
Seiring dengan nyanyian seorang perempuan Tibet tadi, gunung-gunung, danay, dan air terjun Jiuzhaigou menyapa para pengunjungnya.
Hanya satu kata untuk Jiuzhaigou: Ajaib!
Mungkin kata itu jugalah yang ada di benak orang-orang yang "menemukan" Jiuzhaigou pertama kali pada tahun 60-an. Kata "menemukan" di sini, seperti kata "menemukan" pada kalimat "Christopher Columbus menemukan benua Amerika" sangat tidak pada tempatnya. Karena sudah ada komunitas lokal yang tinggal baik di benua Amerika maupun di Jiuzhaigou, sebelum orang-orang yang memiliki akses akan informasi dan kekuasaan mendeklarasikan bahwa mereka telah "menemukan" daerah ini. Hanya saja, komunitas lokal ini tidak memiliki akses akan kekuasaan untuk mengklaim bahwa daerah itu adalah milik mereka.
Karena itu pula, di banyak negara, termasuk di Indonesia, penduduk lokal tidak punya daya untuk mempertahankan haknya atas sumber daya mereka ketika daerah mereka mulai "ditemukan." Setelah ditemukannya Jiuzhaigou pada tahun 1972 sampai tahun 1978, hutan-hutan Jiuzhaigou mengalami penebangan besar-besaran. Untungnya, pada tahun 1978, menyadari nilai Jiuzhaigou sebagai cadangan alam, Pemerintah Tiongkok mendeklarasikan Jiuzhaigou sebagai cagar alam yang dilindungi. Penebangan pohon-pohon di sana kemudian sama sekali dilarang.

Mulai tahun 1984, dibentuk Badan Administrasi untuk mengelola Jiuzhaigou sebagai daerah tujuan wisata. Pada tahun 1992, Jiuzhaigou masuk dalam Daftar Warisan Dunia yang diakui oleh UNESCO. Kini, Jiuzhaigou adalah salah satu tujuan turis utama yang semakin lama semakin banyak dikunjungi. Tahun ini Jiuzhaigou menarik tidak kurang dari 2 juta wisatawan.
Pariwisata telah mengubah wajah Jiuzhaigou dan penduduk asli yang tinggal di situ. Pohon-pohon yang terlalu lebat dan tinggi dipangkas supaya pemandangan danau dan air terjunnya yang ajaib bisa tampak bagi para turis. Jalan-jalan untuk mobil dan pejalan kaki juga dibuat di areal seluah 70 ribu hektar itu, untuk memudahkan para turis mengunjungi lokasi-lokasi yang pemandangannya spektakuler. Para penduduk yang dulunya menggantungkan hidup dari bercocok tanam dan mengeksplorasi hutan juga beralih ke sektor pariwisata.
Karena penghasilan dari sektor pariwisata, masyarakat Han, dan etnis-etnis minoritas seperti Tibet, Qiang, dan Baima yang tinggal di Jiuzhaigou bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke kota lain. Yi La Me Hum, seorang pemandu wisata yang adalah warga asli Jiuzhaigou menyampaikan pengalamannya.
"Saya adalah warga etnis Tibet. Saya sejak kecil tinggal di Jiuzhaigou. Saya belajar di Universitas Sichuan di Chengdu. Waktu saya kecil, tempat yang begitu bagus ini menurut saya biasa saja. Tapi setelah saya keluar lalu kembali, saya makin hari makin merasa bahwa pemandangan di sini sangat indah. Kalau saya membawa rombongan berkeliling, saya melakukannya sambil menikmati pemandangan. Setelah saya lulus saya banyak pilihan. Salah satunya, saya bisa ke Shanghai, kota yg modern. Tapi saya memilih pulang ke kampung halamannya karena saya yakin perkembangan industri pariwisata di sini bisa semakin kuat. Saya sekarang berkeputusan untuk berkeluarga di Jiuzhaigou."
Tentu saja pariwisata bukan obat mujarab tanpa efek samping. Pariwisata massal yang berorientasi pada turis dan bertarget keuntungan sebanyak-banyaknya akan mengancam kelestarian tempat-tempat paling indah di atas muka bumi ini.

Di Jiuzhaigou, WWF dan Conservation International, lembaga-lembaga pelestarian internasional menyadari hal ini. Karena itu mereka mempromosikan suatu konsep pariwisata yang mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, yang dinamai ekoturisme.
Menurut Ling Lin, Manajer Proyek Pelestarian Lingkungan WWF untuk daerah pegunungan Mingshan dan Hulu sungai Yangtze, termasuk Jiuzhaigou. Eko-turisme adalah pariwisata yang bertanggung jawab.
"Melalui pertukaran dengan alam dan komunitas, turis merasakan pariwisata yang berwawasan ekologi. Melalui eko-turisme ini, para turis bisa belajar tentang lingkungan, mengenal budaya di sekitarnya, serta belajar melindungi ekosistem di sekitar tempat wisata. Pendek kata, ekoturisme di Jiuzhaigou ini harus berperan sebagai pariwisata yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap wilayah ini, dan bertanggung jawab kepada generasi mendatang. Pariwisata ini harus berkelanjutan. Komunitas di sekitarnya harus mendapat manfaat," papar Ming Lin.

Bagaimana realisasi harapan tinggi ini? Bagaimana masyarakat lokal diajak untuk mengelola pariwisata? Tidakkah tempat seindah Jiuzhaigou mengundang banyak kepentingan yang ingin memanfaatkannya? Tantangan apa yang dihadapi alam dan masyarakat Jiuzhaigou?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan kami paparkan untuk Anda di kesempatan yang akan datang di saluran kesayangan Anda, CRI siaran bahasa Indonesia.
|