|
Oleh Amelia Hapsari
Pada era kejayaannya, gambar Soeharto di benak kebanyakan warga Indonesia adalah gambarnya di tengah padi yang menguning sambil tersenyum dengan para petani. Tangannya menggenggam hasil panen. Tetapi kini nama mantan Presiden Soeharto setelah era reformasi di Indonesia seperti jatuh ke jurang yang terjal dan sepi. Tuduhan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan penyelewengan kekuasaan selama masa pemerintahannya, menjadikan nama Soeharto sebagai merek kekuasaan tirani yang harus dijauhi. Soeharto sendiri, yang kini dalam usia 86 tahun telah menderita dementia dan terkena serangan stroke tidak dianjurkan oleh dokter untuk memenuhi undangan pengadilan.
Dalam situasi seperti inilah Retnowati Abdulgani-Knapp, putri sulung mantan menteri luar negeri Indonesia Roeslan Abulgani, menulis sebuah biografi tentang Suharto.
Menulis riwayat hidup seorang pemimpin yang penuh kontroversi tentu bukanlah hal yang mudah. Mula-mula penulis harus mendapatkan akses dan kepercayaan dari subyek tulisan. Retnowati mendapat privelese ini karena ayahnya, Roeslan Abdulgani yang merupakan kepercayaan Soekarno, sering mengunjungi Soeharto terutama setelah melihat bahwa ia ditinggalkan oleh kroni-kroninya setelah lengser dari jabatan kepresidenan.
Sebelum melakukan wawancara dengan Soeharto, Retnowati harus membaca buku-buku biografi Soeharto sebelumnya, baik yang ditulis oleh mereka yang pro maupun yang kontra terhadap Soeharto. Lalu ia harus menyusun cerita dan menarik kesimpulan sendiri. Barulah kesimpulannya ini ia sampaikan kepada Pak Harto, yang sudah tidak bisa lagi mengucapkan kalimat lebih dari empat kata. "Bapak, dulu Bapak menulis begini, tetapi dalam buku yang ini begini, jadi itu begini ya Pak," begitu contoh cara Retnowati mewawancarai Pak Harto. Pak Harto sendiri cuma bisa bilang ya. Bila tidak, ia akan memukul-mukulkan tangan ke pahanya. Dalam keadaan demikian, ajudan setia Pak Harto yang selalu menemani pensiunan presiden dan Panglima Tertinggi ABRI ini yang akan menerjemahkan apa yang ada dalam pikiran beliau.
Mengenai pendidikan Soeharto yang rendah, Retnowati mengatakan bahwa hal ini bukanlah hambatan baginya untuk menjadi pemimpin negara. Bahkan "the Berkeley Mafia," doktor-doktor lulusan Universitas California Berkeley yang merancang ekonomi Indonesia mengakui kejeniusan Pak Harto. Menyadari kelemahannya di bidang ekonomi, Soeharto menyerahkan kepercayaan penuh kepada ekonom lulusan Berkeley ini untuk merancang Repelita, atau Rencana Pembangunan Lima Tahun dengan nasihat dari IMF dan Bank Dunia.
Sebagian besar kritikus mencerca Soeharto yang ketika menjadi Presiden membiarkan anak-anaknya menyalahgunakan kekuasaan. Mengenai hal ini, Retnowati memaklumi kelemahan Soeharto sebagai manusia. Ia mengatakan bahwa ketika ayahnya menjadi menteri luar negeri, waktu untuk putra-putrinya amat kurang. Karena itu ia punya perasaan bersalah, sehingga cenderung memanjakan. Ini juga terjadi pada Soeharto. Dalam hal ini, Retnowati merasa anak-anak Pak Harto terlalu naïf dan kurang pendidikan.
Selain itu, pada saat buku biografi tentang Soeharto, yang berjudul Soeharto, the Life and Legacy of Indonesian Second President ini diluncurkan dalam bahasa Indonesia, Yayasan Supersemar yang didirikan oleh Soeharto sedang disengketakan. Dalam buku ini, Retnowati Abdulgani-Knapp juga membahas ketujuh yayasan yang didirikan oleh Soeharto.
"Kalau memberi, tulislah di atas pasir. Kalau menerima, tulislah di atas batu." Menurut Retnowati Abdulgani, filsafat ini dianut Soeharto dalam mendirikan yayasan. Maksudnya, bila memberi, janganlah mengingatnya. Tetapi bila menerima, kita harus ingat seumur hidup. Setelah mewawancarai ketujuh yayasan Soeharto dan melihat data-datanya, ia menemukan bahwa tidak semua yayasannya adalah cara untuk korupsi. Ia memaparkan bahwa Soeharto menciptakan sistem ini agar para konglomerat bisa menyalurkan dana kepada yang kurang beruntung. Tetapi di masa sekarang, harus ada pembukuan yang transparan. Ia berharap kejaksaan terus memeriksa kasus-kasus dalam yayasan ini sehingga jelas, berapa dana yang dikorupsi dan berapa dana yang memang disalurkan ke masyarakat.
Ketika ditanya apakah keluarga dan kalangan yang dekat dengan Soeharto memiliki hak untuk mengedit naskah bukunya, Retnowati menampik dengan tegas. "Tidak ada edit sedikitpun," katanya. Bahkan ketika ia menawarkan pada Tutut dan Mamiek Soeharto untuk membaca manuskripnya sebelum turun cetak, mereka menolak. "Tidak, Mbak. Ini adalah buku Mbak Wati," katanya menirukan Tutut Soeharto.
Setelah buku terbit, Soeharto memberikan kopi buku tersebut kepada para ahlinya. Mereka tidak menyatakan keberatan, bahkan Soeharto sendiri menandatangani buku itu dan membagi-bagikannya kepada rekan-rekannya, termasuk mantan PM Singapura Lee Kuan Yuew. Sesuai adat Jawa, Retnowati juga menghadap Soeharto untuk minta maaf bila ada yang salah dalam buku itu. Tetapi Soeharto menjawab, "Ora. Kabeh wis bener," katanya dalam bahasa Jawa yang artinya, "Tidak. Semua sudah betul." Retnowati menganggap hal ini sebagai persetujuan Pak Harto akan bukunya, "So my criticism against him is right too."
Setelah panen usai, sawah kerontang. Yang baik sudah dipetik, sisa-sisa batang padi dimusnahkan. Di atas kursi rodanya, Soeharto melewatkan hari-harinya dengan sepi di kediamannya di Jalan Cendana. Bangsa Indonesia yang telah memilihnya dan memintanya untuk turun belum pulih juga dari berbagai keterpurukan.
Selama tinggal di Beijing, Retnowati merasa bersyukur mampu menyaksikan perubahan Tiongkok yang sedemikian dahsyat. Sebelumnya, ia pernah mengunjungi Tiongkok di tahun 1980-an dan ia merasakan perubahan yang amat besar. "Kalau negara ini bisa membangun, kita juga bisa," demikian katanya.
Retnowati Abdulgani-Knapp tidak menulis untuk membela Soeharto, tetapi mengajak para pembaca untuk menaruh sosok Soeharto dalam perspektif yang benar. "Sekarang kita poco-poco lho. Maju mundur diam di tempat," katanya menggambarkan situasi Indonesia pasca Soeharto. Karena itu ia berharap agar Indonesia tidak terus-terusan menyalahkan Soeharto tetapi belajar dari kesalahan-kesalahannya dan memperbaikinya di masa depan.
|