|
Peringatan datangnya Laksamana Zheng He ke Pulau Jawa selalu dirayakan secara meriah oleh kalangan etnis Tionghoa Semarang. Di Semarang, Laksamana Zheng He dihormati sebagai Sam Poo Tay Djien. Meskipun Laksamana Zheng He sendiri adalah seorang Muslim, arwahnya dianggap sebagai seorang dewa sehingga dipuja di berbagai kelenteng di Semarang, terutama di Kelenteng Gedung Batu Semarang oleh kalangan pemeluk kepercayaan Kong Hu Cu. Setiap tahun, patung Sam Po Tay Djien diarak dari kelenteng ke kelenteng di Semarang dengan prosesi yang meriah.
Meskipun tradisi ini sempat berhenti dalam beberapa masa pada pemerintahan Orde Baru, tetapi perayaan Sam Po Tay Djien yang biasanya jatuh pada awal bulan Agustus ini kini diangkat oleh masyarakat dan Pemerintah Kotamadya Semarang sebagai salah satu daya tarik pariwisata dan bisnis.
Mengikuti sukses Pekan Raya Semarang yang diadakan bertepatan dengan perayaan 600 datangnya Laksamana Zheng He di Pulau Jawa, maka tahun ini Pekan Raya Semarang diadakan kembali. Pekan Raya ini diikuti oleh 400 stan dari berbagai kalangan industri dan bisnis di seluruh Jawa Tengah. Bahkan, stan-stan dari Tiongkok dan Iran juga memamerkan barang-barang kerajinan mereka untuk dijual. Selain itu empat kelompok kesenian dari Tiongkok juga diundang untuk meramaikan acara ini.
Di kawasan pecinan sendiri, perayaan Sam Poo, begitu perayaan ini dikenal oleh orang Semarang, dimeriahkan dengan kehadiran Warung Semawis dan Pasar Semawis. Pasar Semawis adalah tradisi kuno pecinan Semarang, yang membuka pasar tradisional sampai larut malam untuk memenuhi kebutuhan warga etnis Tionghoa berbelanja sebelum malam Tahun Baru Imlek. Tradisi yang sempat terhenti karena iklim yang kurang sejuk pada masa Orde Baru itu kini dihidupkan kembali oleh Kopi Semawis, Komunitas Semarang untuk Pariwisata.
Robert Budi Wibawa, salah seorang anggota Kopi Semawis yang bertugas mengelola Warung Semawis mengatakan bahwa setelah sukses Pasar Semawis setiap menjelang Tahun Baru Imlek, Kopi Semawis mulai menggarap Pasar Semawis. Di Pasar Semawis, tersedia berbagai macam jajan khas pecinan Semarang yang merupakan makanan-makanan etnis Tionghoa yang dibawa dari Tiongkok ketika mereka berimigrasi di Tionghoa. Di antara makanan-makanan tersebut adalah cakue, atau yang dikenal dengan you tiao, dan makanan-makanan lain seperti siomay atau shao mai, serta lumpia atau chun juan. Bahkan, Semarang dikenal dengan sebutan Kota Lumpia karena makanan etnis Tionghoa ini menjadi amat sangat populer.
Selain makanan-makanan khas etnis Tionghoa, juga dijual makanan-makanan khas Jawa, seperti soto, gudeg, dan lain-lain. Bahkan, menurut Robert Budi Wibawa, justru makanan-makanan khas Jawa inilah yang laku keras di Pasar Semawis.
Untuk mewujudkan Pasar Semawis ini, Jalan Gang Warung di kawasan Pecinan Semarang pada hari Jumat dan Sabtu malam ditutup untuk kendaraan. Jalan ini kemudian dipadati oleh stan-stan makanan yang bisa sampai berjumlah 75 stan. Robert Budi Wibawa yang mengelola Pasar Semawis mengatakan bahwa setiap stan membayar sewa sebesar 16 ribu rupiah sampai 40 ribu rupiah semalam. Robert Budi Wibawa sendiri, yang dibesarkan di kawasan Pecinan Semarang, membuka stan teh untuk kesehatan. Karena tumbuh di keluarga penjual obat-obatan Tionghoa, ia banyak belajar tentang tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat. Karena itu ia memadukannya menjadi minuman teh yang bisa melangsingakan tubuh atau menurukan kolesterol.
Mengenai tanggapan Pemerintah tentang Warung Semawis sendiri, Menurut Robert Budi Wibawa, Pemerintah Kotamadya Semarang sangat antusias dalam mendukung kegiatan ini. Pemerintah bahkan menyumbangkan dana ratusan juta rupiah untuk membangun kembali gapura di depan kawasan ini serta memperbaiki jalan yang digunakan untuk aktivitas Warung Semawis.
|