Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-11-03 15:24:24    
Senja di Musim Gugur di Taman Xiangshan

cri

Musim gugur membawa nuansa tersendiri bagi masyarakat Tiongkok. Udara mulai terasa sejuk, tetapi belum terlalu dingin untuk berjalan-jalan santai di alam bebas. Daun-daun yang mulai berubah warnanya menawarkan keindahan yang tidak bisa dinikmati di musim-musim lain. Pada musim gugur, masyarakat Beijing berusaha melewatkan hari libur di daerah pegunungan di luar kota.

Pegunungan Xiangshan, yang artinya Gunung Wangi terletak sekitar 30 km sebelah barat laut kota Beijing. Di lereng pegunungan ini, delapan ratus tahun yang lalu, dibangun sebuah taman indah dengan kuil-kuil, telaga buatan, dan hutan tempat hidup 260 ribu pohon, yang 5800 di antaranya adalah pohon-pohon tua.

Untuk menuju ke sana, banyak tersedia kendaraan umum yang relatif murah. Dari stasiun kereta bawah tanah Pingguoyuan, bis resmi bertarif 2 yuan, atau sekitar 2800 rupiah. Kadang pengunjung lebih senang memilih mini bis yang lebih nyaman dengan tarif enam sampai sepuluh yuan, antara 7200 sampai 12 ribu yuan. Bis dari pusat kota juga tersedia. Dari Beijing, perjalanan ke Taman Xiangshan bisa ditempuh dalam waktu 30 sampai satu jam, tergantung dari lajunya arus lalu lintas.

Setelah sampai ke lapangan parkir angkutan umum, pengunjung harus berjalan kaki selama kurang lebih 15 ? 30 menit untuk sampai ke pintu utara taman. Tapi jangan khawatir, perjalanan Anda menuju ke pintu gerbang tidak akan membosankan. Bahkan mungkin Anda akan berlama-lama dalam perjalanan, karena sepanjang jalan dijajakan berbagai makanan dan hasil kerajinan tangan yang menawan. Tentu saja, semua barang di Tiongkok harus ditawar, tetapi makanan-makanan yang disajikan sangat menggoda selera.

Saya memilih untuk mencoba tahu goreng yang warnanya hitam dan diolesi saus tauco dengan taburan bubuk cabe dan bubuk kuri. Harganya cuma satu yuan, sekitar 1200 rupiah tapi rasanya mmmm lezat sekali. Kata penduduk lokal, tahu ini berwarna hitam karena telah mengalami fermentasi. Karena bentuknya seperti tahu busuk, maka tahu ini dinamai chou do fu.

Dengan perut terisi, perjalanan menuju puncak bukit terasa lebih ringan. Yang lebih meringankan lagi tentunya adalah kereta gantung yang bisa membawa pengunjung langsung ke atas bukit tanpa harus berjalan sekitar 3 sampai 5 jam lamanya. Harga naik kereta gantung 30 yuan atau 36 ribu rupiah, tapi pada hari-hari libur harganya naik menjadi 40 yuan atau 48 ribu rupiah. Tentu saja, tidak hanya saya yang ingin menyaksikan pemandangan bukit Xiangshan dari atas kereta gantung. Karena itu, banyak yang rela antri selama satu jam lebih untuk mendapat tempat duduk di kereta gantung.

Tetapi harga naik kereta dan lama mengantre segera terbayar dengan pemandangan bukit Xiangshan yang indah. Kereta gantung membawa saya melayang di atas kuil-kuil dan pohon-pohon yang mulai berubah warnanya. Selain itu, saya tidak perlu berdesak-desakan dalam perjalanan menuju paviliun puncak di Xiangshan, yang tidak hanya jauh, tapi juga menanjak.

Setelah sampai di atas, pemandangan pegunungan yang indah terbentang di hadapan mata. Bila kabut tidak terlalu tebal dan hari cerah, sungai Yongding, jembatan Marco Polo, Gunung Shijing, dan Istana Musim Panas bisa nampak dari puncak tebing.

Banyak yang bisa dinikmati di Taman Xiangshan. Di antaranya adalah Kuil Bercahaya yang dibangun tahun 1780 untuk Panchen Lama ke-6. Di belakang kuil ini, berdiri pagoda segi delapan dengan lonceng perunggu yang berdering samar ketika angin bertiup. Kemudian, ada pula Danau Kaca Mata, karena danau ini dipisahkan oleh sebuah jembatan kecil sehingga danau ini berbentuk mirip kacamata. Di bagian Utara, ada Villa Bunga Giok, Puncak Dupa, dan Villa Shuangqing yang biasa jadi tempat peristirahatan pemimpin-pemimpin pusat Tiongkok, serta Pagoda Tiga Mahkota, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Sun Yat Sen, pendiri Republik Tiongkok.

Taman Xiangshan mulai dibangun oleh Dinasti Jin di abad ke-12. Pada abad ke-18, Kaisar Qianlong dari Dinasti Qin memperluas taman dan menambah 28 tempat wisata di taman. Sayangnya, taman-taman, paviliun, dan pagoda yang dibangun di sana telah dihancurkan oleh pasukan Sekutu yang dipimpin Perancis pada awal abad ke-20. Seperti kebanyakan negara Asia dan Afrika lain, Tiongkok juga berjuang menghadapi imperialisme Barat.

Setelah beristirahat sejenak, saya berjalan menuruni bukit sambil menikmati daun-daun maple yang berwarna merah. Di hari libur, pengunjung sangat padat. Seperti hari ini misalnya. Pengunjung yang datang rata-rata gemar berteriak keras-keras, menguji gema yang ditimbulkan karena tebing-tebing gunung. Tapi untuk yang hobi berfoto, tempat ini sangat cocok. Hampir setiap pengunjung bergiliran berpose di tempat-tempat yang latar belakangnya menawan, atau di pohon-pohon mapel yang daun-daunnya memerah. Salah seorang pengunjung wanita bahkan rela memanjat pohon untuk memperoleh pose paling asyik. Tentu saja ia kesulitan untuk turun. Namanya juga usaha. Iya kan?

Untuk menghindari keramaian, saya memilih jalan-jalan yang tidak terlalu padat. Jalan yang berliku-liku dengan daun-daun kuning menemani turunnya senja.

Jalan berkelok-kelok dengan aroma musim gugur akhirnya harus berakhir. Di gerbang taman, sudah menunggu mobil-mobil dan angkutan umum dalam kemacetan yang baru surut setelah tiga jam. Menyaksikan hal ini, saya memutuskan untuk menjajal makanan unik lain, yaitu sate burung an quan yang dijajakan dengan harga 2 yuan atau 2400 rupiah per tusuk. Setelah makan setusuk sate, barulah saya naik bis yang meskipun penuh sesak masih mau menampung saya di pinggir tangga naik bis.

Perjalanan pulang dalam bis penuh sesak membuat saya sadar betapa pentingnya udara segar bagi umat manusia, terutama yang tinggal di perkotaan seperti Beijing, atau juga Jakarta, New York, dan kota-kota besar dunia lain.