Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2007-08-16 09:45:55    
Puisi Dinasti Tang -- Warisan Abadi

cri

Masa Dinasti Tang (618-907) dicatat dalam sejarah sebagai zaman emas, yang ditandai oleh perkembangan menonjol dalam perdagangan, tarafkemakmuran dan keterbukaan. Hubungan persahabatan dan pertukarankebudayaan antara Tiongkok dengan dunia luar sangat ramai. Dunia luar ini mencakup Jepang, Korea, India, Asia Tengah, Persia, Arabia, dan Asia Tenggara. Sriwijaya sering dikunjungi atau disinggahi oleh para biksu Tiongkok, di antaranya yang terkenal ialah Yi Jing. Paro pertama abad ke-8 tercatat Sriwijaya tiga kali mengirim utusan keTiongkok.

Teknik pembuatan kertas mutu baik yang diciptakan oleh Cai Lun pada awal abad ke-2 (Dinasti Han Timur), ditingkatkan lagi, sehingga menghasilkan kertas yang kuat dan tahan lama, di masa Dinasti Tang.Dengan demikian tersedialah sarana yang memuaskan untuk menulis dan mencetak huruf maupun membuat lukisan. Meskipun teknologi cetak huruf lepas baru ditemukan oleh Bi Sheng tahun 1040-an (Dinasti Song), seni cetak blok sudah tercipta dan diterapkan dalam kurun antara paro kedua abad ke-6 dan paro pertama abad ke-7 (Dinasti Sui - Dinasti Tang).

Keistimewaan penting masa Dinasti Tang terwujud pada hasil cemerlang

yang dicapai di bidang puisi atau seni persajakan. Yang luar biasa juga ialah banyaknya karya yang digubah dan banyaknya jumlah penyairnya, begitu pula kayanya tema dan tingginya mutu seninya. Buku 100 Puisi Tang Tionghoa-Indonesia karya Profesor Liang Liji memberi gambaran umum yang sangat membantu kita memahami kenyataan itu. Seratus sajak yang disajikan dalam pilihan itu adalah buah kalam 38 penyair zaman Dinasti Tang yang berasal dari berbagai daerah Tiongkok. Misalnya, Li Bai, Bai Juyi dan Chen Zi'ang dari barat {Gansu, Shaanxi, Sichuan), Du Fu, Li Shangyin, Meng Haoran dan Liu Zongyuan dari tengah {Henan, Hubei, Shanxi}, Dai Shulun dan Gu Kuang dari timur (Jiangsu, Zhejiang), dan Zhang Jiuling dari selatan (Guangdong). Dilihat dari tahun kelahirannya, yang paling awal ialah Wang Bo (650) dan yang paling akhir Li Shangyin {813). Dengan demikian masa hidup para penyair itu mencakup tahap-tahap kebangkitan, kejayaan, kemunduran, dan ambang kejatuhan Dinasti Tang.

Membaca sajak para penyair Dinasti Tang, kita mendapat pengetahuan bahwa pada masa itu transportasi air sangat luas digunakan. Untuk penerangan, banyak digunakan lilin. Pakaian terbuat dari bahan sutera sudah umum dipakai. Usaha pembuatan arak dan kebiasaan minum arak, termasuk minum sampai mabuk untuk menghilangkan resah, sudah biasa pula, tak terkecuali para penyair itu sendiri. Mereka suka mendekatkan diri dengan alam raya, menikmati kesegaram udara yang memberi kenyamanan badaniah, mengagumi keindahan gunung dan air, pohon dan rumput, dan dari situ mendapatkan ilham, kemudian menulis syair tentang apa yang dilihat oleh mata kepalanya dan mata hatinya, apa yang didengar dan dirasa, menuruti getaran sukma dan suara batinnya. Tapi puisi mereka juga mengecam para penguasa yang menjalankan kekuasaannya tanpa peri kemanusiaan, melampiaskan kebencian dan kekecewaan terhadap perang yang timbul dari nafsu serakah dan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat jelata, menyatakan setiakawan kepada kaum miskin sambil mencerca gaya hidup foya dan korup serta kesenjangan taraf hidup. Sajak-sajak mereka pun merawi kisah cinta asmara antara kekasih dan antara suami-istri, bersenandung tentang rasa kasih sayang antara kerabat dekat atau saudara kandung, tentang rasa pedih pilu ketika harus berpisah, dan rindu kampung halaman. Ada pula karya puisi yang mengungkapkan rasa hormat kepada sahabat karib atau guru yang luhur budi, dan juga ada yang dengan tulus mendambakan seorang pemimpin bijaksana yang bisa menjalankan pemerintahan yang adil.

Para penyair Dinasti Tang adalah pahlawan sastra yang besar sumbangannya bagi pembaruan sastra, kepada pengayaan, penyempurnaan dan pemantapan bahasa Tionghoa pada zamannya dan zaman kemudian. Banyak di antara mereka juga berbakat dalam kaligrafi dan seni lukis, dan tak sedikit pula yang memegang jabatan pemerintah.

Apakah karya sastra itu cemerlang, menarik, bermutu dan mengagumkan, pembacalah yang menentukan. Dalam proses sejarah yang amat panjang, terbukti puisi Tang menyedot jumlah pembaca yang besar dan terus membesar, dari zaman ke zaman. Pada tahun 1726 semasa Dinasti Qing, 800 tahun sesudah Dinasti Tang gulung tikar, muncul Koleksi Lengkap Puisi Dinasti Tang yang menghimpun 48.900 sajak gubahan 2.200 penyair. Dewasa ini pembelajar bahasa dan budaya Tiongkok, di mana pun di muka bumi ini, akan terpesona oleh puisi Tang. Apa lagi di Tiongkok sendiri, puisi Tang menjadi santapan rokhani sehari-hari. Puisi Tang masuk buku pelajaran semua jenjang pendidikan formal, menjadi bahan tanya jawab dan tema ulasan dalam berbagai acara tayangan TV dan siaran radio, dideklamasikan dalam berbagai macam pertemuan, diuraikan dan dibahas serta didikusikan dalam buku dan media cetak lainnya. Di mana pun di Tiongkok kita akan menjumpai seorang ayahatau ibu yang membanggakan anaknya yang baru di kelas dua atau tiga SD sudah hafal sepuluh atau belasan sajak Dinasti Tang. Seorang pemandu wisata di Gunung Lushan, Provinsi Jiangxi, Tiongkok timur, akan bercerita kepada para wisatawan bahwa Li Bai pernah datang ke situ dan menggubah sajak yang mengagumi air terjun di gunung itu.Dalam masa hidupnya, Li Bai menulis lebih dari 900 sajak.Di pinggiran barat Chengdu, ibu kota Provinsi Sichuan, ada MuseumPondok Du Fu, sebuah kompleks seluas 16 hektar berisi sejumlah bangunan dan taman indah. Itulah monumen budaya nasional, tanda hormat dan peringatan untuk Du Fu (712-771), yang sama halnya dengan Li Bai (701-762), mendapat sebutan Mahapujangga, Empu Agung, bahkan Manusia Dewa. Du Fu, yang berasal dari Provinsi Henan di Tiongkok tengah, mengungsi ke Chengdu pada tahun 759 akibat kecamuk perang di banyak bagian negeri. Di tempat beradanya museum yang dibanguan di tahun 1990-an itu Du Fu dengan bantuan keuangan seorang sahabat membangun pondok untuk keluarganya di tahun 760. Di situlah Sang Manusia Dewa selama kira-kira empat tahun hidup damai dan menulis 240 dari 1.400 sajaknya. .

Penyair dan negarawan Bai Juyi (772-846), penggubah 3.000 sajak, tak terpisahkan namanya dengan Suzhou di Provinsi Jiangsu. Di tempat tujuan wisata peringkat atas di zaman modern ini pada tahun 825 dia menggelar proyek tanggul tepi sungai Shantang sepanjang 3 1/2 kilometer. Sejak itu kawasan tersebut ditongkrongi berbagai kuil dan kelenteng, rumah serikat dagang, taman dan jembatan, sehingga kawasan ini menjadi jalur sejarah kota. Setelah mengalami kejayaan selama 1.000 tahun, yaitu sampai akhir Dinasti Qing (1644-1911), tanggul Shantang terlantar dan kehilangan pamornya, kini sedang bangkit berkibar dengan berlangsungnya kerja pemugaran oleh pemerintah Kota Suzhou sejak tahun 2002. Hari ini Jalan Shantang yang berpenampilan kuno menjadidaya tarik yang mengasyikkan bagi semua orang.

Bulan April tahun lalu (2006), dalam suatu jamuan makan resmi sewaktu kunjungannya di AS, Presiden Hu Jintao mengutip larik-larik sajak Li Bai, "Saatnya akan tiba nanti angin membantu membelah ribuan ombak, Dan aku akan mengembangkan layar mengharungi lautan bergejolak". Kutipan ini dimaksudkan untuk menekankan perlunya mendorong terus maju hubungan Tiongkok-AS. Pertengahan Maret tahun ini Perdana Menteri Wen Jiabao mengatakan bahwa mengembangkan hubungan damai dan memuluskan jalan bagi pertumbuhan di kedua tepi Selat Taiwan adalah arus sejarah yang siapa pun tak akan dapat membendungnya. PM Wen menekankan hal ini dengan mengutip sajak Liu Yuxi (772-842), "Seribu perahu layar berlalu melewati kapal pecah Selaksa tunas mencuat segera di balik pohon meranggas".

Kita lihat, orang Tiongkok, bangsa Tionghoa, pandai menjaga warisan budaya dan gigih memelihara peninggalan leluhurnya. Ini patut dijadikan bahan renungan bagi kita orang Indonesia. Dan puisi Dinasti Tang hidup terus, seperti bunyi pepatah Minangkabau, inda' lakang de' paneh, inda' lapue' de' ujan {tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan}. Suatu daerah atau negeri tak mungkin hidup sendiri tanpa sentuhan dan hubungan dengan daerah atau negeri lain. Saling mengenal antarnegeri dan antarbangsa melahirkan semangat memberi dan mengambil secara timbal balik dalam aneka bidang. Hubungan tidak baik bisa menimbulkan bencana, sedang hubungan baik akan mendatangkan persahabatan dan perdamaian. Pertukaran budaya merupakan salah satu unsur penting untuk memelihara dan mengembangkan hubungan baik itu. Dengan membaca 100 Puisi Tang yang sudah diterjemahkan ke bahasa

Indonesia itu kita bisa menambah pengetahuan dan pengertian kita tentang kebudayaan Tiongkok. Sebaliknya, usaha menerjemahkan dan menerbitkan karya tersebut adalah tindakan nyata memperkenalkan kebudayaan Tiongkok kepada masyarakat Indonesia. Memperkenalkan puisi Tiongkok kepada orang Indonesia tanpa mengindonesiakan bahan berbahasa Tionghoa itu tidaklah mungkin. Di sinilah pentingnya kerja penerjemahan. Peranan penerjemah sungguh menentukan. Tanpa penguasaan yang memadai atas bahasa aslinya dan tanpa pemahaman yang cukup terhadap bahasa terjemahannya, tak akan lahir bahan terjemahan yang dapat dimengerti. Penerjemah harus setia pada pengarang, artinya isi dan makna bahan dalam bahasa asli tak boleh berubah, dan di pihak lain setia pada pembaca, yaitu jangan sampai orang tidak mengerti isi dan makna bahan terjemahan yang dibacanya. Bahasa Tionghoa dan bahasa Indonesia mempunyai sifat dan cirinya masing-masing yang menonjol, yang satu bersuku tunggal (monosilabis) dan yang lain bersuku banyak (multisilabis). Tata bahasanya pun lain. Mengingat bahwa puisi klasik Tiongkok dalam bahasa Indonesia masih sangat langka, sudah sewajarnyalah kita merasa gembira dan lega dengan kehadiran 100 Puisi Dinasti Tang itu. Menerjemahkan karya sastra, lebih-lebih sastra klasik, apa lagi puisi, boleh diibaratkan menempuh jalan yang penuh bahaya. Tapi, biarpun hal-hal tak diinginkan yang tak terhindarkan terjadi dalam perjalanan itu, mengalihkan sastra berharga kepada pembaca berbahasa lain, dengan semangat memelihara dan mengembangkan hubungan baik antarrakyat, adalah upaya mulia yang patut dihargai. Jangkauan kosakata dalam terjemahan Indonesia Liang Liji cukup luas. Inilah cerminan kesungguh-sungguhan dan ketekunan dalam mencari padanan kata dan ungkapan. Disebabkan oleh kelainan sifat kedua bahasa, sajak satu bait yang terdiri dari empat larik dan setiap lariknya berisi lima huruf (kata, aksara), dalam terjemahan Indonesianya menjadi dua bait yang masing-masing terdiri dari empat larik dan setiap lariknya berisi kata. yang tidak sama jumlahnya, ada yang tiga, empat dan lima. Ini pun salah satu contoh penemuan jalan keluar dari kesulitan pengalihbahasaan. Cara ini harus ditempuh justru untuk mempertahankan isi dan makna aslinya, supaya pembaca Indonesia lebih mudah memahami artinya, dan meresapi jiwanya. Perubahan bentuk lahiriah diperlukan untuk penyesuaian dengan aturan dan kebiasaan bahasa Indonesia. Walhasil, karya terjemahan 100 Puisi Dinasti Tang tidak mengecewakan, maka patutlah kita menyatakan terima kasih dari lubuk hati yang sedalam-dalamnya dan menyampaikan ucapan selamat yang istimewa kepada Profesor Liang.

Mudiro

Beijing, 25 Juni 2007