Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2006-02-05 16:12:41    
Mencium Peluang di Negeri Tiongkok

cri

Sejak Tiongkok mengalami perekonomian yang pesat, maka pembangunan terjadi di mana-mana. Banyak para investor asing datang ke sini untuk menanamkan modalnya. Membuka usaha, membangun perusahaan, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan tempat-tempat makan. Mulai dari restoran kecil, menengah, dan mewah bertebaran di Beijing. Konon kira-kira ada sekitar 5.000 restoran yang terdaftar di sini. Sebagian besar, restoran tersebut menyajikan makanan Tiongkok, dan selebihnya atau sekitar dua ribu lebih restoran menyajikan masakan asing dan cepat saji yang bermunculan bagai cendawan di musim hujan, seperti McDonald, KFC, dan Pizza, yang telah menjadi tren di lingkungan warga di sini.

Setiap hari ada saja restoran yang tumbuh dan berkembang di samping ada pula yang bangkrut, gulung tikar karena beberapa sebab. Ada yang tidak cocok dengan selera warga di sini, sehingga tidak mampu untuk bersaing dengan restoran-restoran yang lebih digemari oleh warga lokal maupun asing. Bisa juga biaya operasionalnya yang tinggi, sehingga untung yang di dapat tidak mampu untuk mengimbangi. Kalo kata pepatah, besar pasak daripada tiang. Keadaan seperti ini kebetulan menimpa beberapa restoran Indonesia yang pernah hadir di sini. Banyak yang mengatakan, bahwa selera masakan Indonesia belum bisa diterima secara luas oleh warga di sini. Mungkin karena banyak orang yang kurang mengenal keadaan di Indonesia, sehingga tidak banyak yang tahu bagaimana masakan Indonesia tersebut.

Mungkin hal ini pula yang menyebabkan Prabowo Wahyu Adi lantas membuka Café Seribu Pulau yang menyajikan dua masakan yaitu Tiongkok dan Indonesia. Berbeda dengan warga Indonesia sebelumnya, yang cenderung menyajikan masakan Indonesia saja.

"Ada dua alasan kenapa saya membuka café Pulau Seribu ini di Beijing. Pertama, karena saya mencium peluang usaha di sini, yang kedua saya ingin memperkenalkan masakan Indonesia di sini," demikian kata Bowo panggilan akrabnya sehari-hari.

Sebelum menjadi pengusaha café, Bowo awalnya datang ke Beijing dalam rangka mengemban tugas sebagai sekretaris Dubes RI di KBRI Beijing. Lebih kurang empat tahun Bowo bertugas di sana yaitu dari tahun 2002-2005. Selama kurun waktu tersebut, Bowo sempat berkenalan dengan seorang wanita manis dan ramah dari Beijing, Guo Ling yang kini telah resmi menjadi istrinya. Bersama istri tercinta Bowo mengelola café ini. Sang istri pula yang merancang bentuk, dekorasi, tata letak kursi dan meja, serta lampu-lampu di café tersebut. Bowo bilang, café ini buka selama 24 jam dengan mempekerjakan, dua orang tukang masak dan empat orang pelayan berwarga negara Tiongkok. Tidak semua pekerjanya berasal dari Beijing, ada yang datang dari luar kota Beijing. Sehingga untuk itu Bowo perlu menyediakan tempat tinggal buat mereka, yaitu sebuah apartemen dengan dua buah kamar tidur, satu ruang tamu yang berhubungan dengan ruang makan, satu dapur dan kamar mandi. Ini adalah fasilitas yang diberikan Bowo di samping gaji maupun bonus.

Kedua tukang masak ini adalah tukang masak lulusan dari sekolah khusus kuliner di Beijing. Dengan berbekal ijazah dan pengalaman memasak, maka kedua tukang masak ini siap beraksi di dapur Café Pulau Seribu yang menyajikan dua hidangan masakan, Indonesia dan Tiongkok. Khusus untuk masakan Indonesia, Bowo meminta bantuan dari ibu-ibu dari KBRI yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengajari kedua tukang masak ini beberapa masakan khas Indonesia. "Karena mereka memiliki bakat dan kemampuan memasak, maka tak sulit bagi ibu-ibu dari KBRI itu mengajari kedua tukang masak saya, dan mereka pun dengan cepat dapat memasak makanan Indonesia," kata Bowo dengan gembira.

Café yang berlokasi di bagian timur kota, tidak jauh dari lingkar tiga, atau tepatnya di daerah Shao Yu Ju, Jalan Beili No. 222, Distrik Chaoyang Beijing, terasa sedikit jauh dari pusat kota Chaoyang sendiri. Tidak seperti pengusaha café lainnya, yang lebih banyak memilih membuka di pusat kota. Karena banyak yang yakin, bahwa faktor lokasi juga sangat menentukan, terutama membuka bisnis di daerah pusat kota, sebagai lokasi strategis, di mana banyak orang yang sering menghabiskan waktu luang mereka dengan berjalan-jalan di pusat kota. Tapi justru Bowo memilih lokasi ini.

"Ide membuka café di lokasi ini, karena biaya sewa tempatnya yang tidak terlalu mahal, sedangkan di daerah pusat kota, harganya bisa berkali-kali lipat. Selain itu, ide kami juga adalah memulai usaha ini dari rumah. Maksudnya di sini, target pelanggan saya adalah para warga yang tinggal di sekitar lokasi café ini, dan kebetulan café ini juga dekat dengan tempat tinggal kami. Bagi kami, dari sini dululah mungkin usaha ini akan kami jalani, meskipun jauh dari kota.

Di mana-mana dalam membuka suatu usaha lazimnya kita harus tertib mengikuti segala peraturan atau birokrasi di tempat, daerah atau negara yang menjadi tujuan kita. Demikian pula halnya yang dihadapi oleh Bowo sendiri. Saya pernah mendengar dari salah seorang pengusaha muda Indonesia, bahwa untuk membuka bisnis di Tiongkok yang dikenal sebagai pasar terbesar di dunia, sangat sulit. Di mana kita harus menghadapi berbagai persaingan dari dalam dan luar negeri, di samping itu juga kita harus benar-benar melengkapi semua prosedur yang dikehendaki oleh pemerintah setempat. Tapi saya juga pernah membaca dari salah satu media setempat, bahwa pemerintah Tiongkok telah membuka pintunya lebar-lebar kepada para investor atau pebisnis asing yang ingin membuka usaha atau menanamkan modalnya di sini, selain itu demi kenyamanan para investor atau pebisnis di sini, pemerintah memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas kepada mereka. Demikian juga yang dialami oleh Bowo, katanya pemerintah telah banyak memberikan bantuannya terhadap usahanya ini. Segala urusan yang menyangkut izin buka usaha berjalan lancar dan mulus. Pemerintah banyak memberikan kemudahan-kemudahan dalam urusan-urusan tersebut.

Tidak semua bisnis atau usaha yang dilakukan bisa terus berjalan lancar. Bagaikan roda berputar, kadang di bawah dan kadang di atas. Terlebih-lebih bisnis di dunia ini. Tentu harus memiliki keahlian, tidak hanya dalam menyajikan menu masakan yang dapat menarik selera para pengunjung, tapi juga dalam cara melayani pelanggan. Bagi Prabowo dan istri yang belum pernah punya pengalaman mengelola sebuah café atau restoran, tentu ini merupakan suatu ujian yang berat. Seperti misalnya baru saja usahanya ini berjalan selama seminggu, Bowo sudah menghadapi ulah para pelanggan yang kadang terpikir sangat aneh. Bowo bercerita, pernah dua orang pelanggan datang ke cafenya ini dan menanyakan padanya, apakah mereka boleh numpang makan di sini? Untungnya Bowo tahu bagaimana harus meladeni tanpa membuat keributan, dengan santai dia menjawab, boleh saja numpang duduk, tapi tidak boleh bawa makanan ke café ini. Pengalaman lain, seorang pelanggan datang ke cafenya dan memesan makanan, lalu begitu si pelanggan mencoba mencicipi makanan yang telah dipesan, si pelanggan marah-marah, dan mengatakan, "makanan ini tidak enak, dan dia tidak bersedia untuk membayarnya." Menghadapi tingkah laku yang begini, Bowo dan istri tidak merasa tersinggung atau marah. Malah mereka sangat menerima ulah tadi dengan tenang dan sabar. Tanpa mau ribut-ribut dengan si pelanggan. Karena mereka sadar, dengan ribut tidak akan dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. "Selain itu, masalah seperti ini apabila diperbesar akan membawa masalah lain bagi perkembangan usahanya, demikian kata Bowo. Walaupun demikian, Bowo dan istri tetap bergiat agar dapat memenuhi selera para pelanggan. Pada awal-awal pembukaan café ini, istrinya sering mendatangani setiap meja pelanggan untuk menanyakan pendapat mereka, tentang makanan-makanan di café tersebut. Apakah ada yang kurang atau tidak enak. Jika kurang enak, harus bagaimana mereka menyajikan masakan tersebut.

Sebagai pemilik restoran, ternyata Bowo tidak mau dianggap sebagai majikan atau bos oleh para pekerjanya. Bowo lebih senang dianggap sebagai teman atau abang bagi mereka. Saya pikir, tipe ini sedikit berbeda dari kebanyakan para pemilik restoran lainnya, yang biasanya akan bertindak selaku pemilik, pengawas dan majikan yang mempekerjakan, mengatur pekerjaan dan pemberi gaji. Tapi Bowo merasa bahwa mereka adalah satu tim kerja, tidak ada bos dan pelayan, yang bersama-sama saling bantu dan berusaha untuk menghidupkan café ini yang tidak hanya dianggap sebagai suatu usaha bagi dia dan istrinya, namun juga sebagai jendela bagi Indonesia dan Tiongkok. Mungkin lewat makanan, masyarakat di sini akan semakin mengenal Indonesia.