Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2008-04-01 16:46:11    
Sistem Tani Hamba Feodal Tibet di Masa Lalu

cri

Sebelum diterapkan reformasi demokratis pada tahun 1959, Tibet dalam jangka panjang berada dalam masyarakat sistem tani hamba feodal dengan penggabungan politik dan agama serta kediktatoran biksu dan bangsawan. Kekecamannya tak kalah dibandingkan sistem tani hamba di Eropa pada abad pertengahan. Tuan hamba Tibet terutama adalah pejabat, bangsawan dan biksu lapisan atas di kuil. Mereka tidak sampai 5% populasi Tibet, tapi memiliki semua tanah garapan, lapangan peternakan, hutan, gunung dan sejumlah besar ternak.

Menurut statistik awal Dinasti Qing abad ke-17, di Tibet ketika itu terdapat tanah garapan seluas 200 ribu hektar, di antaranya pejabat memiliki 30,9%, bangsawan memiliki 29,6%, kuil dan biksu lapisan atas memiliki 39,5%. Sebelum ditereapkan reformasi demokratis pada tahun 1959, di seluruh Tibet terdapat 197 keluarga bangsawan turun-temurun dan 25 keluarga bangsawan besar, di antaranya 7 sampai 8 keluarga bangsawan yang terbesar masing-masing memiliki puluhan perkebunan dan ribuan hektar tanah.

Tani hamba ketika itu melampaui 90% dari pada populasi Tibet lama. Mereka tidak memiliki tanah dan tidak mempunyai kebebasan pribadi dan hidup tergantung pada seseorang tuan perkebunan. Selain itu, masih terdapat hamba turun-temurun yang merupakan 5% dari pada populasi Tibet lama, mereka tidak memiliki bahan produksi apapun dan juga tidak memiliki kebebasan pribadi.

Tuan hamba tani mendominasi tubuh tani hamba dan menganggap hamba tani sebagai kekayaan pribadinya, menjual-belikan, menghadiahkan, menukar atau menggadaikannya. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1943, seorang bangsawan besar bernama Chemen Lubuwanchi pernah menjual 100 orang tani hamba kepada seorang pejabat dengan harga 60 tail perak setiap tani hamba.

Tuan tani hamba menguasai nasib tani hamba. Tani hamba lelaki dan perempuan yang dimiliki tuan berbeda ketika menikah harus menyetorkan ongkos tebus, dan setelah menikah, anak putera mereka dimiliki tuan pihak suami dan anak perempuan dimiliki tuan isterinya. Anak-anak tani hamba setelah dilahirkan harus didaftarkan untuk menentukan nasibnya sebagai tani hamba seumur hidup.

Menghadapi pemerintahan kejam sistem tani hamba feodal, rakyat pekerja Tibet belum pernah menghentikan perjuangannya. Mereka memperjuangkan hak pribadinya sendiri dalam bentuk mengajukan petisi, mengungsi, menolak pembayaran uang sewa bahkan melakukan perjuangan bersenjata. Akan tetapi, tuntutan mereka ditindas dengan kejam oleh pihak penguasa. Menurut undang-undang Tibet lama, mereka sendiri tidak saja dieksekusi, harta bendanya juga disita dan isterinya dijadikan sebagai hamba. Dalai Lama ke-5 pernah mengeluarkan perintah, siapa saja yang mencoba menuntut kebebasan, mereka akan menerima hukuman bacok tangan dan kaki, dikeduk mata, dipukul bahkan dibunuh. Perintah itu berulang kali ditegaskan oleh yang berkuasa kemudian.