Sampai Kapan AS Baru Memenuhi Komitmennya Terkait Hubungan AS-Tiongkok?

2022-06-15 10:44:25  

Anggota Politbiro Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (PKT) Yang Jiechi dan Penasehat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat (AS), Jake Sullivan mengadakan pertemuan di Luxemburg pada Senin lalu (13/6). Pertemuan berlangsung 4 jam lebih. Menurut informasi yang diungkapkan usai pertemuan, kedua pihak telah mengadakan komunikasi dan konsultasi secara terus terang, mendalam dan konstruktif. Kedua pihak menyetujui menitikberatkan pelaksanaan kesepahaman penting yang dicapai pemimpin kedua negara, meningkatkan kontak dan dialog, mengurangi kesalahpahaman, serta menangani dan mengontrol secara baik perselisihan.



Dewasa ini, hubungan Tiongkok-AS sedang berada pada persimpangan yang krusial. Bagi para pemangku kebijakan, mereka tidak saja harus tahu ke mana arahnya, juga harus mengayunkan langkah sesungguhnya. Tentang masalah pertama, sebenarnya sudah terdapat kesepahaman yang dicapai pemimpin tertinggi Tiongkok-AS. Presiden Xi telah mengajukan tiga prinsip yaitu saling menghormati, hidup berdampingan secara damai, bekerja sama dan menang bersama. Sedangkan Presiden AS Joe Biden berkali-kali membuat komitmen terkait hubungan AS-Tiongkok yaitu tidak mencoba melancarkan perang dingin baru, tidak mencoba mengubah sistem Tiongkok, tidak mencoba melawan Tiongkok melalui memperkuat persekutuan, tidak mendukung ‘Taiwan Merdeka’, dan tidak berniat berkonfrontasi dengan Tiongkok. Inilah isi konkret kesepahaman tersebut.



Tetapi masalahnya ialah kesepahaman penting yang dicapai pemimpin kedua negara sampai sekarang masih belum dilaksanakan di AS. Tindakan AS serta pernyataan pemimpin AS bahkan berbalik dengan kesepahaman itu. Sebaliknya, Tiongkok menunjukkan ketulusan dan iktikad baik dalam pelaksanaan kesepahaman pemimpin kedua negara.

Nyata sekali, perkembangan hubungan Tiongkok-AS bukan kewajiban sepihak Tiongkok, juga bukan mode asimetrik atau pola tidak seimbang di mana ‘AS yang mensabotase dan Tiongkok yang bertanggung jawab’. Tantangan utama yang dihadapi hubungan Tiongkok-AS ialah AS yang sudah biasa menggunakan pikiran hegemonis dan terobsesi pada kekuatan adikuasa, terus dengan seenak hatinya mendorong hubungan Tiongkok-AS meleset dari rel sebelumnya.

Masyarakat memperhatikan, Tiongkok sudah menguraikan pendirian dirinya terkait masalah-masalah Xinjiang, Hong Kong, Xizang (Tibet), Laut Tiongkok Selatan (LTS), HAM dan agama kepada pihak AS , khususnya menekankan bahwa “masalah Taiwan berkaitan dengan dasar politik hubungan Tiongkok-AS, kalau masalah itu tidak ditangani dengan sebaik-baiknya, maka pasti akan memberikan dampak subversif”. Mengingat pernyataan tegas pihak Tiongkok di depan Dialog Shangri-La baru-baru ini, yaitu “bila ada orang yang berani memisahkan Taiwan dari wilayah Tiongkok, Tiongkok bakal dengan tak ragu berjuang sampai akhirnya.” AS harus menyadari, main api dalam masalah Taiwan pasti akan membakar dirinya sendiri.

Bagi AS, dari lonjakan kasus Covid-19 yang tak kunjung berakhir, hingga inflasi yang terus meloncat, serta konfrontasi ras dan perpecahan sosial yang terus mendalam, semuanya menjadi tantangan bagi strategi diplomatik pemerintah AS khususnya strategi terhadap Tiongkok yang paling penting di antaranya. Namun baik sejarah maupun kenyataan telah menunjukkan, apabila AS sama seperti Tiongkok yang beritikad baik, menaati tiga prinsip yang diajukan pemimpin Tiongkok, mendorong hubungan Tiongkok-AS ke rel perkembangan yang tepat, maka hal itu tidak saja menguntungkan hubungan Tiongkok-AS, tapi juga bermanfaat bagi penyelesaian masalah yang dihadapi AS dewasa ini.