Tahun ini adalah ulang tahun ke-60 kemenangan perang melawan Jepang di Tiongkok dan perang antifasis di dunia. Untuk memperingati hari kemenangan itu siaran CRI kami membuat acara khusus serial yang mengenang sejarah yang tak dapat dilupakan. Dalam acara kali ini saudara pendengar akan kami ajak mengenang sejarah 40 tahun yang lampau waktu penjahat perang Jepang yang mengagresi Tiongkok menjalani hukuman di Tiongkok.
Pada musim panas tahun 1956, Pengadilan Militer Khusus Mahkamah Agung Rakyat Republik Rakyat Tiongkok bersidang dan memutuskan memberikan perlakuan murah hati dan pembebasan segera terhadap 1017 penjahat perang, tapi menjatuhkan hukuman penjara kepada 45 orang penjahat perang yang kejahatannya besar.
Keputusan itu membuat para penjahat perang sangat merasakan perlakuan murah-hati pemerintah Tiongkok. Cui Renjie, personel pengelola lembaga urusan penjahat perang yang mengikuti sidang pengadilan itu, sampai sekarang tak bisa melupakan adegan seorang penjahat perang yang mengaku berdosa atas kejahatannya di depan sidang. Ia mengenang, "Dalam penutupan pengutaraannya di depan pengadilan, penjahat perang itu mengakui kejahatan besar yang ia buat terhadap rakyat Tiongkok, dan seketika itu tiba-tiba ia berlutut di hadapan hakim ketua dan segenap hadirin sebagai pernyataan permintaan maaf atas kejahatannya. Inilah seorang militeris yang telah kami ubah menjadi manusia baru."
Ketika Mahkamah Agung Tiongok mengumumkan vonis terakhir, para penjahat perang tak seorang pun melakukan upaya hukum, semua orang menyatakan pengakuan atas kejahatannya dan dari kursi terdakwa tak putus-putusnya terdengar suara tangis yang membaur dengan rasa berdosa dan terharu. Wartawan asing yang menghadiri sidang itu dalam komentarnya mengatakan, " meskipun pendirian pihak yang mengadili dan orang yang diadili berlainan, tetapi di depan sidang pengadilan, hanya terdengar satu suara yang membelejeti perbuatan kejam imperialisme Jepang. Keadaan seperti itu tak pernah terjadi dalam sejarah pengadilan internasional."
Setelah kembali ke Jepang, penjahat-penjahat perang tersebut bersumpah membuang kelakuan yang jahat dan kembali kepada kebaikan serta berjuang untuk persahabatan antara Jepang dan Tiongkok dan perdamaian dunia. Dalam setengah abad kemudian mereka mempraktekkan sumpah itu dan tak pernah berubah.
Pengubahan Tiongkok terhadap penjahat perang Jepang dinilai sebagai " keajaiban dalam sejarah penjara di dunia". Penjahat perang yang dulu sebagai komandan tinggi tentara agresor, sekarang menjadi tokoh antiperang. Sarjana Akademi Ilmu Sosial Kota Fushun yang meneliti hubungan Tiongkok dan Jepang bernama Fu Bo ketika menguraikan keajaiban tersebut mengatakan:" Kenapa dikatakan sebagai ajaib? Karena pengubahan itu dipenuhi rasa dan perlakuan murah hati, justru murah hati itulah yang mengubah perasaan penjahat perang. Hanya 5 tahun mereka dijalankan pengubahan diri di Tiongkok, tetapi pengaruh terhadap mereka berlangsung 50 tahun lamanya. Para pengubah telah mengubah mereka dari setan perang menjadi manusia dan kemudian menjadi pemelihara perdamaian."
Lembaga Pengubahan Penjahat Perang Fushun sekarang menjadi tempat yang khusus memberikan kenangan sejarah dan pendidikan untuk angkatan muda. Bulan Mei tahun ini sejumlah lagi bekas penjahat perang Jepang mengunjungi tempat ini untuk menyatakan permintaan maaf atas kejahatan masa dulu serta bertobat, dan mengenangkan kembali pengubahan dirinya. Kepala lembaga sekarang ini Nyonya Hou Guihua yang baru kembali dari perjalanan ke Jepang mengatakan dengan terkesan: " Kami benar-benar terkesan mendalam dalam perjalanan kali ini ke Jepang untuk mengumpulkan data. Sekarang di Jepang kekuatan ultrakanan bangkit kembali, tetapi ada sebagian kecil orang tetap berpendirian menentang agresi, memelihara perdamaian dan melakukan hal-hal yang mendorong persahabatan Tiongkok dan Jepang, ini sungguh mengharukan kami."
Cui Renjie mantan pengelola lembaga pengubahan penjahat perang yang sudah berusia 80 tahun itu pernah mengalami perang melawan Jepang dan pernah menjalankan pengubahan terhadap penjahat perang. Terhadap hubungan Tiongkok dan Jepang yang berliku-liku sekarang ini, orang tua itu lebih-lebih menaruh perhatian pada kaum muda kedua negara. Ia mengatakan: " Sebagai saksi mata sejarah saya mengharapkan hendaknya kaum muda kedua negara Tiongkok dan Jepang jangan melupakan sejarah dan harus dengan tepat memperlakukan sejarah. Mengenai hidup kembalinya kekuatan ultrakanan Jepang saya menganggapnya sebagai suatu hal yang menyedihkan. Saya berharap, kaum muda kedua negara hendaknya menghargai iklim perdamaian sekarang ini dan berorientasi ke masa depan."
|