Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-06-27 14:25:29    
Kehidupan Baru Rakyat Etnis Dai

cri

Di daerah perbatasan Tiongkok barat daya terdapat hamparan tanah indah permai yang dinamakan Xishuangbanna. Sejak dahulu kala penduduk etnis Dai hidup turun-temurun di tanah itu dengan cara hidupnya yang sudah mantap, yaitu pria menggarap tanah dan wanita mengurus rumah tangga, mereka hidup swasembada. Selama tahun-tahun terakhir ini, tanah hijau alamiah yang tinggal satu-satunya di dekat garis balik utara itu menjadi obyek wisata terkenal dengan pemandangan gaya selatannya yang luar biasa sehingga menarik banyak wisatawan dalam dan luar negeri. Lalu apa perubahan kehidupan rakyat setempat yang didatangkan oleh pengembangan industri pariwisata di daerah itu? Saudara pendengar, dalam acara kali ini kami ajak Anda mengikuti wartawan kami memasuki kehidupan rakyat etnis Dai di Xishuangbanna yang sangat indah pemandangannya.

Pada suatu siang hari yang semarak dan mempesonakan, wartawan kami berkunjung ke desa yang disebut sebagai desa yang paling asri di Xishuangbanna. Desa itu namanya Ganlanba, artinya desa zaitun. Jauh pada tahun 1960-an, desa itu sudah ternama di dalam dan di luar negeri dengan pemandangan tamannya yang indah permai.

Memasuki desa itu wartawan melihat tumbuh-tumbuhan tropis yang rindang dan berbau wangi tumbuh subur di kedua sisi jalan kecil dan rumah bertingkat khas etnis Dai yang terbuat dari bambu tersebar di antaranya. Menurut penjelasan, desa itu bersejarah 2.000 tahun lebih dan dikembangkan sebagai desa obyek wisata 9 tahun yang lalu. Akan tetapi wajah keasliannya tetap dijaga, supaya para wisatawan masih sempat melihat pemandangan kampung halaman etnis Dai yang sejati.

Wartawan kami mengunjungi sebuah restoran yang bercita rasa etnis Dai di suatu rumah bambu bertingkat dan diterima antusias oleh pemilik restoran wanita itu. Ketika ditanya tentang keadaan desa itu, pemilik restoran itu menjelaskan:" Di desa kami ini terdapat 49 keluarga dengan penduduknya 300 orang. Restoran seperti ini ada 4 buah. Selain itu, keluarga lainnya mengusahakan makanan kecil, daging panggang, buah-buahan dan sementara keluarga menanam padi dan pohon karet. Restoran keluarga saya dibuka tahun lalu dan lumayan pendapatannya. Beberapa tahun yang lalu, orang muda desa kami mencari uang berkeliaran ke tempat lain dengan menari dan menyanyi. Sekarang tak perlu lagi keluar, desa kami menyediakan lowongan kerja untuk mereka. Saya selain membuka restoran juga menangani urusan desa antara lain melayani pemimpin dan wartawan yang datang berkunjung atau mengkoordinasi pekerjaan menyambut tamu."

Berbicara tentang perubahan kehidupan warga desa berkat pengembangan pariwisata, pemilik restoran itu berbicara terus menerus:" Di masa lampau kami tinggal di gubuk-gubuk. Setelah obyek wisata etnis dibangun, perumahan kami diperbaiki. Sekarang rumah kami lengkap dengan kamar mandi dan masih dipasang perlengkapan tenaga matahari, selain itu alat-alat listrik rumah tangga jauh sebelumnya sudah punya. Sekarang warga desa kami tidak lagi menanam padi, hanya mengusahakan pariwisata sudah cukup untuk biaya hidup. Sawah dan ladang serta pohon karet semua disewakan kepada tenaga kerja dari tempat lain. Setiap keluarga di pekarangan sendiri menanam pohon buah-buahan untuk dijual atau dimakan sendiri atau juga dihidangkan kepada tamu-tamu. Cara hidup mengalami perubahan juga. Misalnya pada masa dulu ruang tinggal tidak dibedakan fungsinya, barang-barang ditaruh sembarangan. Sekarang setiap keluarga punya juga lemari, kamarnya bersih dan ditata rapi."

Menurut adat istiadat etnis Dai, anak perempuan biasanya kembali ke rumah setelah tamat sekolah menengah dan kawin pada usia 17 atau 18 tahun. Tetapi pemilik restoran wanita itu dengan bangga memperkenalkan putrinya kepada wartawan:" Putri saya gemar nyanyi dan tari sejak masa kecil. Pada usia 13 tahun ia bersekolah ke Kunming, kemudian diterima oleh rombongan kesenian keresidenan. Di desa kami cuma keluarga saya yang mengantar anak perempuan bekerja di luar kampung dan saya berencana akan membiayainya belajar di universitas di Beijing."

Pemilik restoran wanita yang berpikiran demikian itu pernah mempunyai pengalaman serupa. Pada masa mudanya ia yang berparas cantik dipilih oleh seorang sutradara yang datang dari Beijing untuk dikirim belajar ke Beijing. Tetapi pada waktu itu pikirannya sangat konservatif, apa yang dipikirkannya hanyalah hidup dengan tenang dan kemudian kawin dan melahirkan anak. Sekarang ia masih menyesal sekali atas pilihannya sendiri. Oleh karena itu ia menyokong pilihan putrinya untuk menempuh jalan menurut pikirannya sendiri dan tidak diikat lagi oleh pandangan lama.

Waktu meliput di desa etnis Dai itu tepat pada waktu Hari Raya Tahun Baru almanak etnis Dai. Berkenaan dengan datangnya tahun baru, pemilik restoran wanita itu mengutarakan harapannya. Ia mengatakan:

" Saya doakan mudah-mudahan para tamu yang datang ke desa kami sangat gembira dan puas atas perjalanannya. Kelak hari apabila saya mempunyai uang cukup banyak, saya akan membangun restoran yang sangat besar, tapi tetap bergaya etnis Dai kami dan bukan gedung yang tinggi-tinggi. Impian saya ini akhirnya pasti akan menjadi kenyataan asalkan saya rajin bekerja."

Pada akhir wawancara kami, pemilik restoran wanita itu dengan senang hati menyanyi lagu tahun baru etnis Dai untuk mendoakan rakyat etnis Dai hidup bahagia.

.