Politikus AS Harus Petik Pelajaran dari Tragedi Penembakan Massal di SD AS

2022-05-26 11:41:10  

“Hal ini hanya terjadi di negara kami, tidak akan terjadi di negara manapun. Tidak ada satu pun anak-anak yang menyangka mereka akan terbunuh ketika bersekolah.” Demikian dikatakan senator Partai Demokrat AS Chris Murphy dalam pidatonya di Senat pada tanggal 24 Mei yang lalu. Sekitar 20 orang tewas dalam kasus penembakan di Sekolah Dasar Robb di Kota Uvalde, Texas, di antaranya termasuk 19 siswa SD.


Inilah tragedi yang menyedihkan dan mengejutkan, juga adalah peristiwa penembakan sekolah dengan jumlah korban terbanyak sejak kasus penembakan yang terjadi di Sekolah Dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut pada tahun 2012. Anak-anak yang menjadi korban tersebut seharusnya memiliki masa depan yang indah, namun malah menjadi korban kekerasan bersenjata. 


Menurut data yang diumumkan Arsip Kekerasan Senjata (GVA), selama 10 tahun ini, di AS telah terjadi 3.500 peristiwa penembakan massal yang setiap kali sekurang-kurangnya mengakibatkan 4 orang tewas. Kekerasan bersenjata sudah menjadi wabah dan penyakit yang tak dapat disembuhkan di AS. 

Kesulitan pengontrolan kepemilikan senjata AS berkaitan erat dengan banyak masalah seperti pertarungan partai politik, perebutan keuntungan antar berbagai kelompok dan rasisme. Khususnya politik AS yang melayani surat pemungutan suara dan uang, yang mengakibatkan proses pengontrolan kepemilikan senjata mengalami kesulitan. 


Sebagai organisasi kepemilikan senjata terbesar di AS, Asosiasi Senapan Nasional AS (NRA) sekurang-kurangnya memiliki 5 juta anggota dan sejumlah besar dana, pihaknya berpengaruh besar dalam pemilihan presiden dan kongres. Menurut statistik yang diumumkan situs web AS “Open Secret” yang melacak uang sumbangan politik, pengeluaran NRA untuk pemilihan federasi pada tahun 2020 sudah melampaui 29 juta dolar AS. Kompleks Militer-Industri semacam ini berpengaruh mendalam terhadap kebijakan AS dan opini sosial. Inilah sebabnya mengapa politikus AS tidak pernah sadar meskipun berkali-kali terjadi penembakan di AS. 

 Polarisasi politik dan perpecahan sosial adalah penyebab penting merajalelanya kekerasan senjata. Beberapa tahun belakangan ini, banyak rancangan undang-undang AS yang tidak disahkan, ‘menentang demi menentang’ menjadi penghalang bagi sekian banyak UU AS. Selama 20 tahun ini, perselisihan antara Partai Demokrat dan Partai Republik terkait pengontrolan senjata semakin serius, sehingga Kongres AS tidak meluluskan UU apapun tentang pengontrolan senjata. 

 Pada pokoknya, semua itu terjadi karena politikus AS meremehkan jiwa rakyat. Saat peristiwa penembakan di SD terjadi, pemimpin AS sedang sibuk membuat lingkaran kecil di Asia. Bagi mereka, hilangnya nyawa jutaan orang dalam pandemi bukanlah apa-apa, darah anak-anak yang bertumpahan dalam peristiwa penembakan pun bukan apa-apa, hanya keuntungan politik dan hegemoni AS-lah yang menjadi perhatian mereka. 


Politikus AS tidak memperhatikan hak hidup warga negaranya sendiri, bagaimana mungkin dunia percaya bahwa AS memperhatikan HAM negara lain? Desingan tembakan yang tak henti-hentinya telah sejak lama meretakkan topeng ‘HAM ala AS’.