Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-08-31 14:30:56    
Cerita Tentang Marga Orang Tibet

cri

Saudara pendengar, selamat berjumpa kembali dalam Ruangan Serba-Serbi yang diselenggarakan setiap hari Rabu, saya pengasuh acara ini Lily.

Saudara pendengar, selama 40 tahun sejak berdirinya Daerah Otonom Tibet, budaya marga orang Tibet telah mengalami perubahan. Kini marga yang dulu senantiasa dimonopoli oleh para bangsawan untuk menunjukkan kedudukannya sudah berangsur-angsur mundur dari sejarah, marga tidak lagi menjadi "paten" bangsawan Tibet.

Sampai pada tahun 1950-an abad ke-20, Tibet masih berada dalam suatu masyarakat sistem tani hamba feodal yang menyatukan politik dan agama, sehingga dari nama orang Tibet dapat diketahui status sosialnya. Ketika itu, hanya pejabat tinggi dan tokoh penting serta biksu tinggi dan Buddha Hidup yang merupakan 5% jumlah total penduduk Tibet yang berhak mempunyai marga, sedangkan 95% orang Tibet hanya diperbolehkan mempunyai nama tanpa marga.

Kepala Lembaga penelitian etnis Akademi Ilmu Sosial Tibet Basangwangtui mengatakan, sebelum pembebasan damai di Tibet, dalam marga orang Tibet terkandung hak istimewa tertentu , misalnya Apei, dan Laru tidak hanya merupakan marga, juga adalah nama tanah perkebunan milik bangsawan. Sedangkan marga Pabala dan Cemolin adalah gelar yang dianugrahkan untuk Buddha Hidup. Pendek kata, "marga orang Tibet adalah tanda yang mencatat sejarah."

Seiring dengan pembebasan damai Tibet dan lenyapnya tuan hamba federal, orang Tibet sudah mewujudkan persamaan derajat status politik dan sosial. Marga bangsawan yang mewakili hak istimewa juga mulai memudar dari pandangan orang Tibet. Cirendawa yang telah bertugas lama di bagian pendaftaran keluarga Biro Keamanan Umum kota Laksha mengatakan: " Dalam buku pendaftaran keluarga sekarang hampir tidak ditemukan lagi orang Tibet yang menggunakan nama tanah perkebunan."

Jiansenbanjue adalah pegawai pemerintah kota Laksha yang telah pensiun, ayahnya seorang bangsawan. Jiansenbanjue mengatakan: "Setelah dilaksanakan reformasi demokratis pada tahun 1959 di Tibet , para bangsawan telah kehilangan tanah perkebunan. Dan mereka mulai memberi nama anak-anaknya sama dengan nama anak-anak rakyat biasa, tidak lagi menambah nama tanah perkebunannya sebagai marga." Ia mengatakan, kini di Tibet hanya orang-orang angkatan tua yang masih menggunakan nama tanah perkebunannya dulu sebagai marga. Jiansenbanjue walaupun seorang keturunan bangsawan tapi sudah tidak lagi menggunakan marganya.

Seorang pemuda Tibet bernama Zhaxi, yang dalam bahasa Tibetnya berarti mujur mengatakan, yang sangat dipusingkan oleh banyaknya orang yang senama dengannya. Di Tibet terdapat puluhan ribu orang yang bernama Zhaxi. Ketika duduk di bangku SD, di kelasnya terdapat tiga orang bernama Zhaxi, maka untuk membedakannya guru mereka terpaksa menambah di depan namanya masing-masing dengan senior, middle dan junior sesuai dengan usianya." Menurut keterangan pejabat Biro pendidikan Daerah Otonom Tibet, dalam ujian untuk masuk SMA dan ujian masuk perguruan tinggi, mereka akan mengalami banyak kesulitan akibat nama yang sama, mereka paling khawatir terjadi kesalahan dalam pengiriman surat penerimaan untuk para siswa yang senama.

Cirenpingcuo yang baru lulus dari suatu Universitas di Beijing mengatakan kepada wartawan, ia selain sering dibingungkan oleh nama yang sama, sering pula disusahkan oleh soal tidak bermarga. Ketika teman-teman sekolahnya dari etnis Han menanyakan tentang marganya, ia harus berkali-kali menjelaskan bahwa dirinya tidak punya marga, hanya mempunyai nama, yakni Cirenpingcuo.

Kepala Lembaga penelitian etnis Akademi Ilmu Sosial Tibet Basangwangtui mengatakan, "Sebenarnya, jauh pada 1.000 tahun yang lalu, mayoritas besar orang Tibet bermarga." Menurut keterangan, ketika itu di kalangan etnis Tibet terdapat empat atau enam suku besar menurut catatan sejarah yang berlainan , dan setiap suku besar terbagi lagi menjadi 18 suku kecil, dan kesemuanya itu kemudian berangsur-angsur menjadi awal mula berbagai marga orang Tibet. Kemudian orang Tibet mulai menganut agama Buddha, mereka pada umumnya mengundang biksu tinggi atau Buddha Hidup memberi nama untuk putra-putrinya, atau mengambil nama dari ajaran-ajaran kitab agama , dengan maksud agar kelak dapat hidup bahagia. Karena nama-nama tersebut tidak dibedakan dengan marga, maka tak terhindarkan akan terjadi nama yang sama.

Seiring dengan terbukanya masyarakat Tibet, pergaulan rakyat semakin banyak. Orang Tibet sendiri semakin dibingungkan oleh masalah yang timbul akibat nama yang sama karena tidak bermarga. Nama tanah perkebunan yang dijadikan marga sebagai identitas bangsawan telah lenyap dari deretan marga orang Tibet, dengan demikian orang Tibet sekarang berhak untuk memiliki marganya sendiri.

Kini semakin santer permintaan rakyat Tibet yang tidak bermarga untuk memanifestasikan nilai diri dan menghindari sering terjadinya nama yang sama. Banyak orang Tibet sedang "mencari" suatu marga atau nama keluarga untuk menandakan kepribadiannya yang berbeda dengan orang lain.

Sarjana ilmu sosial Tibet Gesang adalah salah seorang contoh. Ia mengatakan, untuk menunjukkan kepribadiannya yang lain dengan orang lain yang bernama Gesang, dalam artikelnya nama Gesang sering ditulis menjadi Duilong·Gesang, Duilong adalah nama tempat lahirnya.

Menurut perkenalan, banyak orang Tibet juga mengambil nama singkat untuk anaknya atau menggunakan nama baru, misalnya nama Tudengnima dipersingkat menjadi Tuni, Yangjinlamu dipersingkat menjadi Yangla, Gesangpingcuo dipersingkat menjadi Geping. Sementara itu, demi kesinambungan keluarga, ada juga orang Tibet yang mengambil persingkatan nama ayahnya sebagai nama anaknya. Zhaxiciren seorang ayah muda etnis Tibet memberi nama putrinya Zhaxilamu, sedangkan Zhuoma memberi nama putranya Zhuozha. Mereka berpendapat dengan cara ini anak dan cucunya dapat mengingat keluarga masing-masing.

Marga orang Tibet yang semula menandakan status politik kini telah berangsur-angsur berubah menjadi tanda kepripadian. Marga bangsawan berangsur-angsur lenyap, dan marga baru lahir bermunculan. Cerita tentang marga orang Tibet sebenarnya telah mencerminkan perubahan sosial Tibet.

Saudara pendengar, demikian tadi telah kami sampaikan cerita tentang marga orang Tibet. Terima kasih atas perhatian anda, sampai jumpa lagi pada kesempatan lain. Inilah peniar anda Lily.