Masjid Kunqa dari Putih Telur

CRI 2011-09-20 11:35:20

Jenggotnya yang panjang dan lebat menggantung di dagu. Namun senyum Ismayil Abdola, 57 tahun, tak tertutupi. Tingginya hanya sekitar 165 meter, namun badannya tegap. Jamaknya, orang etnis Uygur bertubuh kecil tapi terlihat gagah. Dia mengenakan semacam baju gamis panjang warna hitam dan kopiah dengan empat sudut dan lancip di tengah-tengahnya.

Dia menyambut kami seperti sudah menunggu tamu lama yang tak datang-datang. "Wa'alaikum salam warrahmatulah," katanya, saat menjawab salam, ketika kami temui Senin (19 September 2001),

Ismayil adalah imam Masjid Kuqa Qong Hanka, yang terletak di salah satu sudut Kota Kuqa di Provinsi Xinjiang, Cina bagian barat. Setelah memberi salam dengan hangat, dia langsung mengajak masuk melewati pintu gerbang besar persis di samping masjid, yang di tengahnya mempunyai pintu kecil. Melalui pintu kecil itulah kami masuk.

Ternyata di dalamnya terdapat tempat terbuka. Gerbang utama di depan masjid ternyata semacam gapura. Gerbang itu mempunyai pintu setinggi 5 meter dan lebar sekitar 2,5 meter. Ada dua menara mengapit di samping kiri-kanannya dan di tengah terdapat kubah dengan tinggi 18,5 meter. Tepat di bawah kubah ini, muazin mengumandangkan azan. Tanda waktu salat telah tiba. Ismayil mempraktekkannya, dan suaranya jadi lebih nyaring dan bergaung. "Di sinilah muazin melakukan azan, mengajak orang untuk salat," katanya.

Gerbang Masjid Kuqa ini dibangun dari batu bata yang warnanya kecoklatan. Lebih tebal dari rata-rata batu bata yang dibuat di berbagai wilayah Indonesia. "Ya… bangunan ini terdiri dari batu bata dan kayu," ujar Ismayil.

Salah satu keistimewaannya, Ismayil melanjutkan, adalah bahan bangunannya. Karena belum ada semen pada waktu pembangunan masjid ini di tahun 1559, maka pengganti untuk merekatkan batu sama lain digunakan putih telur sebagai bagian dari adonan batu bata dan perekatnya. Menurut Ismayil, konon kabarnya masjid ini menghabiskan 4,8 juta butir telur.

Seiring perjalanan waktu, masjid ini pernah mengalami musibah besar. Bangunan utama masjid terbakar pada tahun 1927. Setahun kemudian masjid abad 14 ini dibangun lagi. Kalau gerbang dan menaranya didominasi oleh batu bata, maka bangunan utama masjid di dalamnya banyak menggunakan kayu. "Dari kayu poplar," kata Ismayil.

Ada 88 tiang penyangga bangunan masjid ini. Ukurannya satu pelukan orang dewasa. Tingginya sekitar 4 meter. Warna tiang merah bata, namun di dalam masjid memang didominasi warna merah. Sedangkan dinding di depan masjid bercat biru. Ada tempat khusus untuk menggantung beberapa kopiah. Bentuknya mirip sorban yang dipakai Pangeran Diponegoro, tapi di tengah-tengah lancip. Kopiah itu tergantung rapi berjajar di serambi masjid. Beberapa kopiah lainnya tergantung di tiang-tiang bagian tengah masjid.

Masjid ini mempunyai tiga bagian. Pertama ruang terbuka di dalam dan samping masjid, kemudian serambi masjid, dan ruang utama yang lebih kecil dari serambi dengan ukuran lebar 10 meter dan panjang 20 meter. Secara keseluruhan, masjid ini bisa menampung 15 ribu orang. "Namun kalau di dalam masjid, hanya 3.000 orang jama'ah saja," Ujar Ismayil.

Pada Bulan Ramadan, Masjid Kunqa seperti halnya masjid-masjid lain di dunia, selalu dipadati jama'ah. Ada sekitar 7 ribu-8 ribu umat muslim yang ada di Kunqa. Ismayil mengatakan, salat Tarawih dan salat witir di masjid ini ada 29 raka'at. "Selalu ramai kalau bulan Ramadan."

NUR HARYANTO

© China Radio International.CRI. All Rights Reserved.
16A Shijingshan Road, Beijing, China. 100040