|
Saudara Pendengar, bulan Juli tahun 1997, krisis moneter secara mendadak pertama-tama meletus di Thailand, kemudian dengan cepat mempengaruhi sejumlah besar negara dan daerah di Asia. Menjelang genap 10 tahun krisis moneter, pelajaran apa yang harus ditarik dari krisis moneter itu? Sehubungan dengan itu, wartawan CRI sempat mewawancarai ekonom Universitas Chulalongkorn, Sompop Manarungsan dan mantan Ketua Asosiasi Wartawan Ekonomi Thialand, Chavewan Kiatchokechaikul. Berikut laporannya.
Ketika menyimpulkan sebab terjadinya krisis moneter di Thailand 10 tahun lalu, Sompop menganggap keterbukaan sektor keuangan yang berlebihan adalah salah satu sebab utamanya. Dikatakannya,
"Menurut saya, ada beberapa sebab, pertama adalah kesalahan dalam pengelolaan ekonomi makro negara. Misalnya, kesalahan kebijakan moneter, termasuk keterbukaan yang berlebihan di bidang moneter, pelaksanaan liberalisasi rekening kapital (BIBF), sehingga lalu lintas dana terlalu bebas. Tapi bersamaan dengan itu, telah dilaksanakan sistem kurs tetap yang tidak sesuai dengan kebijakan moneter bebas."
Sompop menganggap, meminjam uang dalam jumlah besar dari luar negeri, khususnya terlalu banyak meminjam kredit jangka pendek adalah sebab utama kedua terjadinya krisis moneter. Dikatakannya, jumlah kredik jangka pendek Thailandi 10 tahun lalu pernah mencapai 120 miliar dolar Amerika, merupakan 3 sampai 4 kali lipat cadangan devisa negara sebesar 39 miliar dolar Amerika pada waktu itu. Dalam sistem moneter liberal, warga Thailand beramai-ramai meminjam sejumlah besar uang dari luar negeri, lalu meminjamkannya di dalam negeri untuk memperoleh keuntungan atau menggunakan kredit itu untuk investasi berlebihan yang tidak bijaksana, dan sejumlah besar dana mengalir ke pasar properti dan pasar saham yang sudah lama berbuih.
Selain itu, Sompop berpendapat, terus membengkaknya defisit neraca berjalan dan ketidakstabilan politik juga sebab yang memicu krisis 10 tahun lalu.
Krisis moneter 1997 segera membuyarkan impian Thailand yang ingin menjadi "macan ke-5" ekonomi Asia. Ekonom Chavewan mengatakan, Thailand pernah terjerumus dalam keadaan "shock". Sejumlah besar dana mengalir ke luar negeri, pengawai perusahaan menganggur, daya beli domestik menurun, dan berbagai macam komoditas tidak laku, Thailand mengalami masa yang sangat sulit. Menyinggung pelajaran krisis moneter itu, Sompop berpendapat, pelajaran yang terbesar ialah harus dengan tepat memahami masalah liberalisasi global moneter. Dikatakan oleh Sompop,
"Menurut hemat saya, pelajaran yang terpenting ialah harus memahami apa yang disebut 'liberalisasi global moneter', tapi dewasa ini, Amerika dan sejumlah negara lainnya mendapatkan keuntungan terutama dari sektor moneter. Hal itu mengakibatkan kontras nyata antara modal moneter yang semakin menggelembung dengan sektor manufaktur yang relatif terbatas, sehingga terdapat modal kelebihan dalam jumlah sangat besar yang tidak dapat memasuki sektor manufaktur. Ketika situasi yang tidak seimbang itu berkembang sampai tingkat tertentu, sudah pasti akan dilakukan penyesuaian kembali, saat itu, sejumlah negara yang ekonomi moneternya terlalu terbuka serta pengawasan sektor moneternya kurang ketat, tak terelakkan akan mengalami kerugian serius. Itulah inspirasi penting yang diberikan krisis moneter tahun 1997 kepada kita."
Menyinggung pelajaran krisis moneter, Chavewan menganggap bersandar pada kekuatan sendiri lebih penting. Dikatakannya,
"Krisis moneter tahun 1997 menyadarkan kami, apapun yang kita lakukan, harus tahu diri, harus melakukan hal-hal yang menjadi kepandaian kita sendiri, terutama bersandar pada diri sendiri, giat meningkatkan kekebalan diri; Kalau terlalu mengandalkan orang lain, begitu mereka menarik modalnya karena tidak mempercayai kita lagi, maka kita akan gulung tikar; Dalam situasi globalisasi sekarang ini, terasa lebih penting untuk bersandar pada kekuatan sendiri, karena berbagai keadaan berubah sangat cepat, kalau kita sendiri tidak cukup mantap, kemungkinan sekali krisis moneter akan terulang."
Sompop mengatakan, krisis moneter Asia membuat Thailand mengalami masa yang sangat sulit. Namun, pemerintah dan rakyat Thailand terus menerus menyimpulkan pengalaman dan mencari langkah untuk menghadapinya.
Sompon mengatakan, "Setelah krisis moneter, dunia usaha Thailand mulai menjadi hati-hati. Langkah-langkah utama yang diambil antara lain: menurunkan dalam taraf besar rasio hutang dengan asetnya. Sedang sebelumnya, di sejumlah besar perusahaan, jumlah hutang mencapai beberapa kali lipat asetnya; menyesuaikan kembali struktur perusahaan, meningkatkan pengelolaan dan mengurangi biaya sedapatnya; Mencari mitra kerja sama di dalam dan luar negeri untuk mengatasi kesulitan; Mengubah kebijakan investasi, sedapat mungkin tidak bergerak di bidang yang bukan keahliannya, sedang sebelum terjadi krisis moneter, hampir semua perusahaan yang agak besar tanpa kecuali memasuki sektor properti.""
Dari segi pemerintah, Sompop mengatakan, membenahi sektor moneter adalah salah satu langkah terpenting yang diambil setelah krisis. Bank Negara Thailand secara menyeluruh telah meningkatkan pengawasan terhadap lembaga keuangan, menutup 58 lembaga keuangan yang asetnya tidak cukup untuk membayar utangnya; meningkatkan rasio dana cadangan kredit macet. Sementara itu, meningkatkan keadilan dan transparansi pengelolaan lembaga keuangan.
Sompop mengatakan, Thailand telah menggunakan waktu 4 sampai 5 tahun untuk bisa benar-benar pulih dari krisis moneter. Laju pertumbuhan ekonomi Thailand tahun 2003 mencapai 6,8%, berbagai indeks ekonomi lainnya juga mencapai bahkan melampaui taraf sebelum krisis.
Demikian tadi saudara pendengar, Ruangan Tiongkok-Asean untuk edisi ini, penyiar Anda Nining mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda, sampai jumpa lagi dalam ruangan yang sama minggu depan.
|