Wakil Kongres Rakyat Nasional (KRN) Tiongkok Ma Yide selaku Periset Akademi Ilmus Sosial Kota Beijing menyarankan secepatnya menyusun undang-undang imunitas negara asing yang sesuai dengan keadaan Tioongkok, memelihara hak dan kepentingan sah warga negara Tiongkok dan investor asing secara sama derajat, sementara menentang tuduhan keji AS kepada Tiongkok dengan alasan wabah COVID-19.
Ma Yide menjelaskan, seiring dengan terus mendalamnya pertukaran internasional dan proses globalisasi, keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan internasional semakin meningkat, sehingga pendakwaan yang dialami berbagai negara dan pemerintah di negara asing pun semakin banyak. Akan tetapi Tiongkok masih belum menyusun undang-undang khusus di bidang ini. Dengan berdasarkan prinsip pokok yaitu negara asing serta hartanya menerima status imunitas, maka penggugat sulit mengajukan gugatan di pengadilan dalam negeri terhadap negara asing. Tidak ada undang-undang yang dapat diandalkan oleh pengadilan Tiongkok ketika mengurus kasus soal imunitas negara. Akan tetapi dalam lingkungan global, Amerika Serikat, Kanada, Inggris serta Uni Eropa semuanya menaati prinsip imunitas terbatas, dengan negara asing dan hartanya bukan secara keseluruhan yang menikmati hak imunitas dalam pendakwaan, melainkan berdasarkan fungsi operasinya, kebanyakan negara pun menyusun undang-undang khusus berkenaan pendakwaan negara asing serta hartanya dalam negeri.
Ma Yide menyatakan, melaksanakan prinsip imunitas terbatas sudah menjadi arus legislatif internasional. Di dunia saat ini, pemerintah Tiongkok maupun pemerintah daerah kerap kali digugat di Amerika dan negara-negara lain. Dia menyatakan, kekosongan legislasi tersebut mengakibatkan hak dan kepentingan pihak perkara Tiongkok gagal mendapat dukungan melalui badan kehakiman dalam negeri, sedangkan pemerintah Tiongkok malah sering digugat di pengadilan negara asing. Keadaan ini tidak memenuhi kebutuhan riil dalam pertukaran Tiongkok dengan dunia luar, sehingga Tiongkok selalu mengalami kerugian dalam pertukaran internasional.
Ma Yide berpendapat, masalah ini menjadi semakin menonjol sejak merebaknya pandemi COVID-19. Seiring dengan mewabahnya terus COVID di berbagai negara, sejumlah negara yang dipimpin oleh AS, demi mengalihkan fokus perhatian dari kewalahannya menangani wabah dalam negeri, secara terang-terangan menstigmatisasi pemerintah dan badan terkait Tiongkok dengan alasan Tiongkok menyebarkan virus dan menyembunyikan informasi, sejumlah organisasi atau perseorangan bahkan mengajukan pendakwaan kepada pemerintah dan badan terkait Tiongkok berdasarkan UU Imunitas Kedaulatan Asing AS. Tindakan ini telah menginjak-injak prinsip hukum internasional yang mewajibkan imunitas terhadap negara serta hartanya, juga mencerminkan hegemonisme AS dalam area internasional, sementara menunjukkan keurgenan Tiongkok untuk penyusunan UU imunitas negara asing.
Ma Yide menjelaskan, seiring dengan terus terjadinya rangkaian peristiwa historis seperti “Satu Sabuk Satu Jalan”, berdirinya AIIB, masuknya Tiongkok ke SDR, kini lingkungan ekonomi Tiongkok sedang semakin bergabung dalam proses globalisasi. Kekosongan dan ketidakpastian negara kami di bidang penegakan hukum imunitas negara asing akan menimbulkan kecemasan dan keraguan investor asing. Dalam situasi baru ini, dia mengusulkan pemerintah memeriksa kembali masalah imunitas negara, dari prinsip imunitas mutlak mengalih ke prinsip imunitas terbatas yang kini telah menjadi arus utama internasional, selekasnya menyusun UU imunitas negara yang sesuai dengan keadaan Tiongkok.
Menurut keterangan, kini usulan ini sudah dipahami, diakui dan didukung oleh banyak wakil KRN, lebih dari 35 wakil KRN dari Delegasi Beijing telah menandatangani bersama proposal ini. Kini proposal itu telah diterima oleh pihak penyelenggara KRN dan akan dialihkan kepada badan terkait untuk dibahas lebih lanjut.