Museum Nasional Tiongkok di Beijing baru-baru ini mengadakan Pameran Hasil Perlindungan Warisan Budaya Nonmaterial Tiongkok yang ramai dikunjungi wisatawan. Dengan benda-benda nyata sebanyak 2.000 potong dan 1.500 buah foto, pameran itu juga mengundang perhatian luas media setempat.
Di ruang pameran Museum Nasional Tiongkok, banyak penonton tertarik oleh sebuah mesin tenun ukuran besar gaya Yunjin. Mesin tenun itu panjangnya hampir 6 meter, lebarnya 1 meter, dan tingginya 4 meter. Mesin tenun tinggi besar itu berstruktur kayu dan tampak seperti sebuah gedung bertingkat dua. Mesin tenun itu dioperasikan oleh dua tukang, yang secara terpisah duduk di atas dan bawah untuk masing-masing menangani benang bujur dan benang lintang.
Mesin Tenun Yunjin itu khusus diangkut ke Beijing dari Kota Nanjing yang terkenal dengan produksi kain sutra gaya Yunjin. Menurut keterangan Kepala Institut Penelitian Kain Sutra Yunjin Nanjing, Wang Baolin, mesin tenun yunjin pada zaman kuno kebanyakan digunakan untuk menenun jubah naga yang khusus dipakai sang kaisar. Kain yunjin ditenun dengan bahan-bahan antara lain, bulu burung merak, benang sutra berwarna dan emas. Teknik tenunan kain yunjin rumit sekali, dan untuk kain seluas 40 sentimeter persegi, dua tukang akan memerlukan waktu satu hari suntuk. Dan dari situlah muncul pepatah yang berbunyi: sehelai kain yunjin sama harganya dengan sepotong emas. Menurut keterangan Wang, kain sutra yunjin yang rumit teknik tenunannya tak bisa dibuat dengan mesin modern. Dikatakannya: "Mesin tenun sekarang menerapkan cara silang siur benang bujur dan lintang, tapi tenunan kain sutra yunjin memerlukan cara yang sama sekali berlainan. Kain yunjin ibarat awan berwarna di langit. Untuk memanifestasikan warna-warni itu, harus diterapkan cara tradisional yang tak tergantikan oleh mesin modern. Misalnya, satu benang yang berwarna 50 macam, harus ditenun satu per satu."
Dikatakannya, oleh karena teknik tenunan yunjin itu membuat tukang merasa sangat cape lagi membosankan, maka pemuda zaman sekarang tidak ada yang mau mempelajarinya, sehingga teknik itu terancam punah. Tapi melalui upaya Institut Penelitian Kain Yunjin Nanjing, sekarang 60 orang sudah mahir menerapkan teknik tenun yunjin. Pihaknya akan melakukan kerja sama dengan sekolah lainnya untuk mewariskan teknik tradisional itu kepada lebih banyak orang, sementara mereka sedang berupaya memohon kepada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (Unesco) agar teknik tenun yunjin dicantumkan dalam daftar warisan budaya nonmaterial.
Di sisi lain Museum Nasional, beberapa gadis etnis Pumi bergandengan tangan sedang menyanyi dan menari dengan riang gembira.
Rakyat etnis Pumi hidup di Provinsi Yunnan, Tiongkok Barat Daya dan jumlahnya sekarang 30.000 jiwa. Lagu etnis Pumi hanya sedikit yang diwariskan, dan untuk melindunginya, Kementerian Kebudayaan Tiongkok khusus mengirim tim kerja ke Yunnan untuk melakukan perlindungan terhadap lagu-lagu setempat. Seorang gadis bernama Rongmi mengatakan: "Lagu yang kami nyanyikan tadi berjudul Balada Adik-adik. Lagu itu diajarkan kakek dan nenek kami. Kami rakyat etnis Pumi suka menyanyi, namun bukan semua gadis etnis Pumi pandai menyanyi. Kami yang datang ke sini diseleksi oleh Pak Chen, tugas kami ialah memeratakan lagu-lagu etnis Pumi kepada masyarakat supaya dapat diwariskan."
Pak Chen yang disebut Pumi tadi adalah penanggung jawab proyek perlindungan lagu etnis Pumi. Dikatakannya, tim warisan lagu etnis Pumi didirikan tiga tahun yang lalu, dan hasilnya cukup memuaskan.
Pameran yang diadakan di Museum Nasional kali ini adalah pameran warisan budaya nonmaterial pertama yang diadakan di Tiongkok. Selain mesin tenun yunjin dan lagu etnis Pumi, dipamerkan pula kitab daun etnis Dai, baju kulit ikan etnis Hezhe, gambar Tangka Tibet, serta opera Kunqu, biola kuno, tarian Mukam etnis Uigur Xinjiang serta balada nada panjang etnis Mongol yang sudah tercantum dalam daftar karya representatif warisan lisan dan nonmaterial Unesco. Mereka semuanya diseleksi dari 6.000 buah benda nyata yang diserahkan berbagai daerah. Setiap benda pameran dan setiap foto mewakili kebudayaan rakyat setempat, dan menunjukkan hasil bernas yang dicapai Tiongkok dalam melindungi warisan budaya nonmaterial.
Sejak tahun 1950-an, pemerintah Tiongkok melaksanakan banyak langkah yang efektif dalam melindungi warisan budaya nonmateral. Akan tetapi, sejalan dengan globalisasi ekonomi dan makain cepatnya langkah modernisasi, warisan budaya nonmaterial Tiongkok dihadapkan kepada tantangan berat dalam perlindungan dan perkembangannya, bahkan terancam punah. Sejak memasuki abad baru, pemerintah Tiongkok mengintensifkan penanaman dalam perlindungan dan penerusan warisan budaya nonmaterial, dengan aktif mendorong penyusunan undang-undang tentang perlindungan warisan budaya, dan memohon kepada Unesco agar warisan budaya nonmaterial Tiongkok dicantumkan dalam daftar karya representatif manusia non material dan warisan budaya lisan. Belum lama berselang, pemerintah Tiongkok mengambil keputusan untuk menetapkan Sabtu kedua Juni setiap tahun sebagai hari warisan budaya Tiongkok, demi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlindungan warisan budaya. Berkat langkah-langkah yang benar-benar dapat dilaksanakan itu, perlindungan warisan budaya nonmaterial di Tiongkok telah mencapai hasil yang memuaskan. Menteri Kebudayaan Tiongkok Zhou Heping juga memberi penilaian tinggi terhadap pameran kali ini.
|