|
Di mana Anda bisa melihat manusia masuk ke mangkuk es krim, keluarga kacang berseragam militer, tengkorak, dan robot-robot sekaligus? Tentu tidak di sembarang tempat, tapi di China International Gallery Expo 2008 di Beijing. Dalam edisi kali ini, mari kita berjalan-jalan di penggalan cerita-cerita dunia yang dikisahkan seniman-seniman unggulan Indonesia di pameran seni rupa internasional empat hari di Beijing yang baru saja berlalu.
"Saya penggemar tengkorak dan juga kolektor tengkorak," kata Agus Suwage, seniman kontemporer kawakan Indonesia yang karyanya dipamerkan dalam CIGE 2008 di Beijing kali ini. Ia menggunakan figur tengkorak karena menurutnya tengkorak itu lebih abadi dan mendasar. "Dari tengkoraknya tidak kelihatan orang itu cantik atau tidak. Jadi tengkorak juga menghilangkan identitas manusia," demikian papar Agus Suwage ketika ditanya mengapa menggunakan figur ini.
Dengan tengkoraknya, Agus Suwage seperti mengajak para pengamat seninya untuk bertanya tentang apa yang mendasar dan apa yang akan tersisa dari segala pergelutan yang kita hadapi selama ini.
Para seniman kontemporer yang selalu mencari cara baru mengisahkan apa yang terjadi di dunia sekarang lewat berbagai rupa seni. Seniman adalah mereka yang menyisihkan diri dari kehidupan menjadi orang-orang yang mengamati dengan bebas dan berekspresi dengan bebas tentang dunia ini. Melihat karya mereka berarti berhenti sejenak dari larutnya kita dalam kehidupan sehari-hari yang telah kita anggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Kalau Agus Suwage berkreasi dengan figur tengkorak, Eddie Hara menggunakan figur robot untuk bercerita tentang dunia yang semakin mekanis.
Tentang karyanya ini, Eddie Hara ingin bertutur tentang kehidupan manusia yang sepertinya didikte oleh mesin sehingga seperti dikuasai oleh robot. "Lama-lama manusia juga jadi seperti robot, melakukan sesuatu seolah-olah seperti disuruh, entah disuruh siapa. Mungkin atasan, mungkin juga lingkungan. Tapi kita jadi seperti robot, seperti tidak punya hati nurani," kata Eddie menjelaskan kegelisahannya tentang kehidupan rutin manusia yang semakin mirip dengan robot yang ia tuangkan lewat karyanya yang dibawa ke CIGE 2008 oleh Nadi Gallery.
Salah satu seniman muda Indonesia yang dipilih dalam "Mapping Asia" atau memetakan bakat-bakat muda seni Asia dalam pameran kali ini adalah Budi Kustarto. Ia datang ke Beijing dengan serial lukisan es krim. Ada apa dengan es krim?
"Aku tertarik dengan es krim, karena es krim dibuat dengan indah. Selain indah, es krim juga membutuhkan kondisi tertentu. Ia harus disimpan di kulkas dan bila dikeluarkan harus segera dimakan sebelum meleleh," papar Budi Kustarto tentang lukisan seri es krimnya. Ia merasa bahwa manusia sekarang diposisikan seperti es krim. Manusia harus terus mengikuti trend, baik baju baru atau handphone baru, juga pikiran-pikiran baru yang pada saat yang singkat akan segera meleleh seperti es krim.
Dalam lukisan es krimnya, Budi Kustarto juga menggambarkan potret dirinya masuk dalam mangkuk es krim dan meringkuk kedinginan di dalamnya. Potret dirinya dilukis dengan warna tunggal hijau, sedangkan es krimnya berwarna-warni.
Ia mengatakan bahwa warna hijau dipilihnya secara intuitif. Ia tidak tahu mengapa ia memilih warna ini. Tetapi kemungkinan intuisinya ini berasal dari latar belakangnya sebagai anak seorang petani. Warna hijau juga adalah warna yang sering digunakan dalam upacara keagamaan dan tradisional di Indonesia, karena merupakan warna bahan-bahan alami.
"Aku berusaha mendramatisasi aku dan es krim secara visual," katanya ketika ditanya mengapa ia memilih untuk menggambarkan potret dirinya bersama es krim. Dengan menggambarkan dirinya sendiri di antara es krim, ia ingin para pengamatnya bertanya apakah es krim telah membesar mendekati figurnya, atau ia telah mengecil mendekati es krim.
Kontras secara visual ini juga bisa memicu kontras lain secara tekstual. Es krim sebagai teks bisa dibaca sebagai komodifikasi bahan-bahan alami menjadi sesuatu yang punya habitat tertentu. Ia harus selalu disimpan dalam tempat dingin, dan ia hanya bisa terbeli oleh kalangan tertentu karena memiliki harga tertentu juga. Sedangkan figur sang pelukis sendiri bisa dibaca sebagai manusia kebanyakan.
Dengan kontras visual dan tekstual yang ditampilkan Budi Kustarto dalam rangkaian lukisan eskrimnya ini, Budi Kustarto seperti mengajak para pengamat seninya untuk mempertanyakan dunia ini. Apakah manusia jadi menyusut di rimba komoditas yang semakin menentukan seluruh kehidupannya?
Melihat dunia melalui cerita para seniman dalam karya-karya mereka memang tidak pernah membosankan. Benda-benda yang biasa berada di sekeliling kita pun bisa menjadi ilustrasi cerita yang menarik. Kita yang mengamati karya mereka, jadi juga bisa berhenti sejenak dari rutinitas hidup kita dan mengamati hidup dari sudut yang lebih beragam.
(Oleh: Amelia Hapsari).
|