Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2008-04-25 17:15:22    
Ilmuwan Jerman Tolak Adanya "Genosida Budaya" di Tibet

Kantor Berita Xinhua

BERLIN, 23 April (Xinhua). Seorang sinolog dan etnolog Jerman pada hari Rabu menyangkal klaim Dalai Lama bahwa pemerintah Tiongkok telah melakukan "genosida budaya" di Tibet dan mengkritik beberapa media Barat yang tidak memperkenankan suara-suara masyarakat biasa Tibet terdengar.

Genosida Budaya? Sama Sekali Salah

"Konsep 'genosida budaya' sama sekali salah," kata Nentwig, yang mengepalai departemen riset di Museum Etnologi di Leipzig, dalam sebuah wawancara tertulis dengan Xinhua.

"Budaya Tibet berkembang dan maju di Tiongkok," termasuk "bahasa, sastra, studi sastra oral, kehidupan sehari-hari dan arsitektur tradisional," katanya.

Nentwig mengatakan bahwa Tiongkok telah menerbitkan sejumlah besar koleksi buku, surat kabar, dan majalah dalam bahasa Tibet, dan ada "rumah-rumah penerbit Tibet, tidak hanya di Tibet tapi juga di propinsi-propinsi tetangga, dan bahkan juga di Beijing."

Para pengarang Tibet menulis dalam bahasa Tibet dan Tionghoa. Terjemahan buku-buku asing ke bahasa Tibet juga tersedia di Tiongkok dan "ada akademi obat-obatan tradisional di Lhasa," katanya mengutip contoh-contoh yang menjelaskan pendapatnya.

Ilmuwan ini mengatakan bahwa "tidak seperti wakil-wakil pemimpin agama yang meminta kemerdekaan untuk Tibet atau hanya ingin memiliki kekuasaan politik saja, "sebagian besar warga Tibet mengakui kesempatan yang hadir dalam Tibet modern, yang merupakan bagian dari keterbukaan Tiongkok terhadap dunia." Sedangkan para pemuka agama Tibet mengatakan bahwa modernisasi masyarakat Tibet sebagai "genosida budaya".

Asimilasi Terstruktur? Bukanlah Pertanyaan.

Nentwig mengatakan bahwa imigrasi dan asimilasi sistematis Tibet "melalui invasi pendudukan etnis Han Tiongkok bukanlah suatu pertanyaan."

"Bila Anda datang ke Lhasa, Anda akan mendapat kesan bahwa di sana banyak etnis Han Tiongkok yang merupakan 50 persen dari populasi di Lhasa," katanya. Tetapi harus dicatat bahwa sebagian besar dari mereka hanya tinggal sementara.

Tentara, misalnya, harus meninggalkan Tibet setelah demobilisasi. Banyak buruh bangunan hanya di sana untuk proyek jalan dan jalur kereta api. Beberapa pejabat ditugaskan untuk bekerja di Tibet sesuai dengan rotasi tugasnya, lalu pergi. Sementara itu, para pelaku bisnis yang mengoperasikan toko atau restoran jarang tinggal untuk waktu yang lama, katanya.

"Tetapi bila Anda meninggalkan Lhasa, Anda hampir tidak akan menjumpai etnis Han," kata Nentwig, yang berada di Tibet selama sebulan untuk riset lapangan mengenai penggembala yak di musim panas 2002.

"Saya melakukan riset lapangan saya di sebuah kabupaten di mana hanya ada 20-30 etnis Han Tiongkok hidup di antara 50-60 ribu warga Tibet," katanya.

Ilmuwan itu mengatakan bahwa proporsi secara umum warga Han yang tinggal lama di Tibet hanya 7 persen, sementara etnis Tibet 90 persen.

Bila para warga yang tinggal sementara dihitung, warga Han hanya 20-25 persen dari seluruh populasi di Tibet, di mana etnis Tibet "merupakan mayoritas mutlak 75-80 persen," katanya.

Daerah-daerah yang ditinggali oleh etnis Tibet di propinsi-propinsi tetangga terdiri dari Qinghai, Gansu, Sichuan, dan Yunnan. Meskipun demikian, propinsi-propinsi ini lebih beragam. Di sana etnis Tibet tinggal secara damai dengan Han dan kelompok-kelompok etnis lainnya seperti Hui, Mongol, Qiang, Tu, dan Salar selama berabad-abad, kata Nentwig.

Bila warga Tibet yang melarikan diri, di bawah slogan "anti-asimilasi" atau "anti-Tiongkokisasi" ingin berperang untuk dominasi budaya dan politik, ini melawan kebenaran histories dan akan menjadi tidak adil bagi semua warga di sana, katanya.

Tuduhan Kelas Penguasa Lama? Sebuah Cerita Lain.

Ilmuwan ini menyajikan daftar alasan-alasan historis dan geografis untuk pembangunan Tibet yang relatif lambat dibandingkan dengan wilayah-wilayah Tiongkok lainnya.

Tibet "tidak cocok untuk sebuah industrialisasi dan pertaniannya juga terhalang oleh kondisi alamnya" sebagai areal padang rumput yang luas yang "memiliki lapisan humus yang amat tipis sehingga hampir tidak ada yang bisa tumbuh," katanya.

Ia juga meminta perhatian pada fakta bahwa sebelum 1950, tidak ada rumah sakit dan sekolah, kecuali pendidikan kerajaan.

Sementara mengakui bahwa kesenjangan yang sedemikian tajam "tidak bisa dipersempit dalam semalam," Nentwig gembira bahwa rata-rata harapan hidup masyarakat Tibet telah naik dari 35 tahun di tahun 1950 menjadi 67 tahun sekarang.

Ia memuji dibebaskannya mayoritas masyarakat Tibet dari kungkungan perbudakan sebagai "kemajuan besar." Menurutnya, sebagian besar masyarakat Tibet berada dalam kondisi yang lebih baik sekarang daripada 50 tahun yang lalu.

Ia mengatakan bahwa kebijakan etnis pemerintah Tiongkok "amat murah hati" dan ada banyak contoh untuk melukiskan bahwa etnis minoritas di Tiongkok diberi hak istimewa.

"Warga Tibet, misalnya, boleh punya dua anak dan warga Tibet di desa boleh punya tiga atau lebih banyak anak," di mana kebijakan satu anak saja diterapkan bagi etnis Han.

"Sensus terakhir menunjukkan bahwa dalam 20-30 tahun ini, pertumbuhan populasi warga Tibet lebih tinggi daripada warga Han," katanya.

Nentwig mengkritik beberapa media Barat yang hanya melaporkan suara-suara kelas penguasa lama, yang merupakan wakil dari teokrasi lama, para aristokrat feodal dan pemuka agama, yang telah kehilangan kekuasaan mereka "dan tidak bisa lagi mengeksploitasi masyarakat semau sendiri," sementara mengabaikan suara-suara rakyat Tibet yang "punya cerita yang sama sekali lain untuk diceritakan."

Dengan mengakui bahwa pendekatan etnis minoritas masih punya banyak ruang untuk perkembangan, ia mengatakan bahwa bila ada orang yang ingin mengkritik Tiongkok, kritik mereka harusnya konkret, konstruktif, dan didasarkan pada keahlian.

"Tidak akan ada yang diuntungkan bila bualan tak bermutu disebarkan, seperti yang sayangnya telah dilakukan dan masih dilakukan banyak media Barat," katanya.

http://news.xinhuanet.com/english/2008-04/24/content_8043833.htm