Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2008-05-19 13:13:45    
Hormat kepada Para Guru Yang Mengorbankan Jiwa demi Keselamatan Jiwa

cri

Gempa bumi dahsyat berkekuatan 8 pada Skala Richer yang terjadi di Provinsi Sichuan pada tanggal 12 Mei lalu, merenggut jiwa puluhan ribu orang. Akan tetapi, pada saat kritis menghadapi malaikat mati, para guru sekolah berusaha menyelamatkan siswa tanpa menghiraukan keselamatannya diri sendiri, bahkan tidak sedikit di antaranya sudah mengorbankan jiwanya.

Sekolah Menengah Juyuan Kota Dujiangyan hancur rata dalam gempa bumi dahsyat yang terjadi pada tanggal 12 Mei. Pada saat gempa melanda sekolah, para guru segera bertindak untuk membuka jalur-jalur penyelamatan bagi para siswa dengan mengorbankan jiwanya sendiri.

Menurut kenangan kembali para guru dan siswa yang selamat, ketika gempa bumi terjadi, para siswa di 15 kelas sedang berkuliah. Setelah gempa menggoncang, 15 guru yang sedang memberikan pengajaran segera mengorganisasi siswa-siwa melarikan diri dari berbagai saluran. Berkat aksi cepat, kebanyakan siswa selamat dari bahaya. Wang Zuojun, salah seorang guru di Sekolah Juyuan mengenangkan kembali saat terjadinya gempa bumi. Ia mengatakan:

"Saat terjadi gempa, banyak guru terakhir keluar dari ruang kuliah setelah siswanya meloloskan diri."

Dengan lindungan para guru, anak-anak terlepas dari keadaan bahaya. Akan tetapi, lima guru yang membantu siswa melarikan diri mengorbankan jiwanya. Wang Zuojun mengatakan:  

"Guru yang terakhir melarikan diri mengorbankan jiwanya. Seorang guru lain tewas setelah meloncat ke bawah dari lantai dua karena terdesak waktu."

Pemandangan yang mengharukan terlihat di mana-mana. Pukul 10 tanggal 14 Mei, di Sekolah Dasar Nanba Kota Mianyang yang sudah runtuh rata dengan tanah, ketika sebuah penyangga atap gedung dari beton dipindahkan oleh prajurit Tentara Pembebasan Rakyat (TPR), para penolong semuanya terkejut dan terharu menyaksikan pemandangan di bawah reruntuhan: seorang guru wanita yang sudah tewas berdiarap di tanah, kepalanya menuju pintu, kedua tangannya masing-masing menggandeng tangan seorang anak, dan memperdekapkan pula tiga anak yang kecil di bawah dadanya.

Guru yang mengorbankan jiwanya itu bernama Du Zhengxiang, berusia 48 tahun, guru anak-anak usia prasekolah SD Nanba. Saat terjadinya gempa, ia sedang menuntun anak-anak untuk keluar dari gedung. Pada saat gedung bergoyah dan runtuh, Du Zhengxiang melindungi anak-anak dengan punggungnya dari pukulan penyangga gedung yang jatuh. Walaupun lima anak yang dijaganya dengan mengorban jiwanya sendiri akhirnya tidak selamat, namun upayanya itu mengharukan setiap orang di lokasi.

Di hadapan bencana yang dahsyat yang tak kenal belaskasihan, para guru merentangkan lenganya lebar-lebar untuk melindungi anak-anak. Sekolah Harapan Hanlong terletak di kaki sebuah gunung di Kota Beichuan, Kota Mianyang. Setelah gempa terjadi, 71 siswa yang selamat di sekolah itu tidak dipungut oleh orang tua atau anggota keluarganya. Sembilan guru di sekolah itu dengan susah payah membawa siswa-siwa itu ke suatu tempat yang aman setelah menempuh jalan berliku-liku naik turun gunung selama 6 jam.

Xiao Xiaochuan, seorang guru dari SD Harapan Hanlong Kota Beichuan mengatakan, di antara anak-anak itu, yang paling tua berusia 14 tahun, sedang yang paling muda hanya berusia 4 tahun. Walaupun mereka menghadapi kesulitan yang bertubi-tubi, namun para guru dengan tekad membawa anak-anak itu ke tempat aman biarpun merangkak dengan kedua tangannya.

"Kami menghadapi banyak kesulitan dan bahaya dalam perjalanan memindahkan para siswa ke tempat aman, misalnya tanah longsor dan anjloknya tajam permukaan jalan yang jeblok. Kadang-kadang, kami sama sekali tidak bisa berjalan, dan terpaksa merangkak."

Dari pukul 12 sampai 18 sore, setelah berjalan alot selama 6 jam, para guru dan anak akhirnya tiba di suatu tempat yang aman. Sekarang mereka sudah tiba di Kota Mianyang dan ditampung dengan sebaik-baiknya.