Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2007-09-28 15:07:56    
Dari Halmahera menjadi Jembatan Tiongkok dan Dunia

cri

Di sela-sela riuhnya Pameran Buku Internasional Beijing 2007, sosok yang bersahaja ini tampak sedang bercakap-cakap dengan utusan-utusan penerbit buku Belanda dengan bahasa Belanda yang fasih. Ketika partner bicaranya berganti, ia dengan mahir pula mengganti bahasa percakapannya dalam bahasa Inggris atau Mandarin. Lalu ia menerima interview CRI dengan bahasa Indonesia. Siapakah sosok sederhana yang menguasai berbagai bahasa dunia ini?

Ia adalah Shi Huiye, pensiunan diplomat Tiongkok yang lahir di Halmahera, pada tanggal 24 Juli 1941. Nama lahirnya Sie Hwie Giap. Ayahnya adalah seorang dokter pada masa penjajahan Belanda. Karena itulah, ketika SD Shi Huiye menggunakan bahasa Belanda di rumah dan di sekolah. Setelah kemerdekaan Indonesia, ayahnya tidak mengambil kewarganegaraan Belandanya dan memilih mengabdi pada republik muda yang baru berdiri.

Karena kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan kewarganegaraan tunggal, ayah Shi Huiye harus memilih kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Ia memilih kewarganegaraan Tiongkok dan memutuskan untuk kembali ke tanah leluhurnya di Tiongkok. Shi Huiye yang pada saat itu sedang kuliah di jurusan kedokteran di Universitas Airlangga, Surabaya, ikut kedua orang tuanya menetap di Tiongkok.

Sebetulnya Shi Huiye tidak terlalu berminat menjadi dokter. Minatnya adalah ilmu pengetahuan murni. Tetapi karena anjuran keluarga yang ingin ia punya penghasilan tetap yang lumayan, maka ia kuliah jurusan kedokteran. Oleh karena itu, ketika sampai di Tiongkok, Shi Huiye bertekad menekuni minat awalnya untuk kuliah Fisiologi dan Biokimia di Universitas Pertanian Beijing yang cukup prestisius.

Tiongkok yang lalu mengalami Revolusi Kebudayaan membuat Shi Huiye harus mengabdikan dirinya sebagai dokter di desa. Lalu ketika Tiongkok mulai melakukan pembukaan diri, ia ditarik untuk bekerja di Departemen Internasional Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok karena kemampuannya berbahasa Belanda, Inggris, dan bahasa-bahasa lainnya seperti Jerman, Afrikaan, dan Rusia. Dalam posisinya inilah ia mulai mendalami ilmu filsafat, politik, dan hubungan luar negeri. Karena memiliki waktu luang, ia mulai terlibat dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Mandarin.

Salah satu buku terjemahannya adalah Max Havelaar, buku tulisan Douwes Dekker tentang dampak kebijakan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahannya, Indonesia. Menurut Shi Huiye, Tiongkok selalu mencari buku-buku penting kesusastraan dunia untuk disebarluaskan kepada rakyatnya. Max Havelaar adalah karya literatur Belanda pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Sejak tahun 1950-an, Tiongkok telah berusaha menerjemahkan buku ini, tetapi belum menemukan orang yang cocok. Barulah pada tahun 1987, mereka menemuka Shi Huiye, yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang Indonesia dan Belanda, sehingga cocok menjadi penerjemah buku ini.

Shi Huiye banyak membaca buku-buku sastra Indonesia, seperti misalnya karangan Pramoedya Ananta Toer. Ia juga berharap agar buku-buku ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin sehingga bisa memperkaya khazanah sastra dunia yang beredar di Tiongkok, tetapi sampai sekarang belum ada sponsor yang berminat.

Nah, demikian tadi Shi Huiye, yang dalam masa pensiunnya masih tetap aktif menjadi penerjemah konfrensi-konfrensi yang diadakan oleh instansi-instansi Belanda dan Tiongkok, serta menjadi penerjemah buku-buku berbahasa Belanda ke bahasa Mandarin. Dari tanah kelahirannya di Halmahera, ia kembali ke Tiongkok, tanah leluhur yang kini menjadi tempatnya mengabdi, menjadi jembatan bagi Tiongkok dan dunia.