Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2004-03-13 13:04:37    
Kisah tentang seorang pemuda penyandang cacat Tiongkok

cri


"Penderitaan yang saya alami bagaikan guru mengajar saya bagaimana mengatasi kesulitan dalam kehidupan dan juga mengajarkan bagaimana menghadapi kehidupan dengan optimistis, menghayati perbandingan itu membuat saya sadar betapa bahagianya kehidupan hari ini."

Di Norwegia seorang pemuda penyandang cacat Tiongkok bernama Wang Jiapeng dikenal secara luas. Wang Jiapeng yang menjadi lumpuh kedua badan bawahnya karena cedera dalam suatu kecelakan udara ketika ia berusia 12 tahun. Lima tahun setelah itu, ia diterima masuk menjadi mahasiswa oleh Institut Persatuan Dunia Norwegia yang berlokasi di pantai barat Norwegia. Semasa di Norwegia, ia pernah diundang khusus untuk menghadiri upacara pemberian Hadiah Perdamaian Nobel dan beberapa kali diterima oleh Permaisuri Norwegia. Kini Wang Jiapeng yang sudah berusia 23 tahun itu masih mengikuti kuliah pasca sarjana di institut tersebut. Pakar kedokteran menganggap bahwa Wang Jiapeng telah menciptakan 2 rekor: pertama, rehabilitasi fisik, dan kedua, rehabilitasi kehidupan spiritual. Saudara pendengar, dalam acara kali ini, akan kami ceritakan kisah tentang Wang Jiapeng penyandang cacat Tiongkok.

Pada suatu sore tanggal 23 Juli tahun 1993, Wang Jiapeng dan ayahnya dengan pesawat terbang naik dari kota Yinchuan bagian barat Tiongkok menuju Dalian kota pantai Tiongkok timur laut. Tapi baru 10 detik setelah lepas landas pesawat terbang itu mengalami kecelakaan jatuh ke dalam suatu danau dengan badan terpotong menjadi 3 bagian.

Dalam kecelakaan udara itu, ayahnya patah ruas tulang punggungnya dan Wang Jiapeng patah ruas tulang pinggangnya dan sebagai akibatnya ia menjadi lumpuh kedua anggota badan bawahnya. Kejadian tersebut sampai sekarang masih terbayang jelas-jemelas di hadapan mata Wang Jiapeng. Ia mengatakan: " Ketika pesawat terbang tenggelam dalam air, saya hampir mati lemas. Tiba-tiba dalam hati saya timbul perasaan yakin, saya pasti akan keluar, kalau tidak bisa keluar, saya tidak dapat bertemu dengan mama".

Ibu Wang Jiapeng ketika itu yang tengah bertugas di daerah lain bergegas datang di tempat kejadian waktu Wang Jiapeng yang kecil sudah 48 jam menahan nyeri hebat.

Dalam kecelakaan udara itu, hanya 40 orang yang hidup dari 108 penumpang dan 5 orang awak pesawat. Wang Jiapeng adalah salah satu di antara mereka, tetapi cacat bandan yang parah itu bagi seorang anak remaja yang baru berusia 12 tahun, tak pelak adalah pukulan berat.

Wang Jiapeng bertutur terus, "setelah mengalami kecelakaan itu, saya merasa diri saya menjadi orang yang paling malang. Saya yang baru berumur 12 tahun, tidak dapat bersekolah, harus duduk di atas kursi roda dan keadaan itu mungkin akan saya derita sampai masa lanjut usia. Saya tidak dapat menerima kenyataan tersebut. Setiap kali saya keluar dengan duduk di atas kursi roda, melihat anak-anak seumur saya bersekolah berjalan kaki dengan normal, hati saya serasa tersayat sembilu."

Setelah kejadian itu, ibu Wang Jiapeng dengan keuletan yang menakjubkan menopang hidup keluarga yang mengalami krisis berat. Ia dengan sekuat tenaga merawat suaminya yang luka parah dan putranya yang cacat. Tetapi beban berat ganda fisik dan spiritual itu akhirnya menyebabkan ibu Wang Jiapeng jatuh sakit setelah 2 tahun Wang Jiapeng terluka. Jatuh sakitnya ibu telah membuat Wang Jiapeng yang terjerumus dalam keadaan putus asa itu tiba-tiba bertambah besar mendewasa. Keesokan hari setelah ibunya sakit, untuk pertama kali Wang Jiapeng berjalan dengan sepasang tongkat ketiak ke luar dari pintu pusat rehabilitasi untuk membeli sarapan untuk ibunya. Meskipun hanya 5 menit saja perjalanan bagi orang normal, tapi Wang Jiapeng yang berjalan dengan tongkat ketiak memerlukan 20 menit. Ketika ia berdiri di depan pintu kamar ibunya, itu sungguh sangat di luar dugaan ibu.

Sejak ibu jatuh sakit Wang Jiapeng lebih giat melakukan latihan rehabilitasi. Ia tidak lagi berkeberatan terhadap sorotan orang lain dan sadar benar bahwa kalau ia tidak bisa keluar dari pusat rehabilitasi, tak mungkin pula mandiri kelak hari.

Selain latihan rehabilisasi, Wang Jiapeng mulai menekuni pelajaran budaya dengan otodidak dengan sokongan ayah dan ibu. Wang Jiapeng yang sebelum itu hanya berpendidikan sekolah dasar telah menyelesaikan pelajaran bahasa Inggris tingkat perguruan tinggi dan lulus ujian masuk Institut Persatuan Dunia Norwegia dengan memperoleh beasiswa penuh untuk penyandang cacat.

Pada tahun 1997, Wang Jiapeng yang berusia 17 tahun dan berjalan dengan sepasang tongkat ketiak masuk ke Institut Persatuan Dunia Norwegia. Di sekolah itu terdapat siswa asal 86 negara, tetapi siswa penyandang cacat seperti Wang Jiapeng ini sangat jarang.

Wang Jiapeng mengatakan, " kembali duduk di sekolah sangat saya dambakan bahkan dalam impian. Sekarang saya masuk ke suatu institut internasional yang siswanya datang dari 80 lebih negara. Seketika itu, saya merasa adalah orang yang terbahagia dalam dunia ini."

Di Institut Persatuan Dunia Norwegia, Wang Jiapeng cepat mengatasi hambatan bahasa dan psikologis dengan lamgangnya yang rajin belajar dan rendah hati, bahkan menjadi kepala kecil dalam sekelompok anak remaja seumurnya.

Meninggalkan ibu, Wang Jiapeng tidak hanya belajar bisa mengurus hidupnya sendiri, tetapi juga belajar bisa menyopir, memanjat tebing, main ski dan menjadi pelatih sampan sekolah.

Selama beberapa tahun belajar di Institut Norwegia, semua kegiatan yang diikuti orang normal, Wang Jiapeng mengikutinya semua. Sekalipun beberapa kegiatan agak sulit bagi seorang penyandang cacat, tapi ia tetap mencoba melakukannya.

Pada hari raya tahun baru tahun 1999, Wang Jiapeng tidak menerima perlakuan khusus pihak sekolah terhadap penyandang cacat. Ia berniat mengikuti pelatihan main ski yang diorganisasi sekolah. Potensi yang diperlihatkannya dalam olahraga tersebut sangat diperhatikan pelatih tim ski negara Norwegia. Ia dipilih untuk mengikuti Pertandingan Ski Penyandang Cacat Dunia Ke-36 setelah melalui pemusatan pelatihan selama 2 pekan. Mengenangkan pertandingan itu, Wang Jiapeng mengatakan," Dalam lomba lomba itu khususnya pada 7 sampai 8 kilo meter, saya sudah kehabisan tenaga. Tetapi dalam hati saya timbul niat bertahan terus, harus bertahan sampai garis finis."

Dalam pertandingan tersebut, Wang Jiapeng memperoleh 2 medali emas dan pihak sekolah Norwegia mengadakan upacara pernyataan selamat untuknya.

Di Norwegia, Wang Jiapeng mendapat predikat " pahlawan Tiongkok". Permaisuri Norwegia Sonja memujinya sebagai " teladan yang patut dihormati". Melalui jerihpayah yang tak kendur-kendurnya akhirnya Wang Jiapeng pemuda yang pernah tertimpa penderitaan itu memperoleh bahagia. Ini justru seperti dikatakannya sendiri:

Ia mengatakan: "Penderitaan yang saya alami bagaikan guru mengajar saya bagaimana mengatasi kesulitan dalam kehidupan dan juga mengajarkan bagaimana menghadapi kehidupan dengan optimistis, menghayati perbandingan itu membuat saya sadar betapa bahagianya kehidupan hari ini."