Tiongkok Dukung Perundingan Rusia dengan Ukraina

2022-02-26 10:19:15  


 

Presiden Tiongkok Xi Jinping hari Jumat kemarin mengadakan kontak telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin seputar masalah Ukraina. Xi Jinping menyatakan, Tiongkok menentukan pendiriannya sesuai dengan fakta dan kebenaran terkait masalah Ukraina, harus mengesampingkan mentalitas perang dingin, mementingkan dan menghormati keprihatinan keamanan absah dari semua negara, serta membentuk mekanisme keamanan Eropa yang seimbang, efektif dan konsisten dalam jangka panjang. Tiongkok mendukung Rusia mengadakan perundingan dengan Ukraina untuk menyelesaikan masalahnya. Putin mengatakan bersedia melakukan perundingan tingkat tinggi dengan Ukraina.

Dialog tersebut merupakan upaya terbaru yang dilakukan Tiongkok untuk mendorong penyelesaian masalah Ukraina melalui pendekatan politik. Sebelumnya Xi Jinping telah mengadakan pembicaraan telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di mana Xi Jinping menegaskan bahwa semua pihak hendaknya berpegang teguh pada penyelesaian masalah secara politik, sepenuhnya memanfaatkan platform multinasional termasuk mekanisme Normandy, dalam rangka mengusahakan penyelesaian masalah Ukraina secara menyeluruh melalui dialog dan musyawarah. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi juga secara terpisah mengadakan kontak telepon dengan Menlu Rusia dan Menlu AS untuk memaparkan pendirian Tiongkok seputar masalah Ukraina. Tiongkok menganjurkan perundingan damai untuk menyelesaikan masalah Ukraina, dan telah menyediakan solusi bagi penyelesaian masalah Ukraina secara politik, hal ini telah mencerminkan akuntabilitas Tiongkok sebagai negara besar yang bertanggung jawab.

Dari pembicaraan telepon antara kepala kedua negara Tiongkok dan Rusia tersebut telah disampaikan satu informasi yang penting, yakni pintu penyelesaian masalah melalui dialog tetap terbuka walaupun Rusia dan Ukraina sudah terlibat dalam konflik senjata. Rusia pada hari Kamis lalu menyatakan, jika Ukraina sudah siap mengadakan perundingan mengenai statusnya yang netral dan tidak menempatkan senjata di wilayahnya, maka Rusia bersedia mengadakan perundingan dengan Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin dalam panggilan teleponnya dengan Xi Jinping sekali lagi menyatakan pendirian Rusia tersebut. Sebelumnya Presiden Ukraina Zelensky berkata “tidak takut bernegosiasi dengan Rusia dan sudah siap membicarakan semua masalah”.

Dari pernyataan tersebut jelaslah pintu penyelesaian politik masalah Ukraina tetap terbuka. Konfrontasi tidak akan pernah menyelesaikan masalah, hanya dialog barulah pilihan bijaksana dalam penyelesaian krisis Ukraina.

Pada hal  Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO yang dipimpin oleh AS harus bertanggung jawab atas masalah Ukraina yang berkembang hingga sedemikian buruknya. Seusai perang dingin, AS mendorong NATO melakukan total lima kali ekspansi ke Timur, terus menggerogoti lingkungan keamanan di sekitar Rusia. Inilah sebab utama yang mengakibatkan peningkatan ketegangan antara Rusia dengan NATO terutama AS. Sejak 2014, AS secara kumulatif memberikan bantuan militer sebesar miliaran dolar kepada Ukraina, di mana NATO sering mengadakan latihan militer besar-besaran dengan Ukraina sehingga terjadilah konfrontasi langsung antara Ukraina dan Rusia. Baik bantuan militer maupun latihan militer dengan NATO telah memberikan “ilusi” kepada Ukraina yang mengira dirinya dapat memperoleh jaminan keamanan dari AS dan NATO. Akan tetapi, walaupun Ukraina berulang kali memohon menjadi anggota NATO, NATO yang dipimpin oleh AS malah terus bersikap “negatif’, dengan logika di baliknya yang sangat jelas, yakni mereka hanya menggunakan Ukraina sebagai umpan peluru untuk membendung Rusia, namun dirinya mutlak tidak mau terseret atau terciduk.

Sebenarnya jauh-jauh sebelumnya AS sudah menunjukkan niatnya untuk meninggalkan Ukraina. Untuk sementara waktu yang lalu, AS berkali-kali mengirim senjata kepada Ukraina, namun juga berulang kali menyatakan “tidak akan mengirim tentaranya untuk terlibat dalam perang”. Di balik pernyataan tersembunyi intrik yang sangat egois.

Dari menipu hingga meninggalkan Ukraina, serta dari berburu-buru menarik mundur dari Afghanistan tanpa menghiraukan sekutunya, apa yang dilakukan AS sudah sepenuhnya mengungkapkan hakikatnya yang selalu memprioritaskan AS. Bagi mereka yang nekat “menumpang kereta perang” AS haruslah berpikir sebaik-baiknya.