AS Salah Paham Diri Sendiri

2021-04-15 16:18:23  

Amerika Serikat (AS) hari ini sudah bukan AS yang berada pada masa puncaknya dengan membawa keunggulan kemenangan Perang Dingin. Baik kekuatan keras maupun lunak, AS sudah tidak sekuat masa lampau.

Kebajikan tidak sesuai dengan statusnya pasti akan mendatangkan kecelakaan. Menghadapi perubahan besar yang tiada taranya dalam seratus tahun ini, setiap negara khususnya negara besar hendaknya melihat jelas tren umum dan menemukan posisi dirinya sendiri, untuk   itu harus mengenal diri sendiri dulu. Baik harus mengetahui kemampuan diri sendiri juga harus menemukan kekurangan diri sendiri.

Akan tetapi, hal itu memang sulit bagi AS yang sudah terbiasa menambah berbagai “aura universal” dan “filter kecantikan” kepada diri sendiri.

“AS sudah kembali”?

“AS sudah kembali!” sering diujar Presiden AS Joe Biden.

“Kekuatan” adalah kata yang sering ada di bibir Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.

Informasi yang disampaikan oleh pemerintah baru AS kepada sekutunya dan yang disebut oleh Joe Biden sebagai “harta paling besar AS” itu adalah: mereka harus “berperang demi pandangan nilai bersama kita” bersama dengan AS, apa yang disebut sebagai “kembali” itu justru adalah AS memimpin dunia seperti masa dulu. Barangkali itulah “mimpi AS” bagi pemerintah AS. Akan tetapi, mimpin selalu sulit menjadi terkabul.

Direktur Strategi Besar dari Quincy Institute for Responsible Statecraft, Stephen Wertheim mengatakan kepada pemerintah AS, “tugas Joe Biden dan pemimpin baru bukan untuk memulihkan status AS sebagai pemimpin dunia, melainkan memimpin AS pada posisi baru di dunia.”

Ternyata, AS rupanya sulit mengelakkan masalahnya sendiri.

Pemerintah AS berbuat semau-maunya dalam menanggulangi wabah sehingga masalah itu tak terkontrol lagi dan mengakibatkan tragedi manusia. Demokrasi yang terusak mengakibatkan kekacauan politik dan meretakkan masyarakat AS. Etnis minoritas mengalami diskriminasi rasial sistemik. Jumlah kasus transaksi senjata dan peristiwa penembakan menciptakan rekor baru, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap tata tertib masyarakat. Kesenjangan kaya dan miskin semakin melebar, dan  massa kelas bawah hidup dengan sengsara.

Yang ironis adalah Departemen Luar Negeri AS tetap menerbitkan “Laporan HAM Berbagai Negara Tahun 2020” untuk menilai keadaan HAM di lebih dari 200 negara dan daerah tahun lalu, di antaranya, tentunya termasuk Tiongkok. AS memutarbalikkan fakta isu Xinjiang dengan mencela pemerintah Tiongkok melakukan “genosida” di Xinjiang.

Sebenarnya, gelar “genosida” hendaknya diberi kepada AS sendir, karena pemerintah AS benar pernah melakukan pembersihan dan pembantaian secara sistemik terhadap orang Indian.

Namun, permaian kata yang paling pintar tidak dapat menutupi keretakan AS. AS perlu melihat jelas situasi di dalam dan luar negerinya.

Perdamaian, pembangunan, keadilan, demokrasi, kebebasan, semua itu adalah nilai bersama segenap manusia, dan hak interpretasi akhir tidak dimiliki AS. Sistem internasional menjadikan PBB sebagai intinya, bukan AS. Tata tertib internasional berdasarkan hukum internasional yang tidak ditetapkan oleh AS saja.

Dengan mengenal hal itu, AS baru dapat menjadi AS yang lebih baik.

张京华