Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2008-11-10 14:12:08    
Wu Shuqing, Pengusaha Wanita di Balik Hidangan Lezat Maskapai Penerbangan Tiongkok.

Kantor Berita Xinhua

Sesaat setelah pesawat tinggal landas dan mencapai ketinggian tertentu, dan lampu sabuk pengaman dimatikan, pramugara dan pramugari akan mulai mendorong lori makanan minuman di sepanjang lorong pesawat untuk dihidangkan kepada para penumpang.

Dan di balik hidangan lezat yang disantap para penumpang maskapai penerbangan Tiongkok, ada seorang sosok pengusaha wanita sukses asal Hongkong, Wu Shuqing yang berhasil mendirikan sebuah perusahaan yang memasok makanan bagi maskapai penerbangan Tiongkok.

"Kira-kira kami bersebelas orang naik kereta api dari Hong Kong menuju Luohu pada tanggal 10 Desember 1978. Setibanya kami di Shenzhen kami lanjutkan perjalanan kami dengan naik kereta api ke Guangzhou, lalu meneruskannya dengan naik pesawat kecil ke Guiyang. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana perjalanan saya ke Daratan Tiongkok pertama kali," ujar Wu Shuqing sambil mengingat-ingat kenangan 30 tahun lalu yang masih sangat membekas di ingatannya.

Waktu itu, Wu Shuqing diundang oleh Kantor Berita Xinhua cabang Hong Kong untuk mengadakan kunjungan ke Daratan Tiongkok. Meskipun waktu itu sarana transportasi dan perhubungan masih sangat terbelakang, namun Wu Shuqing tetap tidak bisa menepis kegembiraan di hatinya. Ia merasa seakan-akan akhirnya ia kembali ke tanah airnya setelah bertahun-tahun hidup di luar negeri dengan penuh kesulitan sebagai seorang perantau Tionghoa.

Dalam 10 hari kunjungannya itu, Wu Shuqing telah berkelana ke hampir seluruh wilayah Tiongkok. Suatu kali, dalam perjalanannya yang hampir ditempuh semuanya dengan kereta api, sebuah siaran radio di kereta api memberikannya suatu inspirasi.

"Waktu itu, saya sedang naik kereta api dari Wuhan ke Guangzhou. Dalam perjalanan ke Guangzhou, saya mendengar pidato Deng Xiaoping melalui siaran radio bahwa negara kami telah membuka diri dan menyambut investasi asing," ujar Wu Shuqing.

Restoran Maxims yang dijalankan keluarga Wu Shuqing adalah restoran terkenal di Hong Kong yang menyajikan makanan khas barat. Usai mendengar pidato Deng Xiaoping melalui siaran radio tersebut, ide brilian dan logika menari-nari dengan harmonis di benaknya.

Wu Shuqing berpikir bahwa keterbukaan Tiongkok pasti menarik banyak perusahaan asing untuk menanam modal di Tiongkok. Dengan begitu, pesawat akan menjadi alat transportasi utama. Demikian logika Wu Shuqing.

Namun makanan yang ditawarkan maskapai penerbangan daratan Tiongkok biasanya tidak menarik dengan pilihan yang terbatas pula. Standar kualitas makanannya pun di bawah standar makanan maskapai penerbangan internasional. Dengan demikian, menurut ide brilian Wu Shuqing, prospek bisnis makanan di pesawat terbang pasti sangat menjanjikan.

"Sidang Paripurna ke-11 Partai Komunis Tiongkok saat itu mengeluarkan 14 kebijakan tentang menarik investasi asing. Maka ketika saya pulang ke Hong Kong, saya langsung berdiskusi dengan ayah saya tentang kemungkinan kami membuka bisnis makanan di Daratan Tiongkok," ujarnya semangat, sama semangatnya seperti waktu ia menceritakan idenya kepada ayahnya.

Ide Wu Shuqing tersebut langsung mendapat dukungan ayahnya. Dan kebetulan waktu itu, jalur penerbangan langsung antara Tiongkok dan Amerika Serikat segera akan dibuka. Dan tentunya, paket makanan pesawat terbang yang sesuai dengan standar internasional sangat dibutuhkan.

Pada bulan Juni 1979, Jawatan Umum Penerbangan Sipil Tiongkok yang berkantor di Kota Beijing mengundang Wu Shuqing dan ayahnya untuk mendiskusikan soal makanan pesawat terbang. Waktu itu diskusi tidak berlangsung lancar karena saat itu Tiongkok masih belum memegang kedaulatan wilayah Hong Kong, sehingga Wu Shuqing diperlakukan sebagai pengusaha asing. Selain itu, kendala bahasa juga menghambat kesepakatan dan pengertian di kedua belah pihak.

"Waktu itu kami tidak mengerti Bahasa Mandarin dan sedikit pun tidak mengerti aturan berbisnis di Daratan Tiongkok. Badan pemerintah Daratan Tiongkok pada waktu itu juga sangat mawas dalam diskusi, karena tidak ada pengalaman," cerita Wu Shuqing seraya mengatakan bahwa diskusi tersebut terus berlangsung dari musim panas hingga musim gugur.

Waktu itu, saat Tiongkok baru mulai terbuka terhadap dunia luar, belum ada satu pun perusahaan patungan yang didirikan. Prospek di masa depan yang sulit diprediksi membuat banyak pengusaha Hong Kong takut mengambil resiko dan khawatir bila modal yang mereka tanam akan diambil oleh pemerintah Tiongkok. Karena itu, banyak teman Wu Shuqing heran kenapa dirinya bersikeras ingin berinvestasi di Daratan Tiongkok. Namun Wu Shuqing memiliki pemikiran yang berbeda dengan rekan-rekannya.

"Pak Deng Xiaoping dengan tegas mengatakan bahwa Tiongkok akan membuka diri. Sebagai saudara setanah air di Hong Kong, kenapa kami tidak memberikan kontribusi bagi negara kami? Itulah yang menjadi tujuan saya melakukan investasi di Tiongkok," tutur Wu Shuqing nasionalis.