Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-10-25 15:56:30    
Kembalinya Perantau Tionghoa

cri

Beijing, 25 Okt (Shenzhen Daily) ? Di masa kejayaan pasar ekonomi Tiongkok, para intelektual paling berbakat Tiongkok kembali ke Tiongkok untuk bekerja dan meraup keuntungan di berbagai bidang pembangunan, setelah menempa ketrampilan mereka di Sillicon Valley.

Intelektual Tiongkok yang dulunya pergi dari Tiongkok dan menetap di negara lain, yang dalam istilah Inggris disebut brain drain, telah berubah menjadi brain circulation, atau para intelektual yang mengumpulkan bakat di luar negeri tetapi tidak menetap di sana, melainkan juga mengembangkan dan menyumbangkan kemampuannya di negeri asal.

Kira-kira dua lusin makalah dari sudut pandang ilmu politik, geografi, psikologi, sosiologi, dan antropologi dipresentasikan oleh para akademisi dari Australia, Kanada, Amerika Serikat, Malaysia, dan Tiongkok pada sebuah konfrensi yang diadakan oleh Pusat Studi Hubungan Transnasional Tiongkok di Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hong Kong.

Menurut David Zweig, direktur pusat studi tersebut, orang-orang Tiongkok sekarang belajar di luar negeri dengan perhitungan strategi yang berorientasi pada pengumpulan tabungan dan pengembangan ketrampilan yang menjadi tiket sukses setelah kembali Tiongkok. Ini merupakan tren baru, karena perspektif yang dulu berkembang memandang kembalinya seorang perantau ke tanah airnya sebagai tanda kegagalan. Kini gelombang kembalinya para intelektual migran merupakan bagian dari globalisasi abad ke-21.

Faktanya, menurut psikolog Amerika Serikat Nan M. Sussman, orang Tionghoa di Hongkong, Taiwan, dan Daratan tidak hanya pergi ke luar negeri dan membawa ketrampilan mereka kembali ke tanah asal, tetapi mereka kembali dengan tujuan mendidik anak-anak mereka untuk meraih kesuksesan global.

Pasangan juga kembali ke Daratan setelah suami mereka mendapat gelar S3, tetapi anak-anak tinggal di sekolah-sekolah di Amerika untuk menyempurnakan bahasa Inggris mereka. Menurut Sussman, seorang dosen di Universitas Kota New York, "Orang tua Tionghoa berusaha mendidik anak dalam dua budaya dan dua bahasa."

Mereka secara taktis merencanakan masa depan anak-anak mereka dalam level global. Mereka memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang ke mana dunia ini bergerak daripada orang-orang Amerika.

Landasan bagi usaha membawa pulang teknologi kelas dunia terletak pada kebijakan Deng Xiaoping yang membuka Tiongkok pada dunia luar. Deng Xiaoping juga mengirim ilmuwan Tiongkok ke luar negeri untuk belajar ilmu manajemen, ilmu pengetahuan dan teknologi Barat.

Makalah Zweig sangat tepat. Slogan Jian Zemin 'ke jiao xing guo,' menguatkan negara melalui ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta penerimaannya akan globalisasi menetapkan focus pada teknologi impor. Dewasa ini orang-orang yang kembali ke Tiongkok berpendapat bahwa Deng memberi mereka kebebasan untuk pergi ke luar negeri, sementara Jiang menciptakan insentif dan lingkungan yang memadai untuk kepulangan mereka secara penuh ke Tiongkok.

Zweig, seorang ahli ilmu politik dan dosen di Fakultas Ilmu Sosial di Universitas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Hong Kong, mengutip Wang Tao sebagai salah satu contoh orang yang mengamati syarat-syarat teknologi medis dan mengambil tindakan dari pengamatannya. Seperti yang dilaporkan pada "Laporan Khusus tentang Shenzhen," yang dimuat pada edisi Mei-Juni 2001 jurnal "Pendidikan dan Masyarakat Tiongkok," Wang Tao menyadari bahwa Tiongkok mengeluarkan 100 juta dolar Amerika per tahun untuk membeli selang infus untuk penderita kelainan paru-paru. Ia melihat kesempatan emas untuk komoditas teknologi pengganti impor ini. Karena itu ia melalui pendidikan S3 nya di bidang tersebut dan bekerja sebagai peneliti di Laboratorium Selang Laser di Wayne State University di Detroit, Michigan. Di sana ia menguasai teknologi paling mutakhir untuk riset dan pembuatan selang infus.

Seperti yang diringkas oleh Zweig, ia kembali ke Tiongkok di akhir tahun 1995 dan dalam beberapa bulan mendatang ia membuka perusahaan pembuatan selang infus. Ia membidik suatu sektor yang masih kekurangan, pergi ke luar negeri untuk menguasai bidang tersebut, kemudian kembali ke Tiongkok untuk membuat sendiri produk tersebut.

Strategi yang direncanakan ini adalah hasil Pemerintah Pusat untuk tidak hanya mendorong ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga hubungan para intelektual yang kembali dengan teknologi. "Rencana Obor" Pemerintah Pusat telah membangun Zona-zona Pembangunan Teknologi Tinggi di kota-kota sekitar Tiongkok di akhir tahun 1980-an. Menurut Zweig, pada tahun 1991, sudah ada 27 Zona Pembangunan Teknologi Tinggi dan pada tahun 1997, sudah ada 52. Zona-zona ini adalah incubator khusus untuk mereka yang kembali ke Tiongkok yang memiliki ketrampilan tentang teknologi baru. Pada zona ini, mereka terlindungi dari larangan-larangan resmi pemerintah.

Mereka yang memiliki ketrampilan teknis yang paling mutakhir dan mereka yang memiliki ketrampilan yang tidak terlalu mutakhir tapi masih jarang di Tiongkok membawa kembali teknologi ke kampung halaman.

Meskipun Tiongkok tidak selalu menyambut hangat para migrant intelektual ini, Tiongkok menarik minat mayoritas pelajar-pelajarnya di luar negeri, terutama para akademisi yang paling cemerlang. Menurut peserta konfrensi Cao Cong, dari 810 ribu orang Tiongkok yang belajar ke luar negeri dan melakukan riset dari tahun 1978 sampai 2004, hanya 200 ribu yang telah kembali. Pemerintah berusaha keras untuk menarik para akademisi untuk pulang. Sayangnya, terjadi perbandingan yang sangat kontras antara para akademisi dan para usahawan dan profesional yang semakin banyak kembali untuk meraup keuntungan dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Banyak akademisi terbaik Tiongkok masih ragu-ragu untuk pulang.