. Jalan Shuhe terjadi dengan sendirinya dan merupakan miniatur Jalan Sifang di Lijiang.

Kalau kita perhatikan, pada bagian atas setiap rumah tua di kota ini terdapat sebuah hiasan gantung dari kayu yang bentuknya seperti ikan. Konon, ada seorang pejabat daerah di Shuhe bernama Yang Jian. Seorang bawahannya pada suatu hari berkunjung ke rumahnya dengan membawa oleh-oleh dua ekor ikan besar dengan harapan agar dinaikkan pangkatnya. Dua minggu kemudian, ia berkunjung lagi ke rumah pejabat itu, diketahui bahwa ikan yang diberikan tidak dimakan oleh pejabat itu tapi digantung di tiang rumah. Maka sadarlah ia bahwa Yang Jian adalah seorang pejabat yang bersih. Sejak itu, "ikan gantung" menjadi lambang kebersihan pejabat di Lijiang, dan kemudian berubah pula menjadi lambang anti kebakaran karena ada ikan tentu ada air.

Penduduk Shuhe sangat menyayangi alam dan mendambakan kedekatan antara manusia dan alam. Waktu berjalan, mereka berhati-hati sekali agar tidak merusak gunung, ketika membangun rumah di pinggir sungai, mereka berhati-hati menjaga agar aliran air tidak terhambat. Jalan-jalan dan gang-gang di kota dibuat lantai dengan batu warna warni, dan berdekatan dengan sungai.Warga Shuhe gemar menanam pohon wilou dan di sampingnya ditanam pohon mawar merah. Ketika mawar bermekaran bersanding di kerimbunan pohon hijau, membentuk suatu pemandangan yang indah semarak.

Untuk menyaksikan pemandangan seluruh kota Shuhe, kami mendaki puncak Gunung Jubao. Dari puncak itu kami melihat Gunung Yulong yang tertutup salju di kejauhan dan Gunung Bijia yang agak berdekatan, atap genteng rumah-rumah penduduk terhampar di depan mata. Pengarang etnis Naxi, Fuba mengatakan, Shuhe dulu adalah sebuah pos tempat kurir menukar kuda atau beristirahat pada zaman kuno dan merupakan suatu contoh tipikal peralihan dari budaya pertanian ke budaya industri dan dagang. Penduduk di kota ini dulu kebanyakan bermata pencaharian sebagai pengolah kulit, maka dinamakan desa tukang kulit. Dulu, penduduk etnis Tibet dan Naxi di Jalan Kuno Chama membutuhkan banyak alat-alat dari kulit, maka desa ini menjadi pusat pengolah kulit, hampir setiap keluarga mengerjakannya. Setelah perdagangan di sini berkembang, daerah ini menjadi tempat pertemuan multi budaya dan tempat permukiman etnis-etnis Tibet, Bai, Han, Yi dan Naxi.

Shuhe memiliki kelompok bangunan zaman kuno, masyarakat di sini ramah dan menganut pola hidup sederhana, membuat setiap pengunjung merasa dekat dengan kota dan masyarakat di sini.

Kami sempat bertamu ke rumah Yang Fang. Di sana kami disuguhi buah plum yang dipetik ibunya Yang Fang dari pohon di pekarangan. Sambil mencicipi buah manis itu, kami mendengarkan cerita Yang Fang bahwa pada suatu hari, ada rombongan wisata dari Jepang bertamu ke rumahnya. Hari itu bertepatan dengan Festival Rembulan dan ibunya Yang Fang sedang sibuk membuat kue rembulan atau tongciupia. Tamu-tamu dari Jepang itu lalu merogoh kocek ingin membeli, tapi ayah dan ibu Yang Fang tidak menerima uang yang disodorkan, melainkan mengundang mereka ramai-ramai mencicipi kua rembulan buatan sendiri. Kata ayah dan ibu Yang Fang, kalau tamu senang makan kue rembulan, sewaktu-waktu boleh datang ke rumah untuk menikmatinya. Begitulah masyarakat Shuhe yang ramah menyambut kedatangan tamu.