Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-12-07 13:28:02    
Guiyang, Sebuah Kota Hutan

cri

Di Dataran Tinggi Yunnan-Guizhou, Tiongkok barat daya ada sebuah kota yang dinamakan Kota Hutan yakni Guiyang. Kota ini memiliki vegetasi yang rimbun dan pemandangan yang indah, udara sejuk sepanjang tahun. Selain itu, di kota ini terdapat berbagai makanan lezat yang beraneka ragam dan kental berciri etnis minoritas.

Guiyang terletak di daerah pegunungan yang memisahkan Sungai Yangtze, sungai terpanjang di Tiongkok dan Sungai Mutiara, sungai terpanjang nomor dua di Tiongkok. Geografi di sini banyak perbukitan, tanah cekung dan lembah, dan itu pula sebabnya daerah ini tertutup hutan dan vegetasi yang rimbun.

Taman Hutan Guiyang adalah taman hutan kota yang pertama di Tiongkok, terletak di bagian selatan kota Guiyang, kira-kira dua km dari distrik kota. Taman hutan seluas lebih 530 hektar itu memanjang puluhan km menyusuri gunung, merupakan taman hutan kota yang paling luas di Tiongkok dewasa ini.

Memasuki Taman Hutan Guiyang seolah memasuki sebuah kerajaan pepohonan, di sini terdapat seribu macam pohon berharga yang dilindungi negara secara titik berat, tersebar di antara bukit-bukit. Berjalan di taman hutan itu, kita akan menyaksikan hutan yang lebat, sungai yang gemericik, kicau burung dan bunyi serangga. Kalau wisatawan sedang beruntung, boleh jadi akan menemukan jejak binatang-binatang seperti tenggiling, rusa, babi utan dan lain sebagainya.

Padahal, taman hutan yang luas itu dulu adalah perkebunan eksperimen dari akademi ilmu pertanian setempat. Pada tahun 1960, mendiang Perdana Metneri Zhou Enlai ketika mengadakan kunjungan kerja di Guiyang mengusulkan untuk mengubah perkebunan itu menjadi taman hutan.

Selain Taman Hutan Guiyang, di kota ini terdapat sejumlah lagi taman hutan dan daerah kehutanan yang terbuka untuk wisatawan. Seorang wisatawan dari Shanghai Liu Yun mengatakan, "Rencananya saya singgah selama dua minggu di Guiyang, tapi sudah hampir 4 minggu masih tidak ingin meninggalkan tempat ini. Di sini, pemandangan indah, udara bagus."

Seperti halnya Liu Yun, banyak wisatawan yang pertama kali berkunjung di Guiyang segera tertarik oleh kota ini, selain taman hutannya, juga oleh nyamikan atau cemilan yang lezat di kota ini.

Setiap hari mulai gelap, jalan-jalan di Kota Guiyang diliputi suasana ramai penjual makanan enak, dari Lapangan Air Mancur sampai Jalan Dashizi, berderet-deret restoran dan warung yang terang oleh lampu dan penuh oleh tamu. Menikmati makanan enak adalah bagian dari budaya warga Guiyang, banyak restoran dan warung buka sampai larut malam, dan tidak pernah sepi oleh tamu.

Li Tong, wisatawan dari Beijing yang pertama kali berkunjung ke Guiyang gemar mengunjungi pasar malam yang ramai di kota ini, lebih-lebih warung-warungnya yang menawarkan berbagai macam makanan enak, antara lain bihun daging sapi. Setelah mencoba, sungguh sangat enak rasanya, bisa membuat lidah menari.

Kata orang, belumlah lengkap berkunjung ke Guiyang kalau belum pergi ke pasar malamnya dan mecicipi makanan khas yang beraneka ragam. Makanan tradisional Guiyang lebih dari seratus jenis. Salah satu di antaranya bernama "Tahu Asmara", sejenis makanan terkenal yang khas cita rasanya. Tahu dipotong kubik lalu dipanggang dengan diolesi minyak, dihidangkan dengan sambal yang khas terbuat dari dari kecap, cuka, cabai, minyak bijan, rcikan brambang daun, jahe cincang dan lain-lain. Makanan ini dinamakan Tahu Asmara karena ada ceritanya yang menarik.

Pada tahun 1939, yakni pada masa Perang Dunia II, Guiyang menjadi sasaran serangan udara tentara agresor Jepang. Ketika itu ada sepasang suami istri yang berjualan tahu panggang di rumahnya. Setelah serangan udara yang dilancarkan berkali-kali oleh pesawat tentara Jepang, rumah suami istri itu menjadi tempat berlindung bagi mereka yang lalu lalang. Suami istri itu tidak berani menjajakan hidangan tahunya di jalan-jalan karena serangan udara tentara Jepang dan terpaksa menjualnya di rumah saja. Berhubung tahu panggang cepat penyajiannya dan harganya murah, maka sangat digemari masyarakat dalam suasana perang berkecamuk.

Bagi tamu umumnya, mereka segera pulang setelah makan tahu dan menghindari serangan udara, namun bagi kawula muda yang sedang dimabuk asmara meskipun dalam suasana perang, mereka menggunakan kesempatan berlindung dari serangan udara dan menikmati hidangan tahu untuk bercakap-cakap mesra sampai berlama-lama. Mereka seolah lupa ancaman serangan udara dan menjadikan warung itu tempat menjalin asmara, maka lama kelamaan, suami istri itu menamakan hidangan tahunya sebagai Tahu Asmara.

Guiyang adalah sebuah kota di mana bermukim 38 etnis. Di tengah keramaian bunyi musik di sebuah jalan di kota itu, penduduk etnis Miao sedang menyanyi dan menari memeriahkan hari raya tradisionalnya.

Di Lapangan Air Mancur yang terletak di pusat kota, setiap hari raya etnis minoritas, banyak warga kota yang megenakan pakaian tradisional datang dari segala penjuru ke lapangan itu untuk merayakan hari raya dengan menyanyi dan menari sepuas hati.

Di pinggiran kota Guiyang terdapat banyak dusun etnis minoritas yang bangunan rumahnya masih mempertahankan gaya tradisional, begitu pula cara mereka berpakaian. Pejabat biro pariwisata kota Guiyang, Wang Shensheng mengatakan, bagi orang luar, etnis-etnis Buyi, Miao, Dong dan lain-lain terasa agak misterius. Dengan berkunjung ke dusun-dusun mereka, kita akan mengenal budaya mereka dan cara hidupnya. Demikian kata pejabat itu.