Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2004-09-29 13:48:09    
Kuil Labuleng

cri

Dataran Tinggi Qinghai-Tibet yang terletak di Tiongkok barat serta daerah sekitarnya adalah tempat permukiman etnis Tibet. Di daerah yang luas itu tedapat gletser dan gunung salju, mata air sungai dan pemandangan alam megah lainnya. Selain itu terdapat pula lanskap budaya yang misterius seperti kuil agama Buddha aliran Tibet dan lain sebagainya. Dalam Ruangan Bertamasya di Tiongkok edisi ini sadara akan kami ajak mengunjungi Kuil Labuleng yang terletak di pinggiran timur Dataran Tinggi Qinghai-Tibet.

Bertolak dari Lanzhou, ibukota Provinsi Ganshu Tiongkok barat laut, bermobil ke arah selatan menempuh perjalanan 100 km lebih akan tampak terhampar kelompok bangunan yang megah gemerlapan. Seluruh kelompok bangunan bersandar pada bukit dan menghadap sungai, di antaranya terdapat sejumlah besar istana beratap warna kuning keemas-emasan, pagoda berlapiskan emas dan kuil beratap glasir warna hijau. Kelompok bangunan yang megah itulah Kuil Labuleng yang terkenal.

Kuil Labuleng adalah salah satu kuil Buddha aliran Tibet Tiongkok terkenal yang dibangun pada tahun 1709, merupakan pusat agama Buddha aliran Tibet dan Institut Agama Buddha Tertinggi di daerah Tiongkok barat laut. Sepanjang tahun kuil ini didatangi banyak peziarah, dan pada zaman jayanya terdapat 4.000 biksu di kuil itu.

Ketika kami datang ke Kuil Labuleng ternyata kuil ini sangat hening, tidak banyak pengunjung, hanya terlihat beberapa biksu Lama berjemuran di depan pintu. Mereka tertarik melihat kedatangan kami, namun ketika kami menghampiri hendak mengajak mereka bicara. Mereka langsung berpaling dan lari tampak malu-malu.

Kami diterima oleh seorang biksu Lama berusia muda, Zhaxijiacuo namanya. Ia bercerita banyak kepada kami. Dari kisah-kisah yang dituturkan itu tampak ia mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam tentang budaya agama Buddha aliran Tibet. Dengan diantar oleh Zhaxijiacuo, kami berkunjung ke Institut Kedokteran Kuil Labuleng, sebuah institut yang khusus mempelajari kedokteran Tibet. Zhaxijiacuo mengatakan,"Kuil Labuleng mempunyai 6 institut. Setiap tiga istana membentuk sebuah institut, istana depan adalah tempat ujian bagi para siswa, istana utama adalah tempat kuliah dan istana belakang adalah tempat para umat bersembahyang. Institut kedokteran yang terutama mempelajari kedokteran Tibet kini mempunyai lebih 130 siswa. Mereka perlu waktu 6 tahun untuk menyelesaikan kuliah."

Institut kedokteran adalah sebuah rumah berhalaman. Jendela istana utama tertutup oleh gorden warna hitam sehingga kelihatan misterius. Zhaxijiacuo mengatakan, para biksu Lama institut kedokteran itu setiap tahun harus mencari bahan obat di pegunungan, kemudian diolah menjadi obat untuk mengobati pasien sebagai praktek kebajikan.

Meninggalkan institut kedokteran itu, hari sudah senja. Atap kuil memantulkan warna kuning keemas-emasan. Dinding bangunan gaya Tibet warna putih, merah dan kuning tampak sangat cerah di bawah langit biru yang bersih, membentuk pemandangan yang sangat indah menawan. Di sana tampak banyak mahasiswa Institut Seni Rupa sedang asyik melukis. Warna indah pemandangan sekeliling daerah ini sungguh merupakan sorga bagi pelukis.

Istana Buddha yang terpenting di Kuil Labuleng adalah Istana Atap Kencana yang atapnya tertutup oleh genteng emas seberat lebih 100 kilogram. Begitu memasuki istana, segera tampak banyak peziarah sedang menyembah dengan menundukkan kepala sampai tanah dan menelungkupkan seluruh tubuh di depan istana. Cara menyembah ini merupakan ritual paling tinggi untuk menghormat Buddha. Di antara para peziarah itu tampak seorang wanita yang mengenakan jubah ala Tibet. Pada kedua tangannya dikenakan papan berbentuk bundar sedang dengan takwa melakukan ritual menyembah mengelilingi istana. Ia tampak masih muda usia dengan kuncir di kepala tanpa menunjukkan sesuatu perasaan di mukanya kecuali dengan penuh kesungguhan melakukan ritual menyembah sambil menelungkupkan seluruh badannya ke permukaan tanah. Selain itu terdapat pula banyak orang sedang berjalan dengan cepat mengelilingi istana. Kata Zhaxijiacuo, mereka sedang putar ritus. Mereka berjalan cepat karena harus mengelilingi istana sedikitnya 3.000 kali.

Dengan penasaran sekali kami ikut berjalan mengelilingi istana. Beberapa biksu yang sedang putar ritus menyapa kami dengan ramah dan santai. Menyaksikan para peziarah yang tampak bergegas itu, kami sangat diharukan oleh ketaatan mereka kepada agama yang dianutnya. Dari pancaran sinar mata mereka yang bening terasa seolah hati mereka dekat sekali dengan surga di langit. Kuil Labuleng adalah tempat para biksu menuntut ilmu tentang agama Buddha dan tempat suci di hati sanubari para peziarah, sekaligus khazanah seni yang maha besar. Kepada kami , Zhaxijiacuo memperkenalkan tiga seni unik di Kuil Labuleng. "Lukisan dinding, kembang mentega dan kota sorga adalah tiga seni unik Kuil Labuleng. Di antaranya, kota sorga hanya dibuat ketika kuil mengadakan kegiatan ritual, caranya ialah menggunakan berbagai jenis pasir berwarna untuk membentuk pemandangan sorga dalam agama Buddha. Lukisan dinding dalam agama Buddha aliran Tibet kebanyakan dilukis di atas kanvas, kemudian ditempelkan ke dinding, lain dengan lukisan dinding etnis Han." Demikian kata biksu Zhaxijiacuo.

Ketika kami akan menginggalkan kuil Labuleng, untung sekali sempat diterima oleh Buddha hidup kuil itu, Dewachang yang berperawakan tinggi besar dengan mengenakan jubah warna merah, tampak sehat dan kekar. Kepada kami ia memperkenalkan keadaan di Kuil Labuleng,"Kuil Labuleng adalah situs budaya titik berat yang dilindungi negara. Setiap tahun banyak wisatawan berkunjung ke sini. Mereka sangat menghargai benda-benda budaya yang berharga di kuil ini. Kuil Labuleng dikunjungi banyak sekali peziarah dan setiap tahun berlangsung upacara ritual besar-besaran. Di kuil ini terdapat biksu berusia lanjut maupun murid-murid baru. Para biksu menggunakan sebagian besar waktunya untuk belajar ajaran agama Buddha dan mengajar pengetahuan tentang Buddhisme."

Keluar dari Kuil Labuleng kami melihat banyak biksu Lama sedang menggelar kain di atas tanah rumput dan berteduh di bawah payung di lereng gunung seperti sedang piknik. Menurut keterangan pemandu wisata, para biksu Lama sering berjalan-jalan ke luar kuil waktu istirahat. Di perjalanan pulang, kami bertemu dengan seorang biksu Lama berusia sekitar 40 tahun. Ia adalah guru di Kuil Labuleng. Ia mengatakan,"Penghidupan di kuil tidak sulit. Asrama siswa dilengkapi telepon dan komputer. Para siswa umumnya memiliki telepon genggam. Komunikasi tidak menjadi soal."

Kami meninggalkan Kuil Labuleng dengan perasaan seolah jiwa kami mendapat kejernihan. Di dalam kuil yang megah gemerlapan itu tersimpan cahaya dunia spiritual yang lebih mendalam.