Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-12-07 15:50:20    
Percikan Berkat Buddha Hidup di Jiuzhaigou

cri

Pada jaman dahulu kala, begitu bisik angin akhir musim gugur kepada mereka yang berjalan menelusuri sungai-sungai Jiuzhaigou yang menuju ke danau-danaunya yang bergelimang cahaya pagi. Bencana hebat terjadi di Jiuzhaigou. Gunung-gunung runtuh dan semua penghuni Jiuzhaigou meninggalkan kampung halamannya.

Menyaksikan hal tersebut, Dewi Wuonosemo dan Dewa Dage tergerak untuk mengembalikan lembah Jiuzhaigou ke keadaannya semula yang aman tentram. Dengan kekuatan supranatural, mereka mengalirkan kembali sungai dan mengembalikan burung-burung ke sangkar mereka di pohon-pohon Jiuzhaigou yang teduh.

Selama usaha tak kenal lelah dalam membangun kembali Jiuzhaigou, ternyata dewa-dewi ini saling jatuh cinta. Dewa-dewi bisa jatuh cinta? Ya bisa dong. Memangnya cuma mahasiswa KKN saja yang bisa jatuh cinta di desa? Sebagai tanda cinta, sang dewa Dage memberi sebuah cermin kepada kekasihnya yang cantik Wuonosemo, supaya ia bisa melihat kecantikannya yang tiada tara di pantulan cermin itu. Ngomong-ngomong tentang Wuonosemo, sepertinya orang Jawa yang suka plesetan akan segera memlesetkan Wuonosemo menjadi Wono Semok. Eh, jangan ganti-ganti nama orang sembarangan, ya. Minta ijin dulu sama yang punya nama.

Tapi ada dewa lain yang sirik. Karena cemburu dewa ini merebut cermin pemberian Dewa Dage dan menjatuhkannya ke bumi.

Keping-keping cermin yang jatuh itu dipercayai berubah menjadi 114 danau-danau bening dengan warna-warna hijau, biru, seperti zamrud di balik gunung-gunung Jiuzhaigou yang agung. Penduduk asli menyebut danau sebagai hai zi, yang dalam bahasa Mandarin artinya laut. Mungkin karena itulah catatan-catatan sejarah menyebut tempat ini sebagai Laut Batu Giok.

Jiuzhaigou sendiri artinya adalah lembah sembilan desa. 9 desa pemeluk agama Buddha Tibet ini tersebar di lembah yang terletak di perbatasan dataran tinggi Qinhai Tibet dan bagian utara pegunungan Duo'ema. Baru tiga desa yang dapat dikunjungi turis, sedangkan desa-desa lain masih belum terjamah dunia luar.

Legenda tentang dewa-dewi yang melindungi desa-desa Jiuzhaigou berasal dari kepercayaan tradisional asli yang animistis Bonbo. Setelah agama Budha Tibet masuk di abad ke-7, masyarakat masih memadukan kepercayaan Bonbo dengan agama Buddha.

Kepercayaan Bonbo meyakini bahwa roh-roh pelindung tinggal di gunung, hutan, dan air. Karena kepercayaan ini mereka menjaga kelestarian gunung, hutan dan air.

Pemandu wisata yang merupakan warga asli Jiuzhaigou mengatakan, "Boleh dikatakan sejak lama warga Tibet sudah memiliki satu kebiasaan yg baik. Karena warga Tibet dalam Jiuzhaigou beragama Bonbo. Agama Bonbo berpendapat semua hal adalah karunia dewa. Tidak ada seorangpun yang punya alasan atau berhak untuk merusak pemberian dewa. Orang tua biasanya membimbing anak2 supaya tidak mencuci benda-benda kotor di air yang mengalir. Kalau akan mencuci sesuatu, air harus diambil dari aliran air, ditaruh dalam ember, kemudian barang yang kotor dicuci di ember tersebut."

Di area seluas lebih dari 60 ribu hektar ini, terdapat beberapa pagoda Buddha. Yang paling mudah aksesnya karena terletak di depan pemberhentian bus di desa Suzheng bernama Pagoda Sembilan Harta Buddha Lotus. Dari kejauhan akan nampak sembilan pagoda berwarna putih yang terletak di dasar yang dibangun di atas segi empat dan di atasnya terdapat bunga lotus. Di samping pagoda-pagoda ini, berdiri umbul-umbul warna-warni Geda yang berkibar menjulang ke angkasa dengan ayat-ayat kitab suci Buddha berhuruf Tibet.

Umbul-umbul ini berwarna biru, putih, merah, hijau, dan kuning yang masing-masing mewakili lima elemen kehidupan.

Salah satu bukti perpaduan antara kepercayaan Bonbo dan Buddha bisa dilihat dari tradisi membuat Longda. Pengunjung Jiuzhaigou bisa melihat Longda dari kain yang sambung-menyambung dalam suatu tali sepanjang jembatan atau digantung di bukit-bukit dan tempat pemujaan Yaze, dewa orang Bonbo. Longda bisa juga terbuat dari kertas yang dilepaskan ke udara bebas. Dalam kesusahan, pemeluk agama Buddha Tibet di Jiuzhaigou akan merentangkan atau melepaskan Longda untuk memperoleh berkah. Biksu yang melayani peziarah di Pagoda Sembilan Harta Bunga Lotus menjelaskan:

Biksu yang menjaga pagoda ini menjelaskan, "Pagoda ini memiliki beberapa fungsi. Yang pertama menjaga agar rakyat terhindar dari kebakaran, gempa bumi, banjir, dan bencana hutan.

Panji2 yg berwarna-warni ini memiki arti sendiri-sendiri. Panji warna biru menjaga rakyat dari banjir. Yang merah itu api. Yang kuning itu gempa bumi. Yang hijau itu menjaga dari bencana hutan. Kami mengibarkan panji-panji bertulis ayat-ayat kitab suci karena kalau angin bertiup, maka ayat-ayat kitab dalam panji itu akan dibaca oleh angin dan menjadi kenyataan."

Selain Longda dan Geda, yang nampak di berbagai tempat di Jiuzhaigou adalah silinder-siliner baik dari kayu maupun seng yang bergambar tokoh-tokoh Buddhis atau tulisan-tulisan sakral dengan huruf Tibet. Di dasar silinder terdapat kayu yang digunakan para pengunjung untuk memutar silinder. Menurut kepercayaan, memutar silinder-silinder ini akan mendatangkan banyak berkah bagi orang-orang yang memutarnya. Tentu saja tim CRI yang semuanya ingin dapat berkah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berkeliling pagoda untuk memutar silinder-silinder bersama turis-turis lain.

Ternyata banyak juga turis-turis yang datang tidak hanya untuk menikmati keindahan alam Jiuzhaigou tetapi karena tertarik pada agama Buddha Tibet. Darius Palcak, seorang penyair Polandia yang tinggal di Austria yang selain ke Jiuzhaigou juga mengunjungi kuil2 Buddha di Gunung Emei yang tidak jauh dari Jiuzhaigou menyampaikan hal tersebut:

Darius Palcak, seorang penulis puisi asal Polandia yang tinggal di Austria menyatakan ketertarikannya dengan agama Buddha. Ia mengatakan, "Sebagai seorang seniman saya merasa terhubungkan dengan dewa-dewa, dengan agama, dan dengan agama Buddha. Ketika saya bepergian, saya bisa melihat kehidupan di jalan-jalan dan bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain. Saya memperhatikan semua hal-hal itu. Saya juga berjalan-jalan ke Gunung Emei. Butuh waktu lima hari bagi kami untuk berjalan kaki ke sana. Saya tidur di kuil2 yang ada dan berjumpa dengan orang-orang yang sangat baik hati. Kondisi kuil-kuil tersebut sangat luar biasa."

Selain tempat pemujaan, di Jiuzhaigou juga terdapat sebuah biara Buddhis yang didiami oleh seorang Lama atau Buddha Hidup. Menurut kepercayaan Buddha Tibet, di dunia ini, hidup tujuh orang Lama, yang merupakan inkarnasi Sang Buddha Gautama sendiri. Gelar Lama tidak diturunkan atau tidak dicapai seperti gelar Raja atau Presiden. Sebelum Lama meninggal, ia akan memberi petunjuk-petunjuk kepada biksu-biksu terdekatnya tentang badan baru yang akan ia diami. Setelah Lama meninggal, pencarian akan Lama yang baru dimulai dengan menelusuri petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh sang Lama. Pencarian bisa sebentar, bisa juga bertahun-tahun. Ketika Lama baru ditemukan dalam wujud seorang anak kecil, Lama ini akan diambil dari keluarganya untuk dihormati dan diminta petunjuknya di biara. Tentu saja, kehidupan anak kecil ini akan berubah. Ia akan dididik dalam biara oleh para biksu sehingga memperoleh pendalaman tentang agama Buddha. Sebagai inkarnasi Buddha, sepanjang hidupnya Lama akan memberi petunjuk spiritual dan berkat kepada orang lain.

Di akhir perjalanan, tim CRI menyempatkan diri untuk meminta berkat dari sang Buddha Hidup yang tinggal di biaranya yang atapnya berpagoda emas. Di tempat ini juga, abu dari Buddha Hidup generasi-generasi sebelumnya disimpan. Sayang sekali kesempatan untuk berbincang-bincang dengan sang Buddha Hidup tidak bisa kami peroleh karena banyaknya pengunjung yang meminta berkat. Kami hanya melihat wajahnya yang masih muda. Mungkin umurnya belum mencapai 30 tahun. Di kamarnya yang gelap, ia memercikkan air suci kepada pengunjung.

Kami harus segera meninggalkan lembah Jiuzhaigou yang penuh keajaiban dan berkat. Untuk Jiuzhaigou, berkatnya yang terbesar adalah keindahan alamnya yang menggetarkan hati. Kemudian datang berkat lain yang bernama pariwisata. Dengan pariwisata, para penduduk mulai naik taraf hidupnya. Selain itu, pariwisata memberi kesempatan kepada orang-orang seluruh dunia untuk sejenak mengagumi danau-danau Jiuzhaigou yang biru-hijau berkilauan dan gunung-gunungnya yang mistis. Dengan pariwisata, Jiuzhaigou menghasilkan dana untuk merawat dan melestarikan kecantikannya. Tetapi tentunya, seperti berkat-berkat lain dalam hidup, setiap berkat yang datang harus dijaga dan dilindungi. Bila tidak, berkat yang terindahpun bisa rusak dan tidak akan kembali.