|
Kiara: Hallo Saudara Pendengar, bagaimana kabar Anda di tahun baru ini? Kali ini Anda akan ditemani Grace dan Kiara menemui pakar marketing Indonesia yang namanya sudah mendunia. Siapa dia?
Grace: Anda tentu pernah mendengar nama Hermawan Kertajaya. Buku-bukunya bisa Anda temui di toko-toko buku, misalnya Marketing in Venus, From Buble to Sustainable Economy,
Kiara: Mungkin banyak yang berpikir, posisi marketer itu posisi yang amat mengejar keuntungan materi, sedangkan posisi guru itu adalah seorang yang jauh dari keuntungan materi. Padahal, Pak Hermawan Kertajaya ini pernah menjadi guru fisika selama 20 tahun di SMA St. Louis Surabaya.
Grace: Iya nih, saya yang alumni SMA St. Louis Surabaya jadi penasaran, kenapa kok Pak Hermawan bisa tiba-tiba jadi ahli pemasaran, padahal dulunya guru fisika.
Dulu waktu di Surabaya, papa saya ngasih nama Chen Jiuxue (???)?jiuxue artinya "belajar terus." Papa saya bilang, kamu harus jadi kayak Confusius. Karena itu dua minggu yang lalu saya sempat ke Qufu, saya liat Confusius Mansion, Confusius Tomb, keluarga Confusius, karena Papa saya ingatkan saya, kamu mesti jadi guru kayak Confusius. Buat saya Confusius adalah great teacher. Karena itu saya dulu ndak punya duit, ketika saya lulus umur 17 tahun saya mulai ngajar. Ngajar itu salah kok, salah masuk ndak punya ijazah juga. Kebablasen 20 tahun jadi guru. Nah akhirnya setelah 15 tahun jadi guru, pemerintah Republik Indonesia itu tahu kalau saya ndak punya ijazah guru. Akhirnya disuruh ngambil S1 apapun. Aku ngambil S1 Ekonomi di Universitas Surabaya, walaupun nggak pernah masuk. Tapi ya lulus. Dulunya pernah sekolah ITS tapi drop out gitu yah. S2 saya cuman dari distant learning. Jadi saya ini gagal sekolah, cuman karena saya nekat, tahun 98 ketemu Philip Kotler di Moskow, saya tawarkan model saya, dia senang lalu ngajak saya nulis buku pertama kali. Jadi dialah yang sebenarnya mengangkat saya ke pentas dunia. Kita sudah menulis 5 buku. Saya menulis buku terbanyak bersama dia.
Kiara: Lalu, marketing sendiri belajar dari mana?
Jadi sebenarnya saya marketing itu belajar sendiri. Ketemu Kotler, yang duduk di sebelah sana itu, sebentar lagi ditunggu makan, sekarang saya yang supply ide-ide sama dia. Jadi kok saya bisa pindah ke marketing, sebenarnya jiwanya tetap guru, sekarang saya consultant, saya punya riset Mark Plus, riset consultant sama education, tapi tetap saja guru. Consultant kan ngasih advis orang. Sama jiwanya begitu. Mengenai pindah dari Matematika ke Marketing itu urusan kedua yang penting sama-sama ngajar.
Grace: Lalu, bagaimana sih awal Bapak memulai terjun ke dunia marketing? Perusahaan apa yang mula-mula Bapak bantu?
Dulu perusahaan pertama yang kita bantu sebetulnya bukan perusahaan marketing, melainkan apapun. Karena dulu jaman nggak laku, jadi apapun, mulai dari Bogasari Flour Mills Surabaya. Lalu saya dibawa ke Bogasari Flour Mills Jakarta, waktu itu belum marketing, masih human resources dan sebagainya. Tapi sesudah itu pelan-pelan mulai tajam. Waktu pertama kan kerjaan apapun, maunya dari marketing, tapi di tahun 89 nggak ada yang ngerti marketing gimana? Ya udah apapun dikerjain saja. Tapi 5 tahun pertama saya kan di Surabaya, 89-94 Surabaya, 94-99 Jakarta, 94-2004 Indonesia 5 kota, Jakarta Medan, Bandung, Semarang, Surabaya. Sekarang kita pada Pelita ke 4 2004-2009 kita harus jadi Marketing Leader di Southeast Asian. Baru 2009 nanti ke Asia, tujuannya ke sini (China). Jadi masa perusahaan Indonesia nggak bisa? Buktinya saya masuk satu di antara 50 guru Marketing dunia kan? Versi Chartered Institute of Marketing United Kingdom. Hanya ada dua orang Asia. Jadi yang penting kan bonek kayak orang Surabaya, mesti bondo nekat. Tapi kedua nggak boleh bonek tok, harus ada isinya.
Kiara: Banyak orang yang mengira, marketing itu mahal. Bener nggak sih, Pak?
Salah loh. Marketing itu memang branding. Cuman branding nggak selalu iklan kok. Saya memarketingkan diri saya nggak pake iklan kan? Tapi dengan nulis buku sama Beliau (Philip Kotler), nulis di koran, berbuat sesuatu sampai orang tertarik menulis tentang kita. Marketing itu sekarang sudah berubah dari marketing vertikal menjadi horisontal marketing. Jadi kalau kita bom masyarakat dengan advertising, duitnya abis, dan akhirnya imagenya belum tentu jadi. Karena mereka belum tentu percaya. Tapi kalau horisontal marketing, itu kita men-trigger orang-orang supaya bicara tentang kita. Itu yang bagus. Cuman orang malas kan creative marketing kayak gitu. Jadi asal hantam aja. Bom bom bom, vertikal. Keliru!
Grace: Bapak juga menulis buku Rethinking Asia: From Bubble to Sustainable Economy. Menurut Bapak, bagaimana sih suatu perusahaan itu bisa sustainable, atau berkelanjutan?
Sekarang kalau ngga sustainable ya mati. Saya ndak tahu perusahaan2 di sini buble atau nggak sebetulnya. Saya juga takut beberapa perusahaan yang keliatan gede, seperti bank dan sebagainya sebetulnya diam-diam juga banyak?..cuman dilindungi terus ama pemerintah. Saya ndak tahu apakah betul-betul buble. Tapi perasaan saya, beberapa perusahaan buble. Tahun 98 dulu , kenapa Asia langsung flop tidak termasuk China, itu karena memang buble. Keliatan indah dari luar, tapi dalemnya kredit semua, habis itu propertinya nggak bisa dijual.
Kiara: O begitu ya Pak, jadi sebagai perusahaan, kita harus selalu memikirkan bagaimana melayani pembeli, bahkan sampai setelah pembeli itu membeli barang kita, sehingga ia terus akan membeli di tempat kita.
Grace: Betul sekali, para pendengar. Nah, tentunya, masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan bagi Pak Hermawan. Tapi kita berpisah dulu di sini. Minggu depan akan kita bahas bagaimana cara marketing perusahaan-perusahaan Tiongkok, dan apakah perusahaan Indonesia punya peluang bisnis di Tiongkok.
Kiara: Terima kasih atas perhatian Anda. Grace dan Kiara mohon pamit, tetaplah bersama CRI siaran Bahasa Indonesia.
|