‘KTT Demokrasi’ Tidak Berkaitan dengan Demokrasi

2023-03-29 15:31:11  

“Mengapa masyarakat tidak memperhatikan ‘KTT Demokrasi’?”

“Karena KTT tersebut adalah sandiwara politik yang disutradarai oleh AS sendiri.”

“Apa tujuan aslinya?”

‘KTT Demokrasi’ ke-2 yang dipimpin oleh AS segera dibuka. Namun, yang mengherankan adalah laporan media terkait hal tersebut sangat sedikit. Dalam beberapa diskusi di media sosial Barat, fokus perhatian masyarakat pun bukan isi dari KTT tersebut, namun maksud di baliknya.

Pemerintah AS mengatakan, KTT kali ini diselenggarakan bersama oleh Kosta Rika, Belanda, Korea Selatan dan Zambia. Mengapa keempat negara itu? Ada media menganalisa, mereka masing-masing berasal dari Amerika Latin, Eropa, Asia dan Afrika, merupakan ‘wakil’ yang dipilih AS. Namun, selain beberapa pernyataan yang diumumkan AS sendiri, para ‘penyelenggara bersama’ tersebut kebanyakan hanya diam saja, seperti tidak terjadi apa pun.

Mengenang kembali ‘KTT Demokrasi’ pertama yang diselenggarakan AS pada tahun 2021, ditolak oleh 20 lebih negara, penonton daringnya sedikit, dan tidak mencapai hasil resmi apa pun. Seorang pasien yang memiliki penyakit kronis masih ingin ‘mengobati dunia’? Sungguh ironis, sandiwara AS tersebut tidak mendapat respons dari dunia malah menjadi bumerang.

Dalam pernyataan terkait ‘KTT Demokrasi’, AS mengklaim akan membahas berbagai topik terkait ‘HAM’ dan kesetaraan ras. Tetapi ironisnya, begitu melihat topik tersebut, masyarakat langsung teringat dengan AS.

Beberapa tahun yang lalu, dua partai politik AS saling mengkritik, menolak rancangan undang-undang dengan niat buruk, bahkan mengakibatkan kerusuhan gedung Kapitol. Majalah The New York Review of Books menunjukkan, AS sebenarnya adalah ‘negara yang dimiliki dua negara’.

Bagian dalam ‘demokrasi ala AS’ sudah busuk, tetapi masih ingin menyebarkan benih kerusakan dan kematian di seluruh dunia. Dua puluh tahun setelah perang Irak terjadi, masih terdengar teriakan masyarakat setempat tentang luka dan penderitaan yang mereka alami. Dengan alasan ‘demokrasi’ melancarkan perang, dan secara kasar mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, hal ini sering terjadi dalam sejarah AS.

Laporan Universitas Tufts AS menunjukkan, dari tahun 1776 hingga 2019, AS total telah melancarkan 400 kali intervensi militer di seluruh dunia, 34 persen di antaranya ditujukan pada daerah Amerika Latin dan Karibia, sedangkan 23 persennya ditujukan pada kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dewasa ini, intervensi militer AS terhadap Timur Tengah, Afrika Utara dan Sahara Selatan serta daerah Afrika Selatan cenderung meningkat, dari kerusuhan Suriah sampai penyebaran narkoba di Afghanistan, hingga perang saudara di Libya, AS adalah dalangnya.

Demokrasi adalah nilai bersama seluruh umat manusia, namun sekarang malah menjadi alat AS untuk mendorong hegemoni. Dewasa ini, dunia menghadapi serangkaian tantangan, yang diharapkan masyarakat internasional adalah kerja sama yang erat antara berbagai negara khususnya antar negara besar. AS menyelenggarakan ‘KTT Demokrasi’ dengan batas ideologi, tujuannya sesungguhnya adalah mengumpulkan mitra dan memperluas kekuatannya. Masyarakat internasional berpendapat, membagikan dunia menjadi kubu-kubu yang berlawanan adalah ‘hal yang paling tidak dibutuhkan oleh manusia’.

Pakar dari Institut Hubungan Internasional Kontemporer Tiongkok Wang Honggang berpendapat, ‘KTT Demokrasi’ yang dipimpin oleh AS bahkan tidak berkaitan dengan demokrasi, tidak bermakna apa pun. ‘KTT palsu’ yang bertujuan menghasut perselisihan dan konfrontasi sudah pasti akan berakhir dengan kegagalan.