Penerapan Tarif Tambahan Berimbas pada Ekonomi AS Yang Terancam Depresi

2019-08-20 11:48:41  

Baru-baru ini di pasar obligasi AS muncul gejala kurva imbal hasil terbalik, di mana imbal hasil obligasi (IRR) pemerintah jangka 10 tahun malah lebih rendah dibanding yield obligasi jangka 2 tahun, yang menurut para investor sebagai tanda akan munculnya resesi ekonomi. Merspons kekhawatiran tersebut, para penasihat Gedung Putih hari Minggu lalu (18/8) dalam beberapa acara interview beramai-ramai menyatakan “belum melihat adanya indikasi resesi ekonomi”. Akan tetapi, data ekonomi terbaru dan himbauan masyarakat yang menentang tarif tambahan di dalam negeri AS sudah membuktikan, bahwa penerapan kebijakan tarif tambahan telah menghadapkan ekonomi AS pada risiko resesi yang semakin meningkat.

Biasanya imbal hasil obligasi atau IRR jangka panjang akan membawa hasil yang lebih banyak daripada obligasi jangka pendek. Apabila imbal hasil obligasi jangka panjang turun sampai di bawah obligasi jangka pendek, maka gejala itu disebut kurva imbal hasil terbalik atau Inverted Yield Curve, yang berarti bahwa ekonomi dalam waktu 12 bulan ke depan kemungkinan akan terjebak dalam kancah melesu. Dalam waktu 50 tahun yang lalu, gejala kurva imbal hasil terbalik tak pernah absen dari setiap kali depresi ekonomi yang dialami AS. Sejak memasuki tahun ini, kurva imbal hasil terbaik yang abnormal berkali-kali muncul, bahkan pada 14 Agustus, imbal hasil obligasi jangka 10 tahun AS lebih rendah daripada imbal obligasi jangka 2 tahun, yang merupakan pertama kalinya sejak tahun 2007, dan sangat dikhawatirkan para investor. Indeks harga tiga saham utama AS pada hari itu rata-rata anjlok sebesar 3 persen pada penutupan.

Dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal pertama mengalami peningkatan 3,1 persen, namun menurun hingga 2,1 persen pada kuartal kedua, dan 1,5 persen pada kuartal ketiga. Bank Sentral atau Fed AS memprediksi bahwa laju pertumbuhan PDB untuk tahun ini dan tahun depan masing-masing pada 2,1 persen dan 2 persen, jauh lebih rendah daripada 2,9 persen yang tercatat pada 2018.

Dilihat dari volume perdagangan, menurut statistik Departemen Perdagangan AS, pada paro pertama tahun ini, volume ekspor dan impor barang AS menurun 0,2 persen dibanding periode sama tahun lalu, dengan rincian ekspor menurun 1 persen, bahkan kontribusi ekspor bersih terhadap PDB mencatat -0,6 persen.

Dalam kondisi tersebut, jika AS menerapkan tarif tambahan terhadap 300 miliar dolar AS barang asal Tiongkok, hal itu pasti akan berimbas pada kenaikan harga komoditas utama AS, sehingga perusahaan terancam kerugian. Hampir semua ongkos kenaikan harga barang akan ditanggung oleh importir dan konsumen AS, sehingga akan meningkatkan lebih lanjut risiko terjadinya resesi pada ekonomi AS.

Dalam perang dagang tidak ada pemenang dan ini sudah terbukti berkali-kali dalam sejarah. Saat ini kepahitan akibat penerapan tarif tambahan oleh pemerintah AS semakin keras dirasakan berbagai kalangan dan sektor AS, sehingga suara yang menentang tarif tambahan semakin gencar. Belum lama lalu, CEO APPLE, Tim Cook memperingatkan bahwa penerapan tarif tambahan akan merugikan daya kompetitif perusahaan tersebut. Akan tetapi, data terbaru ekonomi dan himbau masyarakat yang menentang tarif tambahan masih terus diabaikan sejumlah politisi AS yang masih terus bersilat lidah atas kebijakannya. Sikap dan tingkah lakunya tersebut bisa saja diartikan sebagai tidak bertanggung jawab terhadap kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat AS.

赵颖