Pengalaman di kuil pada masa kecil juga mempengaruh wataknya. Cao Naiqian selalu berpegang teguh pada prinsip menangani segala sesuatu dalam penghidupan seperti apa adanya. Adapun reputasi dan duit, ia malah memandangnya rendah sekali, dan ia selalu menuntut penghidupan yang biasa. Ia mengatakan, ia menulis novel hanya untuk menguraikan suara hatinya, dan tidak peduli apakah dapat diterbitkan, atau apa komentar mengenai bukunya. Kalau ada pembaca menggemari bukunya, maka ia akan merasa sangat gembira, dan biarpun bukunya tidak dihiraukan para pembaca, ia tetap akan terus menulis novel.
Sampai sekarang Cao Naiqian sudah menerbitkan tiga novel dan puluhan cerita pendek, yang semuanya diambil temanya dari penghidupan sehari-hari. Sebelum menjadi polisi, Cao Naiqian pernah bekerja sebagai buruh tambang batu bara selama satu tahun. Mengenai penghidupan pahit menggali batu bara di sumur, ia menceritakannya dalam novel Batu Matahari Yang Dingin. Tahun ini ia menerbitkan satu lagi novel dengan judul: Pemandangan Kampung Wenjiayao. Dalam buku itu diciptakannya satu kampung bernama Wenjiayao di tempat yang terpencil, dengan ceritanya berdasarkan penghidupannya di pedesaan 40 lebih tahun yang lalu. Dalam novel ini ia melukis penghidupan kaum petani di daerah yang miskin, khususnya kehidupan seksual yang selalu dihindari pengarang lainnya.
Cao Naiqian mengatakan, tanpa pengalaman ia sama sekali tidak akan menulis. Dikatakannya: "Semua novel saya adalah karya orisinal, berasal dari pengalaman yang saya tahun atau alami sendiri. Saya sama sekali tidak menulis sesuatu setelah melakukan penyelidikan terhadap satu peristiwa. Saya mutlak tidak menulis novel dengan isinya yang terpisah dari pengalaman saya. Segala sesuatu yang saya tulis dalam novel adalah cerita yang terjadi pada saya diri sendiri atau orang yang saya kenal."
Sekarang Cao Naiqian sedang menulis sebuah novel panjang tentang ibunya. Rencananya ialah selesai menulis novle ini sebelum ia pensiun tahun depan. Dengan penyelesaian novel itu, ia akan dengan lega hati menikmati penghidupan setelah pensiun. Dengan novel itu, Cao Naiqian ingin mengutarakan rasa terima kasih kepada ibunya, yang seumur hidup memberikan sumbangan demi anaknya tanpa pamrih. Ia mengatakan: "Sekarang novel itu sudah saya tulis separonya, dengan huruf Kanjinya hampir 200 ribu lebih. Ada orang bilang bahwa novel ini terlalu panjang, saya jawab bahwa saya tak peduli panjang atau tidak. Saya cuma ingin menulis satu novel tentang ibu saya, diterbitkan atau tidak, itu tidak apa-apa bagi saya. Asal saya tulis, saya merasa puas."
Cao Naiqian menyebutnya sebagai seorang yang sempit hati. Dalam sandang pangan, ia hemat sekali. Sayur yang digemarinya hanya kentang saja. Akan tetapi, untuk menulis novel, ia rela memberikan apa saja korbannya.
Cao Naiqian adalah salah seorang pengarang yang paling awal menggunakan komputer sebagai alat penulis. Pada awal tahun 1990-an, ia membeli sebuah komputer yang paling maju waktu itu. Pada hal, waktu itu di biro keamanan umum di mana ia bekerja masih tidak ada satu komputer. Komputer itu hampir menelan gaji separo tahunnya. Cao Naiqian mempunyai kebiasaan bangun pada pukul tiga lewat 15 menit setiap pagi, baik di rumah maupun di luar. Selama puluhan tahun ini, ia sudah biasa memulai penciptaannya dalam kelenganan dini hari. 1 2
|