Air minum bersih telah menjadi fokus perhatian utama di lingkungan masyarakat dewasa ini, begitu bunyi dari hasil survei yang dikeluarkan kemarin oleh Federasi Lingkungan Seluruh Tiongkok (ACEF) dan diawasi oleh Administrasi Badan Perlindungan Lingkungan (SEPA) yang dilakukan sejak bulan April dan Mei yang lalu.
Survei tersebut melibatkan sekitar empat juta lebih warga dari 31 propinsi, daerah otonomi, kotapraja atau wilayah administrasi khusus, untuk mendengarkan pendapat mereka terhadap seputar masalah lingkungan di Tiongkok melalui internet, telpon selular, dan angket-angket.
" Ini merupakan survei terbesar mengenai masalah lingkungan di Tiongkok yang belum pernah terjadi ", kata Wang Dongging, wakil sekretaris ACEF. " Hasilnya akan dikirimkan ke beberapa departemen terkait sebagai sebuah surat keterangan penting untuk membangun Program Rencana Lima Tahun ke-11 (2006-2010) terhadap lingkungan negara."
Menurut survei, setelah pencemaran air minum, publik juga harus lebih memperhatikan keadaan kualitas udara, sampah, limbah pembuangan industri, perusakan sistem vegetasi dan desertifikasi, kelangkaan sumber air, polusi suara dan mobil.
Dari hasil survei, sekitar 96 persen warga mengatakan, bahwa Tiongkok akan menghadapi ancaman krisis air, dan cara yang terbaik ialah dengan melakukan penghematan penggunaan air di lingkungan masyarakat. Masyarakat juga meminta, agar Sungai Kuning menjadi fokus usaha pencegahan pencemaran air.
Sedangkan sampah domestik, sekitar 77 persen dari penduduk mendukung gagasan untuk tidak akan menyediakan lagi kantongan plastik di berbagai supermarket, meskipun sekitar 22 persen mengatakan, kerepotan membawa tas pada saat mereka berbelanja. Sementara itu, sekitar 73 persen penduduk mengatakan, bahwa warga harus mengumpulkan barang-barang yang dapat didaur ulang.
Sementara itu, sekitar 97 persen penduduk mengatakan, bahwa pemerintah harus mendengarkan pendapat publik dalam mengambil keputusan atas perencanaan lingkungan.
Baik masyarakat dan para ahli sama-sama berpendapat, bahwa pemerintah harus menambah anggaran bagi perlindungan lingkungan dalam program Repelita ke-11 nantinya, paling sedikit 1,5 persen dari GDP tahunan. Bahkan beberapa pakar mengusulkan untuk menambah anggaran tersebut hingga dua persen dengan memberikan lebih banyak dukungan terhadap daerah rural di dalam berbagai kebijakan dari pemerintah.
Pada tahun 2004, tercatat anggaran negara untuk perlindungan lingkungan sekitar 1,3 persen dari GDP.
|