Perkenalan tentang CRISiaran Bahasa Indonesia
China Radio International
Berita Tentang TK
Berita Internasional
Fokus Ekonomi TK
Kehidupan Sosial
Olahraga
Serba-serbi

KTT ASEAN

Kunjungan Hu Jintao Ke Lima Negara Asia dan Afrika

Kunjungan Jurnalis CRI ke Guangdong

Hu Jintao Hadiri KTT G-20 dan APEC serta Lawat ke 4 Negara

Olimpiade Beijing Tahun 2008
Indeks>>
(GMT+08:00) 2007-11-30 14:19:41    
Kemitraan Strategis Tiongkok - RI: Dari Kertas ke Kenyataan

cri

Sejarah telah mencatat bahwa hubungan antara Tiongkok dan kepulauan Nusantara sudah terjalin selama ratusan tahun. Kemitraan strategis antara Indonesia dan Tiongkok di masa sekarang ini tentulah akan memberi banyak keuntungan kepada kedua negara besar Asia ini. Tetapi, tentu saja hubungan kemitraan yang kokoh tidak bisa terwujud hanya karena kesepakatan di atas kertas.

Pada tanggal 26 Oktober 2007, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing dan Institut untuk Studi Asia Pasifik dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok mengadakan sebuah seminar akademis dengan tema Memberi Arti Lebih bagi Kemitraan Strategis RI ? RRT. Seminar ini bertujuan untuk mengumpulkan saran-saran dari kalangan akademis dan diplomatis kedua negara untuk mendorong hubungan kemitraan strategis.

Seminar ini dihadiri oleh berbagai kalangan akademis dan diplomatik, baik dari Indonesia maupun Tiongkok. Dalam diskusi, masing-masing peserta seminar menekankan pilar-pilar landasan penting hubungan antar kedua negara dan prospek yang hendak dituju, beserta berbagai tantangan dari kaca mata kedua belah pihak.

Dari sisi Indonesia, Makmur Keliat, dari Pusat Kerjasama Asia Timur Universitas Indonesia mengemukakan berbagai tantangan dalam pembinaan kemitraan strategis ini. Yang pertama ia memaparkan bahwa kemitraan strategis ini sifatnya antar-pemerintah, sedangkan kapasitas kelembagaan antar kedua negara berbeda.

"Kedua belah pihak harus menyadari bahwa masing-masing memiliki sistem yang berbeda," kata Makmur Keliat. Karena itu, ia menambahkan bahwa di Indonesia tidak mudah untuk melakukan kebijakan-kebijakan seperti yang bisa dilakukan di Tiongkok. Pelaksanaan kebijakan di Indonesia prosesnya lebih panjang, dinamis, dan melibatkan aspek-aspke sosial politik domestik setempat. Inilah yang harus disadari bersama oleh kedua pihak.

Mekanisme kelembagaan Indonesia juga dikeluhkan oleh Wang Beiyan, dari Universitas Jinan, Guangzhou. Ia mengatakan bahwa sering kali inisiatif Pemerintah Tiongkok untuk mengadakan investasi atau kerja sama terhambat oleh lambatnya mekanisme kerja departemen-departemen di Indonesia.

Makmur Keliat juga mengungkapkan isu-isu kecil yang sensitif dalam hubungan Indonesia ? Tiongkok, seperti penangkapan ikan ilegal, klaim Tiongkok atas aset yang dulu dimiliki oleh Kedutaan Tiongkok di Indonesia sebelum pemulihan hubungan diplomatis antar kedua negara, dan keamanan makanan. Untuk hal ini, Makmur mengusulkan agar masalah-masalah ini jangan dikaitkan satu sama lain, dan dibuat kelompok-kelompok kerja khusus bersama untuk menangani hal-hal ini satu persatu.

Yang lalu menjadi perdebatan dalam seminar ini adalah citra Tiongkok sebagai "flying dragon," atau naga terbang. Menurut Makmur Keliat, banyak negara-negara berkembang tetangga Tiongkok yang menganggap bahwa seperti naga terbang, Tiongkok hanya singgah untuk mengambil sumber daya alam dari negara-negara berkembang di sekitarnya, lalu terbang dan menjadi berjaya sendiri di langit. Ini disebabkan karena meskipun Tiongkok banyak sekali membeli bahan-bahan mentah dari ASEAN, yang tampak dalam surplus perdagangan ASEAN dengan Tiongkok, tetapi investasi yang dilakukan oleh Tiongkok di negara-negara ASEAN tidak sebanding dengan investasi ASEAN di Tiongkok.

Makmur Keliat mengatakan bahwa karena Tiongkok jauh lebih besar daripada Indonesia dan pertumbuhannya amat cepat, maka persepsi naga terbang ini bukannya tidak beralasan. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar Tiongkok banyak mengadakan investasi di Indonesia, tetapi bukan yang melulu di bidang energi. Misalnya, Tiongkok bisa berinvestasi di bidang manufaktur dengan joint venture dengan perusahaan Indonesia. Selain itu, seperti yang dilakukan Jepang, Tiongkok bisa juga melakukan hal-hal di luar bidang ekonomi, misalnya memberi bantuan kepada ilmuwan Indonesia untuk melakukan penelitian di Tiongkok. Ini baik dilakukan agar Tiongkok lebih banyak memiliki konstituensi domestik di Indonesia.

Konsep tentang naga terbang ini banyak mendapatkan tanggapan dari berbagai peserta. Menurut Tan Weiwen dari Pusat Pertukaran Teknik dan Ekonomi Internasional Tiongkok, Indonesia harus mengubah pandangan tentang Tiongkok yang dipengaruhi oleh perang dingin. Tan Weiwen mengungkapkan bahwa dalam hubungan dengan Indonesia, Pemerintah Tiongkok mengikuti prosedur yang amat ketat, yaitu tidak akan melampaui Pemerintah Indonesia. Karena inilah, misalnya dalam memberi bantuan, Pemerintah Tiongkok akan menyerahkannya langsung ke Pemerintah Indonesia, bukan ke lembaga masyarakat, seperti yang dilakukan Amerika Serikat.

Karena itu, Tan Weiwen mengusulkan agar Pemerintah Indonesia mengajukan usul-usul tentang bagaimana Tiongkok bisa mengadakan investasi yang bisa memberdayakan potensi-potensi ekonomi Indonesia. Misalnya, Tiongkok pernah ingin memberikan bantuan bibit padi hibrida unggulan Tiongkok. Tetapi terjadi kekhawatiran bahwa stok bibit ini akhirnya dikuasai Tiongkok sehingga Indonesia pada akhirnya harus membeli dengan harga mahal ke Tiongkok. Menurut Tan Weiwen, hal-hal semacam ini seharusnya diluruskan. Indonesia juga harus memberi respons positif dan menindaklanjuti inisiatif Tiongkok dengan lebih lugas.

Tentang persepsi "flying dragon" ini, Xu Liping dari Institut Studi Asia Pasifik Akademi Ilmu Sosial Tiongkok mengatakan bahwa investor-investor Tiongkok memang baru-baru saja melakukan investasi di luar negeri, karena itu pengalaman mereka masih kurang. Figur mereka di Indonesia juga kurang baik karena bidang-bidang investasi mereka baru di seputar bahan baku dan minyak bumi, yang mungkin menimbulkan banyak polusi. Sejalan dengan bergantinya waktu, ia yakin citra ini bisa mereka perbaiki.

Menambah usulan untuk bidang investasi, Lin Mei Institut Studi Asia Tenggara dari Universitas Xiamen juga mengharapkan agar Indonesia meluweskan kebijakan ketenagakerjaannya sehingga lebih menarik investor. Ia mengatakan bahwa banyak perusahaan Tiongkok yang mengeluh bahwa buruh di Indonesia kadang tidak bisa bersedia lembur, meskipun sudah diberi uang lembur.

Hubungan kemitraan strategis bukanlah hanya melulu masalah ekonomi. Rosmalawati Chalid, Konselor Sosial dan Budaya dari Kedutaan Besar Republik Indonesia memaparkan pula pentingnya kontak antar warga untuk memperkokoh kemitraan ini. Justru hubungan informal yang terjadi antar rakyat kedua negara akan memperkokoh hubungan yang terjadi di level pemerintah dan kalangan bisnis.

Seperti negara-negara lain yang memiliki banyak populasi etnis Tionghoa, Indonesia juga mengandalkan peran etnis Tionghoa dalam mempererat hubungan bilateral Tiongkok ? Indonesia. Christine Tjhin, peneliti Center of Strategic and International Studies Indonesia yang meneliti peran etnis Tionghoa Indonesia dalam hubungan bilateral juga menandaskan bahwa peran etnis Tionghoa dalam mendorong hubungan bilateral ini jangan hanya dipandang dari hubungan bisnis saja. Identitas etnis Tionghoa yang multidimensional hendaknya tidak melulu dilihat sebagai loyalitas kepada negeri leluhur. Ikatan emosional mereka kepada tanah leluhur dan identitas mereka sebagai warga Indonesia harus diakui dan diberdayakan, tidak saja di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang-bidang lain. Sehingga ketika mereka ikut mendorong hubungan bilateral Indonesia ? Tiongkok, mereka tidak lagi-lagi dicap sebagai budak ekonomi, yang akhirnya justru lagi-lagi justru akan menghambat hubungan bilateral Tiongkok ? Indonesia.

Menghadapi tantangan global bersama, yang paling strategis bagi Indonesia dan Tiongkok adalah bekerja sama sebagai mitra. Tentu saja berbagai rintangan harus sama-sama dihadapi oleh kedua pihak.

Menurut Makmur Keliat, setelah dokumen kemitraan strategis ditandatangani di atas kertas, harus dibuat rencana aksi, daftar prioritas, jadwal pelaksanaan, dan mekanisme evaluasi yang jelas. Baru setelah kemitraan strategis ini diterjemahkan ke dalam rencana aksi, maka niat kedua negara bisa membuahkan hasil nyata. Xu Lipin menambahkan bahwa yang paling penting dari kemitraan strategis ini adalah komunikasi antar kedua pemerintah.

(Oleh: Amelia Hapsari)