Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2004-10-25 14:42:40    
Keadaan Bulan Ramdhan di Beijing

cri

Pada bulan Ramadhan seperti saat sekarang ini, tidak kelihatan suasana yang menandakan bahwa ini adalah bulan Ramadhan, tidak ada bedug sahur, tidak ada penjual dadakan, ataupun masakan-masakan khusus di keluarga muslim sebagai hidangan berbuka puasa, tidak ada kenaikan harga yang tajam, serta budaya mudik. Namun di bulan Ramadhan ini, kegiatan di mesjid terasa lebih sibuk dan ramai, yang dipenuhi oleh warga untuk melakukan sholat tarawih dan witir secara berjamaah di mesjid-mesjid dengan jumlah raka'at yang berbeda-beda, ada yang hanya mengerjakan sebanyak 11 raka'at hingga 23 raka'at. Bahkan dari sumber yang saya dengar, yaitu dari seorang muslim warga negara Nigeria yang telah lama tinggal di Beijing, kurang lebih selama 12 tahun dan bekerja sebagai tenaga ahli di CRI, seksi bahasa Pashtu mengatakan, tidak menghadapi banyak masalah atau halangan dalam melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, baik soal waktu atau pun keadaan udara yang saat ini mulai memasuki musim gugur, justru keadaan udara yang sejuk ini sangat baik dan menyenangkan, di mana sangat berbeda dengan keadaan udara di Nigeria yang setiap tahunnya panas. Dalam keadaan udara seperti di Beijing ini, Mrs. Lubaba, tidak merasakan haus dan lapar. Puasa yang dijalankan dapat berjalan lancar. Walaupun ada sedikit beda, mungkin hanya soal budaya saja, di Nigeria pada saat bulan Ramadhan, suasana di negeri tersebut sedikit berbeda jika dibandingkan dengan bulan-bulan lain, sama halnya dengan di Indonesia, pada saat bulan Ramadhan, ada terdengar bedug sahur, penjual dadakan berbagai makanan untuk berbuka puasa yang mengundang selera, dan lain sebagainya, tapi di Tiongkok kita tidak akan menemukan hal demikian, sangat biasa dan kehidupan berjalan seperti hari-hari lainnya, misalnya restoran muslim di Tiongkok dan pengusaha makanan lainnya bebas melakukan bisnisnya tanpa harus menutup restoran atau tokonya untuk sebagai penghormatan di bulan Ramadhan. Mungkin jika di daerah sekitar lingkungan mesjid akan terasa, namun itu pun juga hanya sedikit saja.

Dalam kehidupan warga muslim khususnya di negara-negara Arab atau Timur Tengah, kurma menjadi hidangan khas untuk berbuka puasa, tapi di Beijing kebiasaan itu tidak dilakukan. Kurma bukan menjadi hidangan khas. Mereka biasanya berbuka dengan masakan-masakan umum atau sehari-hari sebagaimana yang kerap mereka makan, namun sedikit beda dengan warga Tiongkok non muslim, muslim Tiongkok senang makan makanan kari, terutama kari kambing yang dimakan bersama dengan roti ala masakan Timur Tengah. Tapi selama bulan puasa ini, mereka lebih banyak makan nasi bubur, karena menurut hemat mereka bahwa selama puasa, mereka harus menahan dahaga dan sangat kurang minum, oleh sebab itu mereka lebih banyak membutuhkan cairan, dan bubur adalah salah satu makanan yang banyak mengandung air.

Sama halnya dengan salah seorang pelajar muslimat Indonesia, Nisa Famaya Amalia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Ekonomi dan Bisnis Internasional di Beijing jurusan Bisnis ini mengungkapkan, selama menjalankan puasa yang sudah dilakukannya sebanyak dua kali di negeri ini, tidak ada masalah atau kendala yang serius yang dialaminya, mungkin hanya sedikit rasa sepi, karena tidak berada di tengah-tengah keluarga serta merasakan suasana atau situasi yang kurang meriah dalam menyambut dan menjalankan ibadah puasa di sini, yang sama sekali tidak kelihatan seperti bulan Ramadhan. Sedangkan dengan perbedaan waktu dan pengaruh cuaca, bukan hal yang terlalu membawa efek besar dalam menjalankan ibadah puasa, justru keadaan udara demikian sangat menyenangkan di mana waktu berpuasa dirasa lebih pendek jika dibandingkan dengan di Indonesia, namun bagi Nisa, mahasiswi Indonesia ini, mengatakan keadaan udara yang sejuk ini kerap membuat perutnya cepat terasa lapar dibandingkan rasa haus. Sementara dengan keadaan tempat yang mayoritas non muslim ini juga tidak menjadi halangan yang besar untuk tidak berpuasa, karena teman-teman di kampus sudah mengetahui bahwa Nisa adalah seorang muslimat, mereka menghormati dan memahami status Nisa, walau bukan berarti berbagai pertanyaan seputar Islam kerap ditanyakan oleh mereka yang kurang mengetahuinya, dan keadaan ini justru merupakan suatu tantangan sekaligus sebagai ajang untuk syiar Islam, demikian pendapatnya. Di mana banyak warga yang merasa kaget dan bingung manakala mengetahui bahwa di bulan Ramadhan seluruh umat muslim dan muslimat yang sudah akil baliq diwajibkan untuk berpuasa, hal tersebut menjadi tanda tanya besar, karena mereka tidak dapat membayangkan bagaimana manusia bisa menghabiskan waktu hampir satu harian penuh tanpa makan dan minum, hal serupa juga dialami oleh Mrs. Laluba, pertanyaan-pertanyaan itu datang kepada mereka, dan ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk melakukan syiar Islam bagi warga yang tidak mengetahui secara baik mengenai Islam.

Hal menarik dari komunitas muslim Beijing, baik dilihat dari sikap maupun kebiasaan umatnya pada saat menjelang Ramadhan ialah, mereka dua hari sebelumnya telah menyebarkan jadwal puasa Ramadhan di mesji-mesjid, dan pada saat merayakan lebaran Idul Fitri atau Idul Adha, yang biasanya dirayakan secara besar-besaran, kerap mengundang beberapa warga asing muslim untuk merayakannya bersama. Ini merupakan hal yang menarik dan indah yang telah dialami oleh beberapa warga asing muslim di sini, mereka berkumpul bersama bagai satu keluarga meski datang dari berbagai negara yang berbeda.

Di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing, selama bulan puasa ini membuat suatu program taraweh dan witir bersama terbuka bagi siapa saja dengan mengundang salah seorang ulama atau ustadz dari Jakarta. Hal ini sudah menjadi menu tahunan dalam agenda acara KBRI Beijing. Maka tak heran jika pelaksanaan sholat Isya, Taraweh, dan Witir, banyak warga asing lain datang untuk melakukan sholat bersama di KBRI Beijing. Selanjutnya selesai sholat acara dilanjutkan dengan ceramah atau tausyiah seputar Ramadhan dan syariat Islam. Sangat damai dan sejuk, di mana hal tersebut sangat susah untuk ditemui di Beijing, siraman rohani demikian sangat amat baik dan dibutuhkan agar rasa keimanan tetap terjaga di negeri asing yang mayoritas non muslim ini. Sesama warga muslim Indonesia, terasa kompak dan bagaikan keluarga sendiri di arena tersebut. Duduk bersama mendengarkan ceramah yang sesekali diselingi dengan kelakar-kelakar atau lelucon-lelucon yang dapat mengundang tawa, sehingga ruangan samping KBRI yang digunakan untuk acara tersebut terasa meriah dan gembira, sang ustadz benar-benar jago untuk memeriahkan suasana menjadi ceria dan damai lewat untaian kata-katanya. Pada setiap hari Senin dan Kamis, KBRI Beijing menggelar acara berbuka puasa bersama. Makanan-makanan yang dihidangkan khas masakan Indonesia yang dimasak oleh ibu-ibu pejabat diplomat KBRI Beijing secara bergiliran. Hal ini sangat mengharukan bagi kami warga negara Indonesia yang jauh dari rumah dan sanak keluarga, tentu makanan seperti itu sulit untuk dicari atau didapat di Beijing ini, apalagi bagi mahasiswa pria atau pun wanita yang tidak memiliki kepandaian untuk memasak. Dengan diadakannya acara berbuka bersama, maka merupakan kesempatan untuk mencicipi masakan Indonesia di bulan Ramadhan ini. Terasa amat sangat nikmat apalagi di makan beramai-ramai. Seakan suasana Indonesia hadir di Beijing.