Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2006-06-22 09:41:35    
Perkumpulan Pengembangan Budaya Mosuo

cri

Saudara Pendengar, dalam edisi kali ini, kita akan berkenalan dengan mereka yang terlibat dalam The Lugu Lake Mosuo Cultural Development Association, atau Perkumpulan Pengembangan Budaya Mosuo di Danau Lugu. Siapakah mereka? Marilah kita ikuti laporan khusus ini.

Etnis Mosuo tinggal tersebar di pedalaman propinsi Sichuan dan Yunnan yang berbatasan dengan Tibet. Para turis mengenal mereka sebagai etnis yang mendiami daerah di sekitar Danau Lugu, tetapi banyak pula suku Mosuo yang tinggal di pedalaman.

Mereka memiliki bahasa tersendiri yang berbeda dari bahasa Mandarin atau bahasa suku-suku lain tetapi tidak mengenal tulisan sama sekali. Seluruh sejarah dan informasi tentang adat-istiadat serta pengetahuan lokal etnis ini diturunkan dari generasi ke generasi hanya secara lisan. Para ulama agama Daba, yang merupakan campuran agama Buddha-Tibet dengan kepercayaan lokal Daba, bertugas mengingat seluruh pengetahuan ini dan menurunkannya kepada mereka yang menggantikannya.

Selain itu, biasanya anak-anak suku minoritas mendapat pelajaran dengan bahasa suku tersebut baik secara lisan maupun tulisan. Karena suku Mosuo tidak memiliki tulisan, maka anak-anak mereka bersekolah dengan bahasa Mandarin dan tulisan Mandarin. Karena itu, dikhawatirkan, bahasa Mosuo beserta pengetahuan-pengetahuan yang terkandung di dalamnya akan lenyap sama sekali.

Selain tantangan ini, suku Mosuo juga amat miskin. Penghasilan rata-rata mereka per-tahun hanya mencapai sekitar 1,5 juta sampai 2,5 juta pertahun. Karena itu mereka sangat mengharapkan peningkatan taraf hidup.

John Lombard adalah seorang pengusaha dari Kanada. Mula-mula ia datang ke Tiongkok untuk mengajar bahasa Inggris, kemudian ia mendirikan perusahaan konsultan bisnis sendiri di Tiongkok. Hobinya pergi ke daerah-daerah terpencil di Tiongkok dan mengamati budaya masyarakat Tiongkok yang beragam dari dekat. Ia sering tinggal bersama suku-suku minoritas di tempat terpencil. Dari salah satu perjalanannya inilah ia tertarik dengan budaya Mosuo yang lain dengan budaya-budaya lain.

"Saya merasa mereka memiliki budaya yang menakjubkan. Ada banyak tantangan bagi orang-orang Mosuo tetapi mereka bekerja keras untuk mengatasinya. Masalahnya hanyalah bahwa daerah mereka sangat miskin, dan mereka tidak punya sumber daya yang cukup," kata John Lombard.

Budaya Mosuo adalah budaya matrilineal, di mana posisi wanita lebih dominant dalam masyarakat dan di mana seorang anak akan mewarisi nama dari ibunya. Budaya matrilineal di Mosuo berbeda dengan budaya matrilineal di tempat lain karena yang disebut sebagai "perkawinan berjalan." Dalam tradisi Mosuo, wanita akan tinggal bersama laki-laki yang dikehendakinya pada malam hari. Tetapi pada pagi harinya, laki-laki itu akan kembali ke keluarga asalnya, dan memikul tanggung jawab keluarga ibunya. Bila mereka mamiliki anak, anak akan tinggal bersama keluarga ibu dan tidak akan meninggalkan keluarga ibunya. Oleh karena itu, seorang anak Mosuo akan dibesarkan oleh ibunya beserta paman dan bibi saudara-saudara ibunya.

Banyak orang yang salah memahami budaya Mosuo ini. Mereka menyangka bahwa dengan tradisi "perkawinan berjalan" ini maka wanita-wanita Mosuo adalah wanita yang gemar berganti-ganti pasangan dan seenaknya saja memilih teman tidur untuk waktu yang singkat. Pandangan ini salah, karena meskipun mereka memegang keputusan untuk dapat memilih pria yang disukai dan tidak dipersalahkan bila mereka berganti pasangan, tetapi kebanyakan wanita Mosuo akan bertahan dengan satu pasangan selama puluhan tahun, dan tidak memiliki pasangan lebih dari satu.

Pandangan yang juga salah adalah bahwa laki-laki dalam budaya Mosuo hanya sebagai pejantan yang membuahi, tanpa punya tanggung jawab. Masing-masing Mosuo memiliki tugas dan kewajiban kepada keluarga ibunya. Jadi meskipun laki-laki tidak mengasuh anak-anak kandungnya sendiri, ia harus mengasuh anak-anak dari adik atau kakak perempuannya.

Anggapan yang salah tentang wanita Mosuo ini sangat berbahaya bila dimanfaatkan oleh pengelola pariwisata yang tidak bertanggung jawab karena tidak saja akan merusak budaya Mosuo, tetapi juga akan menjerumuskan mereka ke jurang kemiskinan yang lebih dalam bila para wanita terjerumus ke dalamnya.

Karena hal ini, John tergerak mendirikan Lugu Lake Mosuo Cultural Development Association atau Perkumpulan Pengembangan Budaya Mosuo di tepi Danau Lugu.

"Mereka yang menjalankan proyek ini dan menetapkan apa yang ingin mereka lakukan. Saya hanya membantu mereka untuk mendapatkan uang dan keahlian supaya mereka bisa mencapai tujuan mereka. Organisasi kami berfokus pada empat aspek yaitu pendidikan, budaya/agama, lingkungan hidup, dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan kami mengadakan training bagi guru-guru. Untuk murid-murid, kami memberi beasiswa dan menolong mereka yang kesulitan untuk sekolah. Dalam bidang budaya, kami membantu Mosuo untuk mengembangkan suatu sistem tulisan karena bahasa mereka hanya bahasa lisan saja. Kami juga membantu mereka memperbaiki Museum Mosuo," papar John Lombard lebih lanjut.

Perkumpulan ini adalah platform agar berbagai macam organisasi dan institusi yang berminat dapat menyumbangkan dana atau tenaga ahlinya bagi pembangunan etnis Mosuo. Salah satu organisasi yang mengulurkan tangan adalah Eton International School di Beijing. Eton International School adalah sekolah internasional yang berpusat di Inggris dan membuka cabang di Beijing bagi anak-anak dari luar negeri yang orang tuanya bekerja di Beijing. Salah seorang guru seni Eton School, Carla Ortiz mengunjungi etnis Mosuo dan mengajar mereka menggambar.

"Kami mengadakan pelajaran seni bagi mereka dan kami baru sadar bahwa kebanyakan anak-anak Mosuo belum pernah menggambar sama sekali dalam hidupnya. Mereka sangat menyukai hal ini," kata Carla.

Melihat anak-anak Mosuo yang begitu antusias menggambar, ia ingin agar anak-anak ini bisa punya cukup biaya untuk membeli alat-alat gambar dan mengadakan pelajaran menggambar. Carla bercerita tentang kesulitan anak-anak Mosuo ini kepada murid-muridnya di Beijing. Mereka kemudian sepakat untuk mengadakan pengumpulan dana dengan menjual lukisan-lukisan anak-anak Mosuo di Beijing. Untuk menambah jumlah lukisan yang dijual, murid-murid Eton School juga menyumbangkan karya mereka demi pengumpulan dana ini.

"Jadi mereka mulai menggambar banyak sekali. Mereka menghasilkan gambar-gambar yang sangat indah untuk dijual sehingga mereka juga bisa membantu anak-anak Mosuo," tambah Carla.

Lelang lukisan yang juga dimeriahkan oleh kesenian-kesenian tradisional dari etnis Mosuo seperti tarian dan nyanyian diadakan di Taman Ritan di Beijing pada tanggal 22 April 2006. Lukisan dan foto yang berwarna-warni seperti memeriahkan suasana siang hari yang bersiram matahari di Beijing. Para pengunjung yang datang membeli lukisan atau kartu pos yang dibuat dari lukisan-lukisan anak-anak Mosuo.

Seorang warga Mosuo yang hadir dalam acara pencarian dana ini menyatakan dalam sambutannya,

"Dengan bantuan Bapak John Lombard, kami mendirikan Perkumpulan Pengembangan Budaya Mosuo di Danau Lugu Lijiang. Organisasi ini akan menjadi platform supaya semakin banyak peneliti bisa meneliti tentang Mosuo, mengenal Mosuo, meningkatkan taraf hidup orang Mosuo, dan membantu anak-anak putus sekolah. Saya berharap Anda sekalian tahu bahwa di tepi danau Lugu ada sebuah etnis yang bernama Mosuo yang ingin berkembang dan maju bersama Anda sekalian."

Nah, Saudara Pendengar, demikian tadi cerita yang penuh perjuangan dan harapan, yang timbul dari orang asing yang tinggal di Tiongkok. Mudah-mudahan perkumpulan ini akan lebih banyak lagi membawa pembangunan bagi etnis Mosuo.