|
Pada tanggal 7 November lalu, Krakatau Band, sekelompok musisi yang mengusung musik jazz berbalut dengan musik tradisional ini, sukses menggelar konser bertajuk "The Rhythms of Indonesia" yang bertempat di Beijing Concert Hall. Di antara sekitar 1000 penonton yang memadati ruang pertunjukan, hadir pula Menteri Pertahanan Indonesia, Juwono Sudarsono yang sedang melakukan kunjungan resmi di Tiongkok.
Konser kali ini terbilang sangat menarik sekaligus unik. Bayangkan saja, setiap bunyi dan nada yang dihasilkan oleh kelincahan jari jemari komposer terkemuka Indonesia, Dwiki Dharmawan dalam memainkan grand piano Boesendorfer, ikut diramaikan oleh permainan tabuhan kendang dan perkusi Adhe Rudhiana, gesekan rebab dan tiupan suling Yoyon Dharsono, petikan kecapi Zainal Arifin, keapikan permainan bass Prabudi Dharma, dan gebukan drum Gerry Herb. Permainan etnis jazz itu bercampur aduk dengan irama alat musik tradisional Tiongkok yang dimainkan kelompok orkestra World Music Ensemble of Central Conservatory of Music dan alat musik modern yang dibawakan kelompok orchestra Asia Harmony.
Semua suara, nada, dan irama dari berbagai variasi alat musik tersebut melebur menjadi satu dalam suatu perkawinan megah antara budaya Indonesia dan Tiongkok yang berujung pada perpaduan indah nan harmonis yang menyuguhkan sesuatu yang lain dibandingkan konser pada umumnya.
Konser dibuka dengan pertunjukan lagu Janger dan disusul dengan lagu Bengawan Solo yang menggambarkan kemesraan persahabatan Indonesia-Tiongkok melalui penampilan penyanyi senior Indonesia Ita Purnamasari yang berduet dengan penyanyi muda Yong Yong dalam bahasa Indonesia dan Tionghoa.
Kesuksesan The Rhythms of Indonesia juga tidak luput dari atraksi pertunjukan pesinden Peni Candra Rini dengan suara khasnya dan penari legendaris tarian tradisional Indonesia, Didik Nini Thowok. Pada lagu Genjring Party, Didik mengenakan topeng Dwi Muka dan memasukkan unsur budaya Cirebon dalam gerakan dinamisnya, sedangkan pada lagu Impen-Impenan, Didik memadukan tarian erotis Jaipongan dengan tarian Betawi.
Jiwa dan perasaan kedua tarian itu berhasil diekspresikan Didik melalui gerakan dan liukan tubuhnya yang halus dan gemulai. Penonton pun sampai tersihir dibuatnya. Mengenai penjiwaan terhadap tariannya, Didik menjelaskan,
"Jadi kalau dengan tarian yang pertama yang Genjring, itukan waktu saya dengar musiknya itu saya merasa itu nuansa gembira dari daerah Cirebon. Ternyata sama, Mas Dwiki juga bilang, memang itu diambil dari pesta rakyat di daerah Cirebon kan idenya. Sehingga nuansanya demikian, yang gembira itu. Makanya saya tampilkan teknik Dwimuka itu, yang cantik sama yang lucu itu. Lalu kalau yang Impen-Impenan itukan menggambarkan perempuan yang sedang bermimpi mengharapkan seorang pasangan, tapi agak nakal. Jadi erotis, karena nuansa Banyuwangi disitu muncul. Jadi nuansa Banyuwangi itu erotiskan gerakannya, nah di situ saya mengekspresikan dan dikombinasi dengan Jaipong dan ada musik-musik masuk ke Betawi juga, sehingga ada perpaduan yang cukup komplit sebenarnya."
Tim paduan suara dan angklung Mahasiswa Indonesia di Beijing turut meramaikan konser ini dengan membawakan lagu Ilir-Ilir dan Yamko Rambe Yamko. Konser malam itu ditutup dengan pertunjukan lagu "The Rhythms of Reformation" yang diramaikan dengan permainan terompet dengan teknis "ngalamus" atau dalam jazz dikenal sebagai Circular Breathing oleh Yoyon Dharsono. Suasana semakin riuh saat penonton dengan antusiasnya serentak bertepuk tangan mengikuti ketukan permainan kendang Adhe Rudhiana. Tepuk tangan penonton terus berlanjut saat terompet pencak Indonesia dan terompet Suona Tiongkok bersahut-sahutan ditimpali dengan permainan kendang Indonesia dan kendang Tiongkok.
Konser "The Rhythms of Indonesia" memberikan kepuasan bagi para penonton. Dengan durasi pertunjukan yang pas dan komposisi susunan acara yang tepat, penonton sekejap pun tidak dibiarkan lengah dan bosan. Dan kebanyakan mengaku baru pertama kali melihat konser pertunjukkan seperti itu. Mari kita dengarkan komentar Zhang Xiu Wei salah seorang penonton yang hadir di konser malam itu. "Konser ini bagus, sangat bagus. Ini adalah yang pertama kali. Sebelumnya, saya tidak pernah menyaksikan pertunjukan seperti ini. Ya, pertunjukan kali ini kental dengan ciri khas Indonesia, dan konser malam ini sangatlah bagus."
Pemilihan lagu juga berperan besar dalam menentukan kesuksesan sebuah konser. Dwiki mengatakan bahwa lagu ? lagu yang dimainkan dalam Konser "The Rhythms of Indonesia" menampilkan repertoire yang terdiri dari lagu-lagu tradisional Indonesia dengan aransemen baru karya dirinya dengan Krakatau Band. "Kita memilih repertoire yang terdiri dari repertoire yang merupakan lagu rakyat ditambah juga dengan komposisi asli dari Krakatau dan juga lagu-lagu yang evergreen. Masyarakat Tiongkok sini juga menyukai lagu-lagu tersebut, disamping kita tetap memperkenalkan karya-karya baru kita juga. Jadi mengkombinasikan antara karya Krakatau dengan lagu-lagu yang kira-kira disukai oleh masyarakat Tiongkok, dengan olahan ala kita gitu."
Bagi Prabudi Dharma, salah satu pendiri Krakatau Band, konser ini termasuk spesial karena baru kali ini mereka memadukan permainan musik jazzetnis khas Krakatau Band dengan orkestra. Ia mengatakan, "Sesuatu yang spesial konser malam ini, yaitu kami bermain dengan orkestra. Dan itu baru pertama kali. Dan disitu kami mendisiplinkan diri untuk bisa blend dengan orkestra yang memang strict. Mereka disiplin. Disiplinnya berbeda dengan biasa kami bermain musik."
Mengenai konser malam itu, Dwiki Dharmawan selaku Music Director konser Ryhthms of Indonesia tidak menyangka mendapat respons yang luar biasa dari para penonton di Beijing. Dwiki mengatakan bahwa konser malam itu bukan sekedar sebuah apresiasi seni dan musik, tapi juga menjadi tali yang merekatkan hubungan Indonesia dengan Tiongkok. Dan interaksi seperti itu menurutnya, indah sekali.
Oleh: Jenlien Pangestoe
|