Kekerasan Senjata Menjadi ‘Momok’ bagi Masyarakat AS

2022-09-15 15:10:27  

 

 Hari pertama sekolah selalu menjadi saat yang dinantikan oleh mayoritas keluarga, namun hari itu menjadi peringatan yang menyakitkan bagi Alfred Garza, seorang warga Kota Uvalde, Negara Bagian Texas AS. Tiga bulan yang lalu, seorang penembak menyerang sebuah sekolah dasar di kota tersebut, menembak mati 19 murid dan 2 orang guru, termasuk anak perempuan Alfred. Ketika itu, Presiden AS Joe Biden berjanji akan menanggapi insiden tersebut, dan pada bulan Juni lalu menandatangani UU Kontrol Senjata yang paling penting selama 30 tahun ini. Akan tetapi, tragedi akibat senjata di AS tidak berkurang sedikit pun.

Pada akhir minggu ini, berturut-turut terdengar bunyi tembakan senjata di Negara Bagaian Illinois, Kentucky, Indiana, Pennsylvania dan New York. Menurut data terkini situs web ‘Arsip Kekerasan Senjata’ AS, pada tahun 2022, sebanyak 31 ribu warga AS tewas akibat kekerasan senjata, rata-rata 122 orang per hari.

Kekerasan senjata kini telah menjadi kepanikan mendalam bagi masyarakat AS,terlebih di area kampus.

Mengapa tindak kekerasan senjata di negara Paman Sam yang paling maju di dunia ini tak kunjung habisnya? Analis berpendapat, hak kepemilikan senjata yang ditentukan dalam amandemen ke-2 Undang-undang Dasar AS sulit diubah, ditambahkan lagi dengan adanya perselisihan terkait isu pengontrolan senjata antar kedua partai AS. AS adalah negara dengan pemilik senjata pribadi yang terbanyak di dunia. Menurut statsitik, proporsi warga AS yang tewas akibat senjata  merupakan 25 kali lipat dibandingkan negara-negara berpenghasilan tinggi lainnya.

Selain itu, kelompok yang mendapat keuntungan dari senjata juga telah mengganggu penanganan masalah senjata. Di AS, produksi dan penjualan senjata adalah sebuah bisnis yang besar, nilai pasarnya pada tahun 2021 tercatat sebesar US$70,5 miliar, sebagai organsiasi ekonomi yang paling berpengaruh di AS, Asosiasi Pemilik Senjata AS (NRA) tidak hanya menyumbangkan dana politik dalam jumlah besar tapi juga melakukan propaganda besar terkait ‘pentingnya kepemilikan senjata secara legal’.

Sementara itu, sejak wabah Covid-19 merebak, diskriminasi ras, kesenjangan antara yang kaya dan miskin di AS kian parah, di bawah tekanan tersebut, kekecewaan warga AS yang terus bertambah juga mengakibatkan meningkatnya kekerasan.

“Peristiwa penembakan senjata di AS semakin banyak terjadi, dan hampir semua orang selalu hidup dalam kepanikan”, demikian laporan New York Times. Di balik ‘demokrasi ala-AS’ yang munafik,  kapankah AS bisa terbangun dari mimpi buruk senjata? Sepertinya itu masih jauh lagi.