Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2006-11-03 08:43:11    
Hari Raya Chongyang

cri

Tanggal 30 Oktober tahun ini adalah hari raya Chongyang atau Hari Sembilan Ganda karena jatuh pada tanggal 9 bulan 9 penanggalan Imlek. Hari raya Chongyang juga dirayakan di Tiongkok sekarang sebagai Hari Orang Lanjut Usia. Berikut kami perkenalkan asal usul dan adat istiadat tentang Hari Chongyang.

Menyinggung Hari Chongyang atau Hari Sembilan Ganda, Anda pasti bertanya tentang apa artinya Chongyang. Dalam bahasa Tionghoa, kata Chong artinya ganda, sedang kata Yang berarti positif, yang bisa juga merupakan sebutan khusus angka 9. Karena pada tanggal 9 bulan 9 Imlek tersirat dua angka 9, maka hari itu disebut sebagai hari Chongyang, yakni hari "sembilan ganda."

Filsafat zaman kuno Tiongkok berpendapat, dunia ini terdiri dari dua bagian, yaitu Yin (Negatif) dan Yang (Positif). Pada mulanya, kata Yang berarti bagian depan matahari, sedang kata Yin berarti bagian belakang matahari. Kemudian kedua kata Yin dan Yang itu lebih banyak dikonotasikan sebagai wakil dua kekuatan yang saling berlawanan tapi saling melengkapi. Misalnya, Yin mewakili hal-hal negatif, pasif, dan gelap serta wanita dan malam; sedang kata Yang mewakili hal-hal positif, terang serta laki-laki dan siang hari. Untuk hitungan angka, nenek moyang Tiongkok menyebut angka ganjil sebagai bilangan Yang, dan bilangan genap sebagai angka Yin. Angka 9 adalah bilangan ganjil yang paling besar. Dalam bahasa Tionghoa, kata dua angka 9 lafalnya sama dengan "jiujiu", yang artinya panjang, lama, atau untuk selama-lamanya, maka ganda 9 lama-kelamaan berarti "panjang usia." Oleh karenanya Hari Chongyang pun dirayakan sebagai salah satu hari raya yang paling digemari rakyat Tiongkok pada musim rontok.

Menurut catatan kitab sejarah, Hari Chongyang paling awal dirayakan pada masa 2.500 tahun yang lalu, yaitu masa akhir Sebelum Masehi dan masa awal Masehi. Sama dengan kebanyakan hari raya tradisional, tentang asal usulnya, Hari Chongyang juga mempunyai dongengnya sendiri.

Konon menurut legenda, iblis atau setan wabah menginjakkan kakinya ke kalangan rakyat pada setiap tanggal 9 bulan 9 Imlek. Katanya, ke manapun setan itu pergi, penyakit tersebar ke mana-mana, sehingga setiap hari ada orang yang jatuh sakit bahkan meninggal dunia. Konon ada seorang pemuda bernama Heng Jing. Ayah dan ibunya meninggal dunia karena merajalelanya epidemi, tapi ia terselamat. Setelah sembuh, Heng Jing bertekad membasmi setan wabah. Ia pun berkunjung ke mana-mana untuk mencari guru dan master yang bisa mengajarinya ilmu gaib. Pada akhirnya Heng Jing terdengar bahwa di bagian timur terdapat sebuah gunung yang paling kuno. Di atas gunung itu hidup seorang dewa yang memiliki kesaktian. Lantas Heng Jing melangkah maju terus ke timur, dan dengan seekor bangau sakti, ia akhirnya tiba di gunung itu dan menghadap ke dewa sakti. Sang dewa terharu oleh semangatnya yang maju terus pantang mundur sehingga menerimanya sebagai pelajar dan mengajarinya silat pedang pemberantas setan. Dengan pedang yang dianugerahkan oleh sang guru, Heng Jing tiap hari rajin berlatih dan akhirnya tergembleng menjadi seorang pesilat yang luar biasa.

Suatu hari sang dewa memanggil Heng Jing dan berkata: "Besok adalah tanggal 9 bulan 9. Si setan wabah pasti muncul lagi. Kau sudah menguasai silat, dan seharusnya berbakti untuk rakyat." Menjelang keberangkatan, sang dewa memberikan Heng Jing sebungkus daun bunga Zhuyu, secangkir arak bunga serunai dan cara penangkal malapetaka. Setelah itu, Heng Jing berangkat ke kampung halaman dengan menunggang seekor bangau.

Setibanya di kampung halaman pada pagi tanggal 9 bulan 9, Heng Jing bertindak seperti apa yang dipesan oleh sang dewa untuk memimpin penduduk bersembunyi ke sebuah gunung. Ia lantas memberikan sebuah daun bunga Zhuyu dan secangkir arak bunga serunai kepada setiap orang. Kira-kira pada siang hari, setan wabah muncul seiring dengan teriakannya yang aneh dan jelek. Setan wabah segera mencari-cari korban. Begitu ia tiba di kaki gunung, setan wabah tiba-tiba mencium bau dari daun-daun bunga Zhuyu dan arak bunga serunai. Si setan wabah langsung menghentikan langkahnya, dan tampak agak ketakutan. Pada saat itu, Heng Jing yang memegang pedang sakti lari dari atas gunung mengejarnya. Dengan beberapa putaran ia berhasil membunuh si setan wabah.

Sejak itulah di Tiongkok terpelihara adat istiadat merayakan hari Chongyang pada tanggal 9 bulan 9 dengan mendaki gunung untuk menangkal malapetaka. Sekarang pada Hari Chongyang, seluruh orang Tionghoa beradat berkumpul sekeluarga untuk bertamasya, khususnya mendaki gunung serta memelihara bunga serunai, mendekorasi lingkungan dengan daun bunga Zhuyu, makan Kue Chongyang, dan minum arak krisan.

Makan Kue Chongyang di Tiongkok juga memiliki arti tersendiri. Dalam bahasa Tionghoa, kue berlafal sama dengan kata "tinggi", maka makan kue itu mengandung arti mendaki gunung yang tinggi. Biasanya Kue Chongyang harus berlapis 9, dan harus pula dihidangkan bagi orang tua, dengan ucapan yang mengharapkan agar mereka berusia panjang.

Hari Chongyang Tiongkok dirayakan pada musim gugur, dengan cuaca yang sejuk. Musim rontok adalah musim di mana bunga serunai bermekaran. Sejak dahulu kala, sajak-sajak yang menyenandungkan Hari Chongyang berjumlah tak terbilang banyaknya. Tidak sedikit di antaranya dibacakan pada hari raya ini.

Oleh karena Hari Chongyang mengandung makna panjang umur, maka pada tahun 1989 pemerintah Tiongkok menjadikannya sebagai Hari Orang Lanjut Usia Tiongkok. Pada awal tahun ini, Hari Chongyang tercantum dalam daftar warisan budaya non-material tingkat nasional Tiongkok.