TAIYUAN, 7 Nov. (Xinhua) ? Biasanya pemandangan luar biasa ini akan nampak sebulan sekali di masa silam. Penduduk dari desa-desa tetangga akan berbondong-bondong berjalan menuju ke biosko untuk melihat film hitam putih. Yang datang awal bisa duduk di bangku atau batu bata. Yang datang agak belakangan harus rela berdiri atau memanjat pohon.
Hari ini, pasar film yang terabaikan, terutama di daerah pedesaan Tiongkok yang sangat luas, menjadi ancaman bagi industri film yang bergelimang film-film populer dengan budget besar.
Kala tempat peristirahatan pantai Sanya yang terletak di pulau paling selatan propinsi Hainan mengadakan persiapan terakhir untuk Festival Film Jago Emas dan Seratus Bunga, para filmmaker Tiongkok di daerah-daerah yang masih terbelakang di Tiongkok tidak memiliki akses sama sekali untuk menonton film. Kata "film" bahkan hampir tidak masuk dalam perbendaharaan kata anak-anak desa yang pengertiannya akan kata tersebut hanya berasal dari ingatan kabur nenek-kakek dan orang tua mereka.
Di daerah-daerah pedesaan yang lebih baik keadaannya, di tingkat kabupaten dan kecamatan, misalnya, pengulangan film-film yang sudah kuno hanya menarik beberapa pengunjung, tetapi film-film top yang populer di kota harganya tidak terjangkau dan tidak bisa dimengerti oleh penduduk daerah pedesaan.
Di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai pun, penonton bioskop semakin berkurang karena mereka bisa membeli DVD dan VCD yang murah atau mendownload dari internet. Tiket bioskop rata-rata harganya 50 yuan (60 ribu rupiah) atau 100 yuan (atau 120 ribu rupiah).
Survey terakhir menunjukkan bahwa rata-rata orang Tiongkok menonton bioskop sekali dalam lima tahun. "Ini adalah masalah hidup atau mati bagi industri film Tiongkok," kata kritikus-kritikus film.
Kejayaan Masa Lalu
Li Yunshan, seroang pegawai bioskop di Fenyang, yang terletak di propinsi Shanxi di sebelah utara Tiongkok, masih mengingat dengan penuh sukacita penghargaan penduduk desa kepadanya di tahun 70-an.
"Kabar bahwa film akan diputar di desa itu akan membawa tawa dan kegembiraan yang meluap-luap. Bila satu desa memiliki seribu orang, lebih dari 800 dipastikan akan datang," kata Li, yang sekarang memiliki usaha proyeksi film. "Berhari-hari sebelum film dijadwalkan untuk diputar, penonton-peonton yang sudah tidak sabar menunggu akan datang kepada saya untuk memohon agar film segera diputar."
Bekas proyektor film itu biasanya keliling dari desa ke desa. Ia selalu dijamu makanan yang terbaik di desa manapun yang ia kunjungi.
Huang Xuze berkata bahwa ia tidak pernah lupa film "Shaolin Temple" yang dirilis pada tahun 1982 karena film itu mengguncang seluruh desa di tepi gunung tempat ia berasal di bagian barat laut Daerah Otonomi Ningxia Hui.
"Setiap keluarga mempertengkarkan siapa yang akan tinggal di rumah. Kita tidak biasa mengunci rumah pada saat itu," katanya. "Anak-anak perempuan yang ditugasi untuk tinggal di rumah menangis sekeras-kerasnya. Auditorium desa sudah terlalu penuh dengan penonton tetapi penjual tiket tidak bisa berhenti menghentikan antrean panjang yang memaksa masuk."
Film lebih daripada sekedar suatu alat untuk menghibur orang-orang desa yang bergantung pada peredaran matahari untuk menentukan kapan waktu bangun dan kapan waktu tidur. "Film adalah suatu kegiatan sosial yang penting bagi para penduduk desa untuk menggosip, bagi para gadis untuk berkencan dengan taksiran mereka, dan bagi anak-anak untuk tidak tidur larut malam," kata Wang Jinmei, seorang penduduk desa dari desa Ya'ergou di kabupaten Yanchi propinsi Ningxia. "Setiap orang akan merasa lebih kuat dan lebih bersemangat di pagi hari."
Semenjak s tiga gulung film bisu digunakan untuk merekam seorang bintang Opera Peking melakonkan "Gunung Dingjun" di halaman sebuah toko fotografi di Beijing, sinema Tiongkok telah mengalami berbagai pasang surut.
Sinema Tiongkok meraih jaman keemasannya di tahun 1977, segera setelah Revolusi Budaya di tahun 1966 ? 1976, ketika penonton bioskop di seluruh negeri meraih rekor sebesar 29,3 milyar.
Film Tiongkok senantiasa menurun sejak saat itu. Tahun 2004 yang dipuji para konglomerat media sebagai "titik terang," penonton hanya mencapai 200 juta. Ini hanya sebuah kenaikan sebesar 0,06 persend dari jumlah yang dirahih pada tahun 1977.
Kehadiran Film Festival Jago Emas dan Seratus Bunga yang direncanakan pada tanggal 9 ? 12 November akan membawa suatu gaya seni dan budaya yang "berkualitas tinggi, elegan, dan adi-luhung," yang dihadiri oleh beberapa ratus bintang film dari dalam dan luar negeri. 21 film klasik asing juga akan dipertunjukkan.
Festival ini, yang akan memberi penghargaan Piala Jago Emas dan Seratus Bunga setiap dua tahun sekali kepada film-film dan seniman-seniman terbaik Tiongkok adalah even film paling bergengsi dan berpengaruh di Tiongkok.
Meskipun demikian, film festival ini juga memantulkan jurang perbedaan dalam budaya film Tiongkok. Karena diadakan di kota pasar film utama dan target penontonnya adalah kalangan kelas atas, festival ini seolah-olah diadakan untuk mereka yang mampu saja.
Jadi bagaimana dengan sembilan juta petani yang merupakan mayoritas mutlak populasi Tiongkok dan menjanjikan sebuah tambang emas bagi industri film?
"Kalau setiap petani membelanjakan 10 yuan (12 ribu rupiah) untuk menonton film sekali setiap tahun, jumlah yang diraih sudah 9 milyar yuan (11 triliun rupiah)" kata Han Sanping, Manajer Utama Grup Perusahaan Film Tiongkok.
Perusahaan Han memproduksi 40 film setiap tahunnya. Beberapa di antaranya ditargetkan untuk menghibur penonton di pedesaan.
Ironisnya, film-film yang didasarkan di kehidupan pedesaan dan kehidupan petani biasanya sukses. "Musim Semi yang Hangat" yang diproduksi oleh Studio Film Propinsi Shanxi, misalnya, telah menarik lebih dari 40 juta penonton di seluruh negeri dan telah meraih untung bersih 4 juta yuan, suatu keuntungan 200 persen.
"Akar film Tiongkok ada di pedesaan, yang memberi sumber-sumber bak suatu tambang emas," kata Han. Kita seharusnya mentarget penonton domestic dan membangun fondasi yang solid di tanah air sebelum kita berusaha sukses di pasar dunia.
Film Anak-anak: Tipe Harry Potter Digemari
Suatu pangsa demografis yang juga diabaikan oleh sinema mainstream Tiongkok adalah anak-anak. Inilah sebab mengapa melampaui semua film domestic, burung hantu pembawa berita, sapu terbang, dan mantel kasat mata dalam "Harry Potter" telah membuat takjub anak-anak Tiongkok seperti "Raja Monyet" telah membuat takjub orang tua mereka beberapa dekade yang lalu.
"Sukses Harry Potter telah membuat banyak filmmaker Tiongkok berpikir," kata Prof. Wang Quangen, spesialis literature anak-anak Perguruan Beijing. "Kita mesti belajar untuk mengaktifkan imajinasi anak-anak dan menyentuh mereka dengan tema ini."
Analis industri mengatakan bahwa biaya yang semakin naik, resiko tinggi, dan ketidakpastian prospek meraih box office telah menurunkan minat dan usaha filmmaker untuk memproduksi film anak-anak. "Di samping itu, banyak orang tua tidak percaya pada film-film domestic dan berpikir bahwa mereka hanya berisi kotbah-kotbah belaka," kata Liu Jun, seorang ilmuwan Akademi Film Beijing.
Sebagai ilmuwan film yang diakui, Liu sering diundang untuk memberi presentasi tentang film-film baru. "Kita hanya melihat satu atau dua film anak-anak dari 20 sampai 30 film baru. Inipun lagi-lagi film asing."
Bukannya Tiongkok tidak mampu memproduksi film anak-anak yang bagus, menurut Liu. "Lembah Misteri," misalnya, mirip sekali dengan "Home Alone" tetapi ditolak oleh banyak bioskop utama. Karena itu, film ini tidak menjanjikan penghasilan box office yang tinggi."
Orang dalam industri mengatakan bahwa pembuatan suatu film anak-anak memakan dana sekitar 2 sampai 3 juta yuan, sedangkan penghasilan box office hanya mencapai 300 ribu sampai 400 ribu yuan (360 juta rupiah sampai 480 juta rupiah).
Menurut Zhang Hongsen, wakil direktur Administrasi Film Negara, Pemerintah Tiongkok merencanakan untuk menghidupkan film anak-anak dengan memotivasi penulis naskah dan filmmaker papan atas untuk memproduksi film anak-anak, serta memberi penghargaan yang sepadan dengan kualitas dan penghasilan box office yang dicapai oleh film tersebut. Enditem.
|