Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-10-17 15:25:22    
Musafir dan Ramadhan

cri

Beijing saat ini sedang memasuki musim pra gugur, meskipun daun-daun dan bunga-bunga di pepohonan masih tampak utuh dan berkembang dengan cerianya, akan tetapi perubahan udara sudah berlangsung sejak beberapa minggu lalu. Kadang sejuk, dingin, dan hangat.

Ramadhan kembali menyapa seluruh umat muslim dan muslimat di dunia. Alhamdulillah jika Ramadhan ini anda berkumpul dengan keluarga dan orang-orang tercinta. Bayangkan jika saat ini anda di perantauan, terlunta-lunta tanpa saudara, tanpa adzan subuh yang melerai sedapnya santap sahur dan tanpa bedug maghrib yang menggembirakan shaum.

Suasana Ramadhan di negeri Tiongkok tentu berbeda dengan di Indonesia. Tidak adanya suasana yang bernafaskan Ramadhan, tidak ada penjual makanan dadakan untuk berbuka dan musim dingin yang beberapa tahun ini bersamaan dengan bulan Ramadhan, walaupun begitu semangat untuk tetap menjalankan puasa tak pernah surut.

Seperti itulah yang dirasakan Nur Jasmine, seorang warga Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Universitas Budaya dan Bahasa Beijing, jurusan Bahasa Mandarin, yang saat ini sedang menjalankan puasa pertamanya di Tiongkok, sejak tiba di Beijing kira-kira enam bulan yang lalu. "Serius itu yang paling dikangenin, acar-acara di TV selama bulan Ramadhan, takbir yang mengumandangkan sahur?sahur?.sahur?., sulit mendapatkan makanan khas untuk berbuka seperti Pacar China, Kolang-kaling, korma, dan lain sebagainya, plus tidak dapat sahur dan berbuka bersama dengan keluarga di Indonesia," kata Nur dengan sungguh-sungguh.

Seperti diketahui Tiongkok memiliki empat musim. Bagi Nur dan juga umat muslim lainnya di Beijing, musim dingin yang bersamaan dengan Ramadhan, menjadikan puasa sedikit enteng, karena keadaan suhu udara yang sejuk, hingga rasa haus tidak terasa, dan waktu puasa yang pendek. Beda halnya jika musim panas bertepatan dengan Ramadhan, maka waktu berbuka puasa akan jauh lebih lama. Belum lagi suasana hawa musim panas yang terik.

Selain faktor cuaca yang dihadapi oleh Nur dan kaum musafir lainnya di Beijing, juga kebiasaan menjalankan ritual beragama, misalnya sholat yang sedikit kurang dapat dijalankan dengan lancar, mengingat ada beberapa keadaan di mana, pada waktu sholat datang, Nur sedang berada di ruang kelas, tidak tersedianya tempat sholat khusus di kampus, mushollah atau mesjid yang jaraknya jauh dari tempat tinggal Nur. "Jam sholat di Beijing tidak jelas, beda dengan di Indonesia, di mana jam sholatnya sudah terjadwal rapi. Di sini saya harus menelfon ke mesjid, untuk menanyakan jadwal sholat untuk setiap hari. Selain itu juga jarak mesjid yang jauh dari tempat tinggal ditambah tidak ada teman yang bisa diajak untuk sholat bareng di mesjid," demikian kata Nur.

Inur juga mengatakan bahwa tidak gampang untuk menghindari segala godaan di negeri asing, karena adanya keinginan untuk bolos berpuas, seperti yang diungkapkan oleh Nur, "Ramadhan untuk di Beijing dimulai lebih cepat satu hari, daripada di Indonesia. Awalnya saya ada kepikiran untuk tidak berpuasa pada tanggal 04 Oktober sebagaimana jadwal puasa yang saya terima di sini, karena di Indonesia Ramadhan dimulai pada tanggal 05 Oktober. Lalu saya pikir-pikir lagi, sejak saya tinggal di sini sendiri, tanpa ada yang mengawasi, segala sesuatunya terserah pada tanggung jawab diri sendiri dan bagaimana niatnya, seperti mengikuti pesan dari Ibu saya, semua itu tergantung pada diri saya, kapan mau menjalankan Ramadhan, apakah sesuai dengan di Beijing atau Indonesia, tapi sejak saya tinggal di Beijing, sebaiknya saya mengikuti waktu Beijing. Demikian pula kata pepatah, di mana langit di junjung di situ pula bumi di pijak."

Satu hal yang bisa dijadikan untuk pelepas rindu bagi Nur dan juga para warga Indonesia lainnya ialah, dengan adanya acara buka bersama yang dilakukan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Beijing yang dianggap sebagai rumah kedua bagi warga Indonesia di sini. Pada tiap-tiap bulan Ramadhan, KBRI Beijing senantiasa membuat acara berbuka puasa bersama yang menyajikan hidangan khas Indonesia. Bagi Nur dan para warga Indonesia lainnya, saat demikian merupakan suatu ajang untuk saling bersilaturrahmi antara warga Indonesia baik yang beragama Islam maupun bukan. Suasana kekeluargaan dan kekompakan antara warga Indonesia di sana terjalin dengan indah. Bagi Nur yang jauh dari keluarga di Indonesia, ini merupakan suatu kebahagian sendiri yang sebelumnya tidak pernah diduga akan ditemukannya di sini. "Banyak hal yang didapat oleh Nur selama merantau di Beijing dan dijadikannya sebagai pengalaman indah dan berharga yang tak mungkin dilupakannya. Beijing telah banyak memberikannya banyak hikmah, Nur mendapat banyak teman, keluarga, dan pengalaman baru, kata Nur dengan senyum cerianya."

Beijing, 14 Oktober 2005

-------------------------------

Beby Mahyuni