Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2005-12-12 11:24:29    
Terobosan Baru dalam Kajian Hubungan Budaya Antarbangsa

cri


  Kepulauan Indonesia dengan letak geografisnya yang khusus telah "ditakdirkan" menjadi titik silang perhubungan laut dan pertukaran budaya antarbangsa sejak dahulu kala. Dari segi bahasa saja, misalnya, bahasa Indonesia menyerap kata yang tak terbilang banyaknya dari berbagai bahasa lain di dunia ini. Tetapi tata bahasa dan aturan pokok bahasa Indonesia tidak berubah. Begitu pula, pengaruh peradaban dari luar, biar bagaimanapun mendalamnya, tidak menghilangkan keaslian bangsa Indonesia. Pengaruh dari luar yang meresapi kebudayaan Indonesia terutama datang dari India, Arab, Tiongkok dan Eropa. Maka kajian hubungan budaya antarbangsa yang menyangkut Indonesia dan Tiongkok, dua negara besar di Asia, sudah sepatutnya disambut dengan gembira. 
 

Kong Yuanzhi, atas dasar bukunya berjudul Hubungan Budaya Tiongkok-Indonesia yang terbit dalam bahasa Tionghoa di Beijing pada tahun 1999, telah menghasilkan karya yang lebih besar dan berbobot. Karya ini adalah Silang Budaya Tiongkok-Indonesia yang berbahasa Indonesia dan telah terbit di Jakarta paro pertama tahun ini. Karya setebal 577 halaman itu terbagi atas 9 bab berikut 9 lampiran, 400 butir keterangan (catatan, notes, footnotes), dan daftar pustaka berisi 220 judul karya tulis yang menyangkut 170 penulis. Di dalam butir-butir keterangan masih disebut juga banyak majalah dan surat kabar serta bahan jenis lain berbahasa Indonesia, Tionghoa dan bahasa lainnya yang digunakan oleh Profesor Kong dalam proses penulisan Silang Budaya Tiongkok-Indonesia itu. Yang menarik ialah bahwa di antara 9 bab itu Bab IV yang membahas peranan bahasa adalah bab yang terpanjang, yaitu 125 halaman, sedang bab yang lain tidak ada yang melampaui 100 halaman. Dari sini terungkap bahwa bahasa merupakan komponen penting dalam pertukaran kebudayaan antarbangsa dan antarrakyat.

Bahasa adalah syarat teramat penting bagi terwujudnya kontak dan pergaulan antara bangsa yang satu dengan yang lain sehingga terjadi pertukaran budaya antarbangsa. Keunggulan Profesor Kong Yuanzhi dalam kaitannya dengan penyusunan karyanya itu
ialah bahwa ia telah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya syarat yang tersedia untuk membaca dan mempelajari banyak kitab dan catatan sejarah kuno buah tangan tokoh- tokoh budaya dan pemerintah berbagai dinasti feodal Tiongkok masa lampau, dalam bahasa aslinya. Tidak sedikit di antaranya yang dapat dijadikan sumber yang sangat berharga untuk mendapatkan pengetahuan mengenai keadaan banyak tempat di Asia Tenggara dan berbagai segi kehidupan penduduknya pada zaman dahulu, dengan demikian merupakan bahan penting untuk meneliti sejarah kuno Indonesia dan hubungan Indonesia-Tiongkok. Dalam kaitan ini boleh dikatakan bahwa sejarah Indonesia tak dapat ditulis tanpa menggunakan bahan sejarah dari Tiongkok. Atau, seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, "Tanpa bantuan penulis-penulis dan kelana- kelana Tionghoa itu bisa jadi sejarah Indonesia menjadi masa purba sunyi senyap, hanya kuburan belaka. (hlm. 550)"


Dalam buku yang sedang dibicarakan ini hubungan budaya Indonesia-Tiongkok dilacak dan ditinjau dari banyak segi, yaitu antropologi, etnologi, agama, sastra, bahasa, kesenian, olahraga, seni bangunan (arsitektur), kedokteran, teknologi produksi, alat keperluan hidup, perdagangan, makanan dan minuman, dan adat istiadat. Sifat saling pengaruh dalam sejarah hubungan antarbangsa diuraikan dengan jelas dan menarik. Misalnya, ditunjukkan bahwa hubungan budaya Indonesia-Tiongkok sudah ada sejak sebelum tarikh Masehi. Tahun 132 M suatu kerajaan di Jawa mengirim utusan ke Tiongkok, dan surat resmi tertua dalam sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok adalah surat kepercayaan dalam bahasa Tionghoa yang dibawa oleh seorang utusan dari Jawa ke Tiongkok tahun 433 M. Kira-kira dari awal abad ke-14 sampai abad ke-18 uang logam Tiongkok dari emas, perak, tembaga dan timah digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Berkat pengaruh Tiongkok, sejak abad ke-10 usaha pemeliharaan ulat sutra dan pertenunan kain sutra sudah mencapai taraf tertentu di Indonesia. Sebaliknya, pada
masa Dinasti Jin (265-316, 317-420 M) di Jawa dan masa Dinasi Tang (618-907 M) di Bali sudah berkembang usaha penanaman kapas dan pertenunan kain katun, sehingga kain katun menjadi barang ekspor andalan Indonesia ke Tiongkok. Tokoh Tiongkok kuno Yi Jing membuat catatan tentang adanya alat pencatat waktu buatan orang Indonesi di abad ke-7, dan pada abad ke-10 orang Indonesia sudah memperkenalkan minyak tanah kepada Tiongkok. Dicatat juga bahwa wayang kulit di Jawa muncul lebih awal tiga abad daripada wayang kulit di Tiongkok (hlm. 324).


Di bidang agama, diuraikan bahwa Buddhisme yang berasal dari India merupakan unsur hubungan budaya Indonesia-Tiongkok yang sudah ada sejak abad-abad permulaan tarikh Masehi. Awal abad ke-5 bikkhu dari Tiongkok, Fa Xian, singgah di Jawa. Bikkhu Tiongkok yang lain, Yi Jing, pada abad ke-7 tiga kali singgah di Sriwijaya, bahkan bikkhu lainnya lagi, Hui Ning, yang mahir berbahasa Jawa Kuno, menetap di Jawa dan Sriwijaya sampai berusia lanjut dan meninggal di Indonesia (hlm. 16). Masa itu Buddhisme berkembang subur di Indonesia dan Tiongkok. Agama Islam yang pada abad ke-7 sudah masuk ke Tiongkok, kemudian disebarkan berangsur-angsur ke Indonesia dari abad ke abad oleh orang Tiongkok. Tokoh sejarah yang terkenal dari
Tiongkok abad ke-15, bahariwan Zheng He, memainkan peranan besar juga dalam hal ini, di samping sumbangannya di bidang pelayaran, perdagangan, ekonomi, politik dan sosial. Sementara itu penyebaran Islam di Indonesia dilakukan juga oleh orang muslim dari India (Gujarat), Persia dan Arab. Di sisi lain ada informasi bahwa Indonesia menjadi salah satu saluran penyebaran Islam ke bagian selatan Tiongkok. Dengan latar belakang perselisihan pendapat mengenai berapa dan siapa di antara Wali Sanga yang orang Tionghoa atau keturunan Tionghoa, Profesor Kong menyebut empat orang, dan menunjukkan siapa mereka itu (hlm. 27, 28)..


Saling pengaruh dalam bahasa dijelaskan bahwa salah satu gejalanya yang penting ialah adanya lebih dari 1.000 kata pinjaman bahasa Tionghoa di dalam bahasa Indonesia/Melayu, dan terserapnya lebih dari 200 kata bahasa Indoneisa/Melayu ke dalam bahasa Tionghoa. Dan hal ini terjadi melalui proses selama berabad- abad. Kajian ini sungguh menarik dan berharga (hlm. 182-262). Di antara sejumlah karya sastra klasik Tiongkok yang menyebar ke Indonesia terdapat Kisah Tiga Negara atau Sam Kok dan Sampek Engtay. Profesor Kong berdasarkan banyak sumber dan rujukan menguraikan betapa populernya cerita cinta asmara Sampek Engtay di kalangan masyarakat luas Indonesia. Cerita tersebut diterjemahkan, disadur dan diceritakan kembali dalam bentuk tulisan berbahasa Indonesia dan berbagai bahasa daerah di Indonesia. Cerita menarik ini bahkan dipentaskan dalam wujud bermacam-macam sandiwara daerah seperti lenong (Jakarta), ludruk (Jawa Timur) dan ketoprak (Jawa
Tengah dan Jawa Timur), arja (Bali), dan juga drama Indonesia modern (hlm. 144-149). (Berkaitan dengan hal ini timbul bahan renungan, yaitu adakah informasi bahwa cerita Panji dari Jawa yang terserap dalam sastra Melayu, bahkan diterjemahkan atau disadur ke bahasa Thai, masuk juga ke taman sastra Tiongkok? Satu lagi, dongeng Jawa terkenal Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan punya alur yang sangat mirip dongeng rakyat Tiongkok Jaka Gembala Sapi (Niulang) dan Putri Tenun (Zhinu), di manakah "rahasia"nya?). Tak kalah pula menariknya uraian yang jelas tentang sastra peranakan Tionghoa di Indonesia yang hidup dari masa menjelang akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, dan pengaruhnya yang penting bagi perkembangan sastra Indonesia modern serta tumbuh dan berkembangnya bahasa Indonesia (hlm. 118-135). Mengenai sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok dalam masa dari pertengahan abad yang lalu hingga sekarang, disoroti saling kunjung pemimpin negara dan tokoh masyarakat, sastrawan dan seniman maupun rombongan kesenian,.olahraga dan kalangan agama.
Indonesia adalah salah satu negara yang paling dini mengakui Republik Rakyat Tiong- kok dan menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada tahun 1950. Presiden Soekarno mengunjungi Tiongkok di tahun 1956, sedang Presiden Liu Shaoqi berkunjung ke Indonesia pada tahun 1963. Sejak masa mudanya Soekarno mengagumi Bapak Revolusi Tiongkok Dr. Sun Yat Sen (Sun Zhongshan) yang menggulingkan Dinasti Qing dan sangat bersimpati pada "Srikandi" Tiongkok Soong Ching Ling (Song Qingling). Soekarno berjuang dengan penuh semangat untuk persahabatan RI-RRT dan menyadari betapa pentingnya persahabatan itu. Katanya, "persahabatan RI-RRT itu laksana djembatan haibat jang mendjamin keamanan dan perdamaian bangsa-bangsa Asia. (hlm. 290)"


Dicatat juga oleh Prof. Kong Yuanzhi bahwa dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto hubungan diplomatik sempat dibekukan selama 23 tahun. Bulan Agustus 1990 Perdana Menteri Li Peng berkunjung ke Indonesia dan menandatangani kesepakatan pemulihan hubungan diplomatik. Bulan November tahun itu juga Presiden Soeharto mengunjungi Tiongkok. Selanjutnya, Preiden Yang Shangkun, Ketua Kongres Rakyat Nasional Qiao Shi, dan Wakil Perdana Menteri Zhu Rongji berturut-turut mengunjungi Indonesia. Bulan November 1994 Presiden Jiang Zemin datang ke Indonesia. Sejak Soeharto turun panggung, catatnya, pertemuan dan kunjungan timbal balik antara pemimpin negara berturut-turut diadakan, antara lain pertemuan Presiden Jiang Zemin dan Presiden Habibie dalam APEC di Kuala Lumpur (November 1998), kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke Tiongkok (Desember 1999), pertemuan Presiden Jiang Zemin dan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam APEC di Shanghai (Oktober 2001), kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Tiongkok (Maret 2002),pertemuan Presiden Hu Jintao dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam APEC di Santiago, Cile (November 2004), dan kunjungan Presiden Hu Jintao ke Indonesia dan pertemuan bilateral dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuahkan Deklarasi Kemitraan Strategis Indonesia-Tiongkok (April 2005).


Hubungan antara dua negara berkembang di Asia yang bersejarah panjang dan bertahan lama, dengan lingkungannya yang luas dan saling mengisi, telah mendorong maju perkembangan ekonomi dan kebudayaan kedua pihak, menguntungkan saling pengertian kedua pihak dan meletakkan dasar yang kokoh bagi kerja sama bersahabat kedua negeri, dan memberi sumbangan positif bagi usaha perdamaian Asia dan dunia. Bertolak dari pemahamannya yang demikian itu Prof. Kong Yuanzhi mengungkapkan keyakinannya bahwa dengan usaha bersama dari kedua pemerintah dan rakyat, maka persahabatan, kerja sama dan hubungan budaya kedua negara pasti akan semakin berkembang.


Dari segi penyuntingan, dapat disarankan bahwa sebaiknya buku ini dilengkapi dengan indeks di bagian akhir, sesudah daftar kepustakaan. Bisa dipertimbangkan juga cara penempatan daftar keterangan atau catatan, apakah tidak lebih baik disatukan atau dikumpulkan saja dan ditaruh di bagian akhir, sebelum daftar kepustakaan. Selain itu terdapat kekhilafan teknis seperti salah susun huruf, salah eja atau salah cetak, yang di antaranya terasa agak mengganggu. Tapi hal ini semua tidak mengurangi mutu buku Silang Budaya Tiongkok-Indonesia ini sebagai karya ilmiah penelitian sejarah dan sosial yang sangat menarik dan berbobot, dan sebagai bacaan umum untuk menambah pengetahuan yang sangat mengasjikkan dan berguna.


Mudiro