‘Perubahan Tajam’ Kebijakan Moneter AS Alihkan Krisis kepada Dunia

2022-05-11 12:18:20  

“Pedagang Sri Lanka, petani Mozambik dan keluarga miskin di berbagai daerah di dunia dapat merasakan dampak akibat kenaikan suku bunga Federal Reserve System (Fed),” kata wartawan Kantor Berita AP Paul Wiseman dalam artikelnya. Pekan lalu, Fed mengumumkan menaikkan suku bunganya sebanyak 50 poin, dan akan menyusutkan neraca keuangannya mulai bulan Juni depan, dengan tujuan melawan inflasi di level tertinggi selama 40 tahun terakhir ini dengan kebijakan moneter ketatnya yang radikal. Hal ini mengundang kekhawatiran masyarakat internasional. Ekonomi dunia dan pasar moneter akan kembali menghadapi dampak yang diakibatkannya.

Baik kenaikan tajam harga sebelumnya akibat bunga nol dan kebijakan pelonggaran kuantatif, maupun perubahan tajam kebijakan moneternya, AS sedang mengalihkan krisis kepada seluruh dunia dengan hegemoni dolarnya. Hal itu membawa dampak besar kepada ekonomi emerging market yang sedang mengupayakan pemulihan pasca pandemi.

Di satu sisi, Fed meningkatkan daya tarik aset dolar, sehingga meningkatkan risiko arus keluar modal pasar baru dan devaluasi mata uangnya, sehingga mengakibatkan peningkatan risiko utang sejumlah besar negara.

Di sisi lain, peningkatan revaluasi dolar AS mengakibatkan devaluasi mata uang lainnya dan akan mengurangi daya beli warga negara lain, sehingga akan merusak proses pemulihan ekonomi yang sudah sangat sulit di negara berkembang.

Kebijakan moneter yang diambil pemerintah AS juga mengundang kritikan di dalam negerinya sendiri. Pada awal inflasi, pemerintah AS bertindak lamban, menyebut inflasi itu hanya “untuk sementara”, sedangkan pelonggaran kebijakan moneter mengakibatkan peningkatan inflasi.

Selain itu, sejak krisis Ukraina terjadi, AS terus mengenakan sanksi kepada Rusia, mengganggu energi global, bahan pangan dan rantai industri, sehingga meningkatkan tekanan inflasi di dalam negerinya sendiri. Sementara itu, pemerintah AS juga memperpanjang kebijakan tarif dari pemerintah sebelumnya yang salah terhadap komoditas Tiongkok, hal ini juga memberatkan beban tagihan warga AS.

Yang patut diperhatikan adalah, pada saat ekonomi AS terperosok dalam kesulitan, sejumlah politikus AS tidak merenungkan tanggung jawab atas kesalahan mereka yang kurang layak, malah menimpakan kesalahannya kepada orang lain. Tindakan itu sangat tidak bertanggung jawab kepada warganya sendiri dan seluruh dunia. Politikus AS yang berpegang pada pikiran “America First” itu seharusnya menghentikan tindakannya yang mengalihkan krisisnya kepada negara lain, mengambil kebijakan ekonomi makro yang lebih bertanggung jawab, dan melakukan hal-hal yang kondusif bagi pemulihan kembali ekonomi dunia.