Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2006-08-07 11:57:48    
Yatim Piatu Gempa Bumi Tangshan (1)

cri
Gempa bumi besar Tangshan yang terjadi pada 30 tahun silam adalah ingatan yang tidak dapat terhapuskan dalam lubuk hati rakyat Tiongkok, khususnya orang Tangshan. Malapetakan besar itu telah merenggut 240 ribu jiwa, dan lebih 4 ribu anak menjadi yatim piatu hanya dalam sekejap mata saja. 30 tahun telah berlalu, bagaimana kehidupan mereka sekarang? Dalam Ruangan Kehidupan Sosial edisi ini kami ajak saudara pendengar menghampiri mereka dan mendengarkan kisah mereka.

Xu Weiwei yang berbadan tinggi semampai selalu menyungging senyum manis yang ceria . Sepintas pandang tak terbayangkan bagi siapa pun bahwa perempuan ini pernah mengalami penderitaan yang luar biasa dalam perjalanan hidupnya. Pertanyaan kami telah menggugah ingatannya yang sudah terpendam lama dalam hati.

Ia mengatakan bahwa pengalaman pahit itu pasti tak'kan terlupakan seumur hidup.

Pada tanggal 28 Juli tahun 1976 pukul 3 lewat 42 menit subuh, bumi seolah-olah berhenti bernafas, gempa bumi besar berkuatan 7,8 skala Richter tiba-tiba dengan dahsyat menggoncangkan Tangshan, kota industri penting di Tiongkok Utara . Dalam sekejap mata kota itu rata dengan bumi, dan 240 ribu orang terenggut jiwanya, termasuk kedua orang tua dan seorang kakak perempuan Xu Weiwei.

Sebelum gempa bumi , Weiwei hidup dalam suatu keluarga yang bahagia, ayahnya bekerja di pabrik besi dan baja Tangshan dengan pendapatan yang cukup lumayan, sedangkan ibunya bekerja di sebuah pabrik topi. Weiwei mempunyai dua orang kakak perempuan . Setiap hari libur , ayahnya selalu membawanya pergi berjalan-jalan atau melihat-lihat ke super market atau taman, dan selalu memanjakan dengan memanggulnya, sedang kedua orang kakaknya cukup puas dengan dituntun oleh ibunya, sekeluarga sangat bahagia ketika itu.

Malam menjelang gempa, udara terasa luar biasa panasnya. Karena tak tahan panas, kakak sulung Wei-wei mengaja teman-temannya bermain bulu tangkis di pekarangan, sampai lewat tengah malam sekitar pukul 1 ia baru pulang ke rumah . Mereka 3 kakak-beradik biasanya tidur di satu kamar, Weiwei dan kakaknya yang kedua tidur di sebuah ranjang besar, dan kakak sulungnya tidur di sebuah ranjang kecil. Ketika masuk ke kamar, sang kakak menemukan si Weiwei kecil terguling ke lantai saking pulasnya, maka diangkatnya dan dibaringkan di ranjang kecil . Justru pemindahan yang tidak disengaja oleh kakaknya itu telah menyelamatkan jiwa Weiwei.

Wei-wei dengan mengenang mengatakan, "ketika itu langit tiba-tiba menjadi terang benderang , aku merasa heran dan bertanya kepada kakak, tapi kakak pun tidak dapat menjawabnya . Kemudian terdengar suara gemuruh seperti sambaran petir , terlihat dinding di sisi ranjang kecil mulai retak dan menganga , disusul goncangan hebat. Belum juga kami sadar apa yang akan terjadi, aku yang berbalutkan selimut handuk sudah terlempar ke luar dari cela dinding yang menganga lebar dan terbanting ke tanah di pekarangan dari kamar kami yang berada di lantai dua."

Weiwei yang setengah sadar merangkak berdiri dan sangat terperajat ketika menyaksikan separo lebih dari gedung tempat tinggalnya yang berlantai empat telah runtuh semuanya, yang terlihat hanya tumpukan-tumpukan batu dan bata, kakak sulungnya sedang mencari-cari di tengah reruntuhan dan puing-puing. Ketika menemukan Si Weiwei kecil masih hidup , Kakak menangis sambil berteriak-teriak , " Papa dan Mama masih di dalam! Juga kakak kedua mu!" Xu Weiwei mengenangkan kembali: Kami berdua mencari terus, tanpa pedulikan batu-batu yang tetap berjatuhan dari atas dan menimpa kami, saat itu kami sedikit pun tidak merasa berbahaya dan takut , kami hanya ingin cepat-cepat menemukan ayah dan ibu. Sekeliling sangat sunyi, tak terdengar suara lain , kecuali teriakan kami berdua.

Pada saat itu lah , tiba-tiba terdengar tangisan seorang bayi dari sebuah reruntuhan rumah memecah kesunyian . Bayi perempuan itu bernama Dang Yuxin, baru berumur 6 bulan. Seorang bocah bernama Zhang Lizhi berumur 5 tahun merangkak keluar dari sebuah rumah yang runtuh di pusat kota. Sambil memegang betis kanannya yang luka tertimpa ia menangis tersendu-sendu kesakitan, dari mimiknya terpancar kepanikan dan ketakutan yang luar biasa.

Zhang Lizhi mengenang kembali, "Rumah kami kebetulan di pusat kota, tempat itu justru yang terbanyak jatuh korbannya. Ketika Saya merangkak keluar dari rumah yang sudah runtuh, saya menemukan bapak dan ibu serta kakakku telah tiada , juga nenek , bibik dan panam ku."

Anak-anak yang kehilangan orang tuanya telah dikumpulkan oleh Tentara Pembebasan Rakyat yang didrop secara darurat. Beberapa hari kemudian, anak-anak itu baru melihat jenazah orang tuanya beserta saudara-saudaranya.

Dalam musibah besar titu , lebih 4 ribu anak kehilangan ayah dan ibunya dan menjadi yatim piatu.

Anak-anak tersebut dengan cepat mendapat pengatur, adayang dijemput oleh sanak kelurganya, misalnya Weiwei dan kakaknya dibawa pulang oleh neneknya. Ada yang masuk ke sekolah Yuhong, sekolah kesejahteraan yang khusus dibangun untuk menampung para yatim piatu, di antaranya Dang Yuxin dan Zhang Lizhi. Di sana, mereka mendapat pendidikan secara gratis, selain itu memperoleh pula fasilitas-fasilitas di segi penghidupan maupun pekerjaan.