Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-11-02 14:57:26    
Wanita-wanita berkaki bunga lotus

cri

Para pendengar setia CRI, mungkin sebagian dari Anda pernah mendengar tentang tradisi Tiongkok kuno untuk mengikat kaki anak-anak perempuan supaya tetap kecil seperti bunga lotus emas. Tradisi ini sekarang sudah tidak lagi dilakukan kepada anak-anak perempuan Tiongkok, karena selain menimbulkan rasa sakit juga membuat para wanita tidak bisa bergerak dengan leluasa.

Tidak ada sumber tertulis yang mencatat sejak kapan tradisi ini dilakukan. Menurut legenda, pada masa dinasti Tang di abad ke-10, Kaisar Li Yu, meminta selir kesayangannya untuk mengikat kakinya dengan tali sutra dan menari di atas panggung berbentuk teratai yang dihiasi permata dan mutiara. Para hadirin yang menyaksikan tarian tersebut terpukau dengan keanggunan kaki mungil yang diikat kain sutra tersebut. Mereka menganggap kaki mungil sebagai lambang keanggunan yang menunjukkan derajat tinggi wanita.

Karena itu tradisi mengikat kaki ini kemudian dimulai di kalangan wanita-wanita istana dan kalangan atas Tiongkok. Tradisi ini tidak selalu diikuti oleh setiap keluarga. Contohnya kalangan etnis Haka, Mongol, dan Tibet tidak melakukan pengikatan kaki. Keluarga petani, buruh, dan masyarakat kelas bawah lainnya juga tidak mengikat kaki anak-anak perempuannya. Bukannya mereka tidak mau ikut tradisi, tetapi karena terlalu miskin, mereka tidak sanggup menggaji pembantu untuk mendampingi wanita-wanita berkaki mungil yang tidak kuat berjalan jauh atau melakukan pekerjaan berat. Wanita-wanita dari keluarga miskin harus ikut bekerja supaya seluruh keluarga dapat tercukupi kebutuhannya. Tidak mungkin bagi mereka untuk bekerja berat dengan kaki mungil yang tidak kokoh untuk menyangga tubuh mereka. Tetapi banyak sekali yang ingin anak-anak perempuannya nampak anggun seperti bangsawan, sehingga tradisi ini cepat menyebar di segala kalangan hingga dipraktekkan oleh sebagian besar penduduk Tiongkok selama kurang lebih seribu tahun lamanya.

Sejak berusia tiga sampai lima tahun, anak-anak kecil mulai diikat kakinya dengan kain seperti perban yang bermeter-meter panjangnya. Tidak ada bentuk ikatan baku yang diikuti secara seragam dalam mengikat kaki. Ada yang jari-jari kakinya saja yang ditekan ke belakang dan telapak kakinya diikat supaya tidak membesar. Ikatan yang paling ekstrim membuat telapak kaki melengkung dan terlipat. Secara berkala, ikatan perban dibuat semakin kuat dan telapak kaki dimasukkan ke dalam sepatu yang berukuran jauh lebih kecil dari ukuran kaki, hingga hasil akhir kaki mungil berbentuk kuncup teratai tercapai. Tidak hanya sakit, tulang kaki bisa patah, kadang satu jari kaki putus, dan daging membusuk. Bahkan beberapa anak perempuan meninggal karena praktek ini.

Budaya tidak akan bertahan kalau tidak didukung oleh sebuah sistem yang memberinya legitimasi dan dukungan. Budaya mengikat kaki ini juga mendapat dukungan dari ajaran Neo-Konfusius yang dominan di Tiongkok pada saat itu. Wanita ideal menurut ajaran Neo-Konfusius adalah seorang wanita yang suci, setia, serta tidak mudah mengeluh dalam menanggung penderitaan. Kegigihan dalam menanggung sakit akibat ikatan di kaki dianggap sebagai karakter yang patut ditumbuhkan dalam diri setiap anak perempuan. Karena kakinya yang diikat, anak-anak perempuan juga tidak bisa terlalu banyak berjalan, apalagi berlari-lari, sehingga ia akan lebih sering tinggal di rumah. Hal ini menjadikannya seorang wanita yang dipandang anggun dan murni oleh masyarakat. Kesempatan untuk berselingkuh atau berbuat hal-hal yang tidak diinginkan juga kecil bagi wanita-wanita berkaki bunga lotus yang harus selalu ditemani pengasuh. Karena itu, masyarakat Tiongkok yang didominasi pria melegitimasi pengecilan kaki dengan dalih kemurnian dan keanggunan. Selain itu, ketaatan pada keluarga juga sangat dijunjung tinggi dalam ajaran Konfusius. Anak-anak perempuan yang menolak perintah pengikatan kaki sama dengan anak-anak yang tidak taat dan tidak menghargai keluarga yang telah membesarkan mereka.

Ketika anak-anak perempuan ini beranjak remaja, gadis berkaki bunga lotus lebih terpandang dan terhormat, karena pengikatan kaki menunjukkan status sosial yang tinggi dan pribadi yang luhur, karena nilai kemurnian dan ketaatan tadi. Bahkan menurut sumber-sumber dokumen Tiongkok kuno, kaki bunga lotus juga dianggap memiliki daya tarik seksual khusus bagi para pria. Karena inilah, tradisi pengikatan kaki ini secara turun-temurun sampai akhirnya dilarang secara paksa oleh pemerintah Republik Tiongkok.

Kampanye anti-kaki bunga lotus diawali oleh para intelektual muda Tiongkok yang setelah mendapat pengaruh budaya Barat menyadari bahwa praktek ini tidak berperikemanusiaan. Mereka lalu melarang praktek ini. Program anti-kaki bunga lotus ini juga memaksa para wanita yang kakinya sudah telanjur diikat untuk membuka ikatan kakinya. Proses pembukaan ikatan ini juga menyebabkan sakit yang hanya sedikit lebih ringan daripada pengikatan kaki.

Di Tiongkok, wanita berkaki bunga lotus sudah sangat jarang dijumpai. Mereka adalah wanita-wanita yang lolos dari program buka paksa golongan anti-pengikatan dan rata-rata sudah berumur tujuh puluh tahun lebih. Menurut Kantor Berita Xinhua, pabrik sepatu bunga lotus terakhir di Harbin sudah mengakhiri produksi sepatu mungil untuk kaki bunga lotus pada tahun 1998.

Yang belum punah juga dari peradaban manusia adalah upaya wanita untuk melakukan banyak hal terhadap tubuhnya demi mencapai suatu standar kecantikan yang dirumuskan oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini tidak hanya terjadi pada wanita Timur atau Tiongkok saja. Di Barat, operasi kecantikan terhadap payudara, operasi bentuk wajah, berjemur di bawah terik matahari, maupun hal-hal lain dilakukan oleh wanita, meskipun kegiatan-kegiatan tersebut tidak menguntungkan bagi kesehatan alami tubuh mereka. Dari sudut pandang ini, wanita di seluruh dunia ternyata memiliki akar cara pandang yang ternyata susah untuk ditinggalkan.