Kaum Muslim AS Terjebak di Tengah Kesulitan Diskriminasi Struktural

2021-07-22 11:49:04  

Sebagai bayangan kontra budaya Timur dan Barat, kebencian hingga penolakan masyarakat AS terhadap peradaban Islam sudah berlangsung lama. Komunitas kaum Muslim yang tinggal di Amerika Serikat (AS) selalu berjumlah kecil dan tingkat partisipasi politiknya rendah, ditambah dengan perbedaan besar tanah air, fraksi agama, kalangan dan kedudukan sosial, menyebabkan mereka berada dalam pinggiran sosial dalam jangka panjang. Nasib kaum Muslin di AS berubah besar akibat terjadinya peristiwa “9.11”. Sejak itulah, kaum Muslim didefinisikan tanpa pengecualian sebagai “musuh sebuah negara” oleh sejumlah politikus, media dan opini umum AS, dan mengaitkannya erat dengan topik-topik “keamanan nasional” dan “terorisme lokal”, oleh karena itu mereka pun menjadi salah satu sasaran utama kejahatan kebencian, diskriminasi dan penolakan di dalam negerinya. Seiring dengan “Negara Islam” yang melancarkan serangan teroris di seluruh dunia, tren pengecualian terhadap kaum Muslin di AS mulai bertumbuh, ditambahkan pula “perintah larangan terhadap Muslim” yang bersifat diskriminatif yang dikeluarkan mantan Presiden Trump telah mengakibatkan AS sebagai negara satu-satunya yang melarang pelancongan kaum Muslim di dunia, Trump sendiri pun kerap kali melontarkan perkataan yang menentang kaum Muslim di ajang publik, hal tersebut tidak hanya mengakibatkan kaum Muslim AS terisolasi, tapi juga memberi alasan kepada organisasi sayap kanan ekstrem dan kelompok kebencian anti Muslim, untuk mengintensifkan konflik etnis dan krisis identitas.

Setelah dilantik sebagai presiden, Joe Biden mencoba berupaya mengeluarkan sinyal positif yang menguntungkan kaum Muslim dari kebijakan imigrasi, kebijakan pengungsi, dan pengaturan jabatan publik, namun di bawah latar belakang krisis kesehatan yang dipicu oleh pandemi Covid-19 dan krisis sosial yang masih belum mereda, kaum Muslim AS yang dianggap sebagai penganut agama yang berpopulasi kecil dan lebih dari separo populasinya adalah kelompok migran multi-bangsa, keadaan kehidupan kaum Muslim AS cukup mengkhawatirkan.

Selain taraf kehidupan dan kesehatan yang selalu berada pada status rendah, kaum Muslim AS masih mengalami gangguan “kegelisahan Islam” struktural yang tersembunyi di tengah masyarakat AS. Sebagai rinciannya, diskriminasi yang dialami kaum Muslim di AS dapat dianalisa dari empat aspek sebagai berikut:

Pertama, ketidakadilan legislatif dan yudikatif mengakibatkan daerah abu-abu penjelasan hukum dan penegakan hukum. Meskipun kebebasan agama sudah tercatat dalam Amandemen Pertama Konstitusi, untuk menjamin pemerintah menjaga netralitas dalam berbagai agama dan secara penuh menjamin kebebasan beragama masyarakat, tapi kecuali perintah eksekutif No.13769 yang diumumkan mantan Presiden Donald Trump, “UU Patriot” dan “Rencana Pencegahan Aksi Kekerasan Ekstremisme” juga adalah contoh legislatif untuk menjaga kaum muslim yang diinstruksikan oleh pemerintah, landasan legalitas undang-undang tersebut adalah, kaum muslim diangkat sebagai “kaum berbahaya”, sehingga perlu dipantau, bahkan dibatasi gerakannya. Penelitian menyatakan, pihak kepolisian sengaja memperhatikan tersangka kaum muslim yang tidak melakukan kejahatan, bahkan mengadakan pemantauan, dan penegakan rahasia. Menurut survei sosial dari ISPU, dalam kejahatan yang sama, angka kemungkinan penjahat muslim mendapat gugatan dan sanksi hukum lebih serius mencapai 83%.

Kedua, prasangka media mengintensifkan marjinalisasi dan pemisahan kaum muslim di Amerika Serikat (AS). Kecenderungan anti-muslim media utama AS bahkan bisa kembali ke masa sebelum peristiwa “9.11”, stigmatisasi media terhadap muslim membuat kaum muslim menjadi salah satu kaum yang paling negatif. Dan dalam laporan yang menceritakan identitas muslim, sering dipakai kata-kata negatif seperti kekerasan, kemarahan, gila, tidak sopan, tidak rasional dan bahaya, serta mencampur argumen “agama muslim adalah agama kekerasan”, “Muslim berencana merugikan demokrasi AS dan kebudayaan barat”.

Ketiga, tingkat toleransi lingkungan opini publik menurun, organisasi ekstremis berkembang. Muslim AS terus menderita kebencian dan diskriminasi masyarakat. Menurut statistik kejahatan kebencian 2019 FBI, muslim merupakan tujuan terbesar kedua insiden kebencian agama, kelompok kebencian muslim menyebarkannya lewat media sosial. Organisasi anti-muslim terbesar AS “Bergerak untuk AS” berusaha mendorong fobia muslim AS berkembang ke arah industri, investasi proyek tersebut mencapai 42,6 juta Dolar AS dalam 10 tahun ini, memberikan pemikiran bahwa “muslim adalah musuh negara” kepada masyarakat AS melalui blogger, pakar, pemimpin agama, kelompok masyarakat dan politikus, yang pada akhirnya memperdalam kebencian dan diskriminasi masyarakat terhadap muslim.

Keempat, penempatan pengungsi Muslim yang dihalangi  memanifestasikan standar ganda AS. Walaupun AS selalu menilai dirinya sebagai “mercusuar HAM”, mengumumkan bahwa mereka memberikan keinklusifan dan perlindungan yang setara kepada berbagai keturunan, etnis, agama dan kelompok terpencil, tapi pemerintah Trump yang mengambil kebijakan American First mengalihkan permusuhan dan penyerangan kepada Muslim. Di satu sisi, berkali-kali mengejek Agama Islam, menjadikan Agama Islam sebagai agama paling ekstrem di dunia atau “tumor ganas”. Di sisi lain, tidak menghiraukan janjinya kepada HAM Internasional, dan menurunkan jumlah pengungsi yang ditempatkannya menurut rencana secara tajam. Menurut data statistik, pada tahun 2016, AS membantu 12.600 pengungsi Suriah ke AS, tapi pada tahun 2018, angka ini menjadi 62 orang. Antara tahun 2016-2019, jumlah total penempatan pengungsi ke AS menurun 82 persen, jumlah Muslim dari negara terkait menurun 90,6 persen. Jumlah pengungsi dari Iran, Irak dan Suriah masing-masing menurun 96 persen, 95 persen dan 85 persen.

Sejak tahun 2016, Muslim di AS terus mengalami penghinaan dan serangan kekerasan dari Nazi Baru dan Partai 3K. Walau Joe Biden mengambil berbagai tindakan untuk meredakan hubungan tegang dengan Muslim, yang lebih merumitkan ialah, AS adalah penerima keuntungan yang berpotensial dari Penyakit Ketakutan Islam, jika tidak ada musuh lain atau asing yang cocok, kedua partai yang mengadu domba kekurangan kambing hitam terkait masalah dalam negeri dan taktik menekan lawannya, juga tidak dapat menutup kenyataan mengapa wilayah AS mengalami serangan teror. Justru karena adanya intervensi politik dan agresi militer yang dilakukan negara-negara barat yang dikepalai AS, maka kontradiksi tajam dan terorisme terjangkit di sejumlah negara Islam. Yang kedua, hakikat memusuhi Muslim adalah rasisme yang kukuh dalam hukum, dialog politik dan kehidupan penduduk AS. Terdampak oleh resesi ekonomi, keadaan kehilangan fungsi sistem pembagian dan wabah virus Corona, baik unjuk rasa “Black lives matter” yang menggemparkan seluruh AS, maupun aksi membenci keturunan Asia yang semakin meningkat, semuanya memperlihatkan sebuah fakta, yaitu rasisme termasuk memusuhi Muslim mempunyai sifat sistemik, konsisten dan perusak. Jika AS tidak berniat introspeksi dan meredakannya dari akar, maka tiada etnis minoritas yang akan terhindar dari pengaruhnya, malah pada akhirnya orang kulit putih yang dalam status dominan juga akan ikut terdampak seperti senjata makan tuan.

赵颖